2. Pertemuan Keluarga

125 50 23
                                    

Siang ini Zeline sedang duduk di sofa empuk dalam ruang tamu yang mewah. Rumah luas dua lantai yang ia masuki memberikan kesan nyaman kepada setiap pengunjungnya. Setiap ornamen yang ada di dalam rumah itu, menambah kesan elegan yang pas kadarnya.

Zeline melunturkan pandangan dari sekitar. Ia tidak mau terkesan norak. Dari tadi benaknya menumpuk kemungkinan alasan-alasan terselubung orang tuanya menjodohkan dengan si pemilik rumah. Apakah ini semacam penebusan utang, perdagangan anak atau justru langkah kilat demi menaikkan derajat keluarganya.

Ayah dan ibu Zeline duduk di sisi kiri dan kanan. Sedangkan dihadapannya, dua orang paruh baya menjamu mereka dengan ramah. Zeline harus merelakan dirinya menjadi pusat atensi karena pria yang dikabarkan akan menjadi calon suaminya tidak berada di kediaman.

"Maaf ya, Zardi, Rosa, Zeline. Kairo mendadak harus ke luar kota bertemu client." Pria dihadapan Zeline memulai perbincangan.

"Iya, nggak bisa ditunda katanya. Digantikan yang lain juga nggak bisa. Katanya proyek cukup besar yang di-handle Kairo langsung." Wanita disebelahnya menambahkan.

"Tidak apa, Ko. Nanti mereka bisa ketemu langsung. Sekarang Zeline kenalan sama kalian saja. Kamu pasti belum kenal om Ericko dan tante Kania kan, Ze?" kali ini Ayah Zeline berbicara.

"Seingat Zeline belum ada yang pernah ngenalin, yah."

Keempat orang yang ada didekatnya spontan tertawa mendengar jawaban Zeline.

"Om Eriko ini sepupu ayah, Ze. Kamu pernah ketemu mereka waktu kecil. Mereka juga sering ngirim hadiah buat kamu dulu. Kamu ingatkan ayah sering kirim kamu tas, sepatu, dan baju dulu. Nah beberapa itu juga dari om dan tante ini."

"Oh, aku pikir itu dari ayah semua."

"Ayah kamu sering cerita tentang kamu kalau berkunjung kesini, Ze. Kami jadi update perkembangan kamu dari ayah atau ibu kamu. Tapi sayang kamu nggak pernah diajak main kesini."

"Iya, tante. Tante juga belum pernah ke rumah kayaknya."

"Eh, siapa bilang? Pernah kok dulu, waktu kamu kecil. Pas kamu lahir aja kami datang kok."

"Oh, begitu ya tante. Zeline nggak ingat."

"Ya, iyalah. Namanya juga masih kecil."

"Kamu ambil jurusan kuliah apa, Ze?" Gantian Ericko yang bertanya.

"Finance, om."

"Oh, ya? Sudah coba cari beasiswa?"

"Sudah, om. Sudah input berkas, sekarang masih belajar untuk  persiapan kalau lulus syarat berkas nanti. Pasti lumayan susah karena jurusan kuliah incaran Zeline gak linear dengan SMA."

"Iya, berkas-berkas penghargaan kamu pasti berhubungan dengan IPA semua."

Zeline mengangguk sebagai jawaban.

"Hemm. Kamu juga bisa coba beasiswa dari kantor om. Nanti ikut tes aja langsung. Tenang, om kasih rekomendasi buat kamu lewat syarat berkas."

Mata Zeline berbinar mendengar tawaran tersebut seraya berkata, "beneran om? Bisa kayak gitu?"

"Jelas bisa lah. Kalau kamu lolos sebagai penerima beasiswa, kamu juga bisa magang di kantor. Nanti om hubungi penanggung jawabnya, ya."

Zeline refleks menangguk semangat. "Terima kasih, banyak om."

"Nggak perlu terima kasih, apa sih yang nggak buat calon mantu."

Sontak raut wajah Zeline memudarkan antusiasnya yang hanya terjadi beberapa detik saja.

%#^%&^*

Di ruang tamu tersisa ayah Zeline dan Ericko. Sedangkan Zeline kini tengah keliling rumah ditemani ibunya dan Kania. Mereka sampai diruang keluarga yang banyak memajang foto anggota keluarga. Dari situ Zeline tau bahwa om dan tantenya ini dikaruniai dua orang putera yang sudah dewasa.

"Ini foto Kenzo, kakaknya Kairo. Dia sudah tinggal dengan istri dan anaknya," terang Kania sambil menunjuk foto yang terpajang di dalam lemari kaca.

"Nah, kalau ini Kairo" lanjut Kania beralih pada foto di sampingnya. Foto seorang pria tersenyum lebar mengenakan baju wisuda dan toga. Lesung pipi menghiasi wajahnya yang bertipe oriental. Zeline mendekat memperhatikan foto tersebut sambil mengerutkan kening.

"Kenapa, Ze? kamu pernah ketemu Kairo?"

"Kayaknya wajah anak tante nggak asing. Boleh aku lihat fotonya yang lain? Mungkin yang terbaru."

"Boleh, yuk ke kamar Kairo aja. Ada di lantai atas."

"Nggak apa-apa, tante?"

"Nggak apa, dong. Masa ke kamar calon suami sendiri nggak boleh."

Kali ini Zeline meneguk saliva dengan terpaksa. Sedangkan ibunya menahan tawa sambil mengikuti langkah Kania.

Mereka bertiga memasuki kamar dengan desain yang berbeda dari tampilan ruangan lainnya. Perpaduan warna, hiasan, dan semua barang-barang yang ada di dalamnya seperti diatur dengan sedemikian rupa dan dikerjakan terpisah dari ruang lainnya. Sepertinya si empunya kamar me-request sendiri desain kamar yang diinginkan.

"Kamar ini Kairo yang desain sendiri lo, Ze."

Bagus, langsung terjawab, batin Zeline.

Kania melangkah mendekati satu foto diatas meja kerja lalu berkata, "nah ini foto liburan tahun lalu."

Foto empat orang yang berbeda dengan foto keluarga yang terpajang di lantai bawah. Jika foto yang dilihatnya sebelumnya menampilkan dua pria yang masih remaja, foto ini jelas memperlihatkan mereka sudah dewasa.

Zeline semakin yakin bahwa ini adalah seorang yang pernah ia jumpai.

"Iya, tante. Kayaknya kami pernah nggak sengaja bertemu. Mungkin Kairo temannya kak Tama, mentor kimia aku."

"Oh, Tama? Tante kenal dengan Tama. Dulu Kairo sering ajak main ke rumah."

Tepat, dugaan Zeline tidak meleset. Wajah Kairo memang tidak asing.

Kania membawa Zeline dan ibunya duduk di pinggiran ranjang. Zeline duduk ditengah kedua ibu-ibu.

"Zeline, tante paham ini sangat mengejutkan bagi kamu. Tapi tante percaya dengan kamu dan Kairo. Tante kenal kalian nggak satu dua tahun. Menurut pandangan kami kalian akan jadi pasangan yang serasi. Kairo anak yang baik, Ze. Tante jamin itu. Bahkan dia nggak pernah melukai hati tante. Dia nggak pernah membentak, membantah, atau meninggikan suaranya di depan orangtua. Dia sangat pandai mengasihi dan memperlakukan wanita dengan tepat, Ze. Terutama wanita yang dia sayang."

Lemah lembut perkataan Kania tidak hanya menggetarkan hati, Zeline. Untaian kata demi kata barusan sekaligus menamparnya telak di depan ibunya. Apa wanita ini tahu kalau Zeline sering sekali mendebat ibunya. Tidak jarang ia mengira ibunya berpikir irrasional, lalu mati-matian mengeluarkan argumen yang akan sulit ditandingi.

Zeline menoleh bergantian pada kedua ibu yang mengapitnya. Ibu Zeline memancarkan senyuman tulus seraya berkata, "Ibu percaya kamu, nak. Mau ya, Zur. Percaya kami juga"

Zeline menghela napas sesaat sebelum merespon, "Aku mau keputusan ini datang dari aku sendiri bu, tante. Izinkan aku ketemu dia beberapa kali dalam sebulan ini. Kalau memang aku merasa serasi seperti yang ibu dan tante bilang, aku akan menyetujui perjodohan ini.

Kedua ibu-ibu itu tersenyum dan mengangguk. Mereka memeluk Zeline bergantian.

To be continue...

Tinggalkan jejak kalau kamu suka ceritanya.

08/02/21


LOVE AND LOGICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang