3. Pertemuan di Café

107 49 20
                                    

"Kamu kenapa mau dijodohin?"

Kairo menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ia memposisikan tubuhnya dengan nyaman. Ia harus dalam kondisi relax untuk menjelaskan perkara serius kepada gadis yang terpaut jauh dibawahnya.

"Usia gue 27 tahun. Di usia segini dinilai udah matang untuk menikah. Baberapa teman dan saudara satu per satu ngirim undangan nikah. Walaupun menikah bukan tentang usia, orang tua punya kecemasan tersendiri melihat anaknya nggak ada tanda-tanda ingin menikah. Jangankan menikah, bahkan mungkin mereka meragukan ketertarikan gue ke perempuan. Orang tua mana sih yang nggak berharap melihat anaknya bahagia mendapatkan pendamping dan berkeluarga disaat mereka masih ada. Gue memahami kecemasan dan harapan itu."

Kairo menjeda penjelasannya, lalu melanjutkan.

"Selain itu, gue percaya mama dan papa. Sejauh ini saran-saran mereka selalu jadi yang tebaik dalam keputusan yang gue ambil. Gue nggak bisa mutlak membantah mereka, Ze. Makanya gue menyetujui saran lo buat melakukan beberapa kali pertemuan sebulan ini."

Kairo menjelaskan dengan raut wajah yang teduh dan senyuman. Seakan-akan terpancar dari wajahnya bahwa dia memang tipe pria yang menyayangi keluarga.

"Kalau kamu disangka nggak tertarik pada perempuan dan dikatakan nggak berniat nikah, yang harus kamu lakukan ya membuktikan kalau itu nggak benar. Kamu telusuri kenapa persepsi itu bisa terbangun oleh mereka, lalu kamu buktikan baik itu dengan narasi atau sikap. Kenapa malah menerima perjodohan dengan gadis delapan belas tahun yang bahkan nggak kamu kenal sama sekali, Kairo?"

Kairo tertawa pelan mendengar ocehan Zeline. Bahkan ia tidak terkejut dengan tanggapan yang lebih mirip nasihat menohok pada pria yang terpaut usia sembilan tahun.

Seorang pelayan menghampiri meja mereka membawa segelas kopi Americano dan Matcha Latte.

"Terima kasih, mbak." Kairo menatap kepergian pelayan lalu melanjutkan perbincangan.

"Ya, tentu ada sebabnya kenapa orang tua gue punya pandangan begitu. Gue sering bawa teman cowok ke rumah sedangkan cewek nggak pernah."

Alis Zeline mengerut mendengar kalimat terakhir Kairo.

"Jadi kamu disangka gay hanya karena sering bawa teman cowok? Kamu beneran nggak punya pacar?"

Kairo mengulas senyum kecut sebelum menjawab, "Sejak lima tahun terakhir gue nggak pernah punya pacar yang serius. Ya cuma dekat-dekat bentar doang, nggak ada yang cocok."

Zeline berpikir rasanya ada yang tidak nyambung. Untuk pasangan sekedar pacar saja, Kairo merasa tidak cocok. Lalu apa yang membuat pria itu merasa cocok untuk menikah dengan dirinya yang sama-sama jauh dari radar masing-masing.

Seperti membaca apa yang mengusik pikiran Zeline, Kairo menyambung perkataannya.

"Kalau dibilang nggak kenal sama sekali, itu kurang tepat sih, Ze. Gue sering dengar cerita tentang lo dari Tama. Bokap lo juga kalau berkunjung ke rumah cerita tentang lo. Keluarga gue mantau lo dari kecil asal lo tau, Ze. Jadi mereka sering cerita juga ke gue. Selama ini sih gue anggap lo sebagai adik atau saudara jauh yang nggak pernah terlihat aja. Nggak nyangka gue bakalan dijodohin begini. Hehe." Kairo tertawa geli membayangkan seseorang yang hanya dianggap adik justru menjadi calon pendamping hidupnya.

"Ya gitu deh, walaupun kita nggak kenal secara langsung." Kairo menambahkan.

Zeline sudah mendengar penjelasan itu langsung dari orang tua Kairo saat kunjungan keluaga. Kecuali tentang Tama, sang mentor kimia yang membocorkan gerak-geriknya pada Kairo.

Zeline menghela napas. Ia sering mengikuti debat, seminar dan diskusi yang menuntut keseriusan. Tapi pembahasan kali ini jauh berbeda dari tema-tema yang menghiasi hari-harinya.

LOVE AND LOGICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang