Zeline duduk di sofa ruang tamu yang mulai lapuk. Rumah yang sangat sederhana ini menjadi saksi kisah hidup dua wanita bertahun-tahun lamanya. Sejak perceraian kedua orang tuanya lima belas tahun yang lalu, Zeline tinggal hanya berdua dengan ibunya. Berkali-kali ia menyarankan agar ibunya mencari pendamping hidup, namun ibu Zeline tetap bertahan menjadi orangtua tunggal.
Tangan Zeline memijit pelipis sejak beberapa menit yang lalu. Ia marah pada wanita dihadapannya. Tidak sekali dua kali Zeline berpikir bahwa wanita itu bertindak di luar nalar.
"Bu, menikah itu nggak main-main. Aku belum siap, bu."
Suara Zeline melunak setelah setengah jam menolak mentah-mentah permintaan ibunya yang tidak pernah terbesit sedikit pun, terlebih di usianya yang baru saja menamatkan SMA. Panjang lebar Zeline mengungkapkan planning hidupnya yang telah ia rancang sejak dulu. Kuliah, bekerja, menjadi wanita karir dan mandiri, meraih mimpi dan pengalaman sebanyak-banyaknya di usia muda. Jangankan dipaksa menikah di usia dini dengan orang yang dipilihkan, diatur cara berpakaian saja ia tak sudi.
"Ibu yakin kamu cepat belajar, nak. Kamu itu anak yang cerdas, bijaksana dan dewasa dibandingkan anak seumuran kamu. Ibu cemas semakin hari, semakin nggak ada lelaki yang bisa memenuhi standar kamu. Ibu sangat paham gimana kamu, Ze. Percaya sama ibu, lelaki ini sesuai dengan kamu."
Zeline memalingkan wajahnya ke arah lain. Kenapa susah sekali bicara dengan ibunya.
"Ibu benaran khawatir kamu yang sering pulang malam, bergaul tidak kenal gender dan usia, selalu di luar setiap waktu. Coba kamu rasakan punya pendamping di rumah, kompromi satu sama lain, punya keputusan berdua. Nggak mikir diri sendiri aja, Ze. Sekaligus bisa jagain kamu."
"Bu, kita udah bahas ini dari tadi. Aku keluar nggak main-main, haha-hihi dan hura-hura. Aku belajar, ngajar privat, diskusi. Apa deretan piala itu nggak membuktikan keseriusan aku belajar? Tolong bu, buka pikiran ibu. Ibu minta aku nikah di saat-saat produktifnya belajar, melebarkan wawasan dan pengalaman. Lagi pula kalau alasannya seperti yang ibu bilang, memangnya nikah bisa jadi solusi? Menikah akan merubah aku bergaul dan sibuk di luar? Kalau aku bisa aja sering membantah permintaan ibu untuk nggak sibuk sana-sini, kenapa aku nggak bisa bantah permintaan suamiku nanti?"
Ibu Zeline akhirnya bisa mengulas senyum, lalu berkata, "Kamu udah dapat jawabannya, Ze. Kalau kamu mencemaskan produktivitas belajar kamu terganggu, menghambat cita-cita dan merubah diri kamu sepenuhnya, kamu paham menikah nggak akan menghalangi semua itu. Kamu bisa melakukan apa yang kamu mau, setelah kompromi berdua. Selain itu dengan menikah akan ada pria yang bisa menemani dan jagain kamu, selain diri kamu sendiri tentunya." Ibu Zeline menekankan kalimat terakhir karena ia tahu, Zeline selalu berkilah bisa jaga diri sendiri.
Ya Tuhan. Sekarang siapa yang tidak nyambung? Dia atau ibunya? Kenapa argumennya justru berbalik arah ke dirinya sendiri.
"Ibu sendirian di rumah ini, tapi kenapa Ibu minta aku nikah secepat ini? Aku gak mau tinggalin ibu." Ayolah, masa ibunya tidak luluh dengan kata-kata lemah lembutnya ini.
"Toh, kamu masih di rumah ini juga sering tinggalin Ibu."
"Ibu berniat ngusir aku dari rumah, ya?"
"Tidak, Zura. Ibu gak mau sia-siakan kesempatan. Ibu bisa jamin calonmu pria yang baik. Dari keluarga yang baik-baik pula. Ayah dan ibu kenal mereka sejak lama, Zura. Mereka banyak membantu kita sejak sebelum ayah dan ibu menikah hingga pada akhirnya memutuskan bercerai. Mereka tetap anggap ibu dan kamu keluarganya, meskipun mereka kerabat ayahmu yang sudah pisah dengan ibu. Kamu aja yang terlalu cuek, Zura. Coba ikuti dulu saran ibu kali ini ya, nak. Ayah kamu akan buat jadwal pertemuan di rumah mereka. Kamu ketemu mereka dulu, ya."
Masalahnya bukan hanya terletak pada pria pilihan ibunya saja. Bagaimana dengan mimpinya yang bahkan belum setengah jalan? Ia relakan begitu saja? Zeline mati-matian menepis bayangan menjadi seorang istri, melayani suami, mengurus anak, diusianya yang masih belia untuk semua kerumitan itu. Zeline benci hidupnya diatur-atur. Namun ia sulit mengelak eksistensi ibunya yang memiliki pengaruh besar dalam setiap pilihan hidupnya.
Zeline menghela napas panjang. Melalui panggilan "Zura," ibunya seperti mengeluarkan ultimatum agar tidak lagi mendebat. Amunisinya juga sudah habis menghadapi ibunya. Ia diam saja lalu pamit ke kamar.
To be continue...
Votes this story if you enjoy it.
08/02/21

KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE AND LOGIC
Ficción General"Cinta selalu ada logika" Zeline, seorang gadis yang selalu mengedepankan logika dan rasionalitas, memiliki sejuta cita-cita yang telah ia rancang untuk masa depannya. Rencana tersebut seakan pupus ketika ibunya meminta ia melakukan suatu hal diluar...