Chap 14: Monolog

100 24 4
                                    

Pak Samsudi masuk ke  kamar yang tidak terkunci. Pria itu membuka pintu dengan punggung, karena dua tangannya sibuk membopong Light Yagami. Pak Samsudi pun menidurkan Light di kasur dengan sangat hati-hati.

Misa yang ada di belakang pun ikut masuk. Sesaat setelah Pak Samsudi selesai, pria itu langsung berpamitan pada Misa. 

"Saya permisi, Non." katanya meninggalkan kamar.

Misa mengangguk singkat. Gadis itu membiarkan pintu kamar sedikit terbuka. Sengaja supaya ada cahaya yang masuk dari luar. Karena lampu kamar sengaja dimatikan agar Light bisa beristirahat tenang sejenak.

Misa masih tak banyak bicara. Ia yang sedari tadi melipat dua tangan di depan dada pun menghela napas. Misa duduk di sebelah bawah kasur. Jemarinya perlahan meraih poni-poni El, lalu membetulkannya.

Lama sekali Misa tidak melihat wajah tenang El sedetail ini. Walau dua alis cowok itu berkerut, tapi setidaknya tidak akan ada adu mulut kali ini.

Misa tersenyum.

"Udah masuk tahun ke berapa ya, sejak Ryuzaki meninggal?"

Light diam tidak menyahut. Sepertinya cowok itu sudah tenggelam di dalam tidurnya. Hal itu pun membuat Misa kembali tersenyum.

"Udah berapa tahun. Gue masih liat bayangan Ryuzaki. Gue masih liat ambisi Ryuzaki. Lo marah karena gue nggak cinta sama lo sebagai diri lo sendiri, tapi lo sendiri nggak pernah dari diri lo sendiri, Light."

"Jadi siapa yang sebenernya mau jadi Kira? Siapa yang mau jadi anak Pak Soichiro? Siapa yang mau diakui?" Misa tersenyum miris. "Bahkan Ryuzaki udah nyerah sama leukemianya. Tapi lo masih hidup dari ambisi itu."

"Lo kecewa sama dunia karena nggak ada yang sayang sama lo secara tulus. Tapi lo masih hidup di ambisi olimpiade yang gak lo butuhin. Yang nggak lo mau. Lo sendiri fake, tapi lo berharap orang tulus sama lo?" 

Misa tersenyum. Tangannya turun menggenggam tangan El.  "Manusia emang selalu punya cara buat nyakitin dirinya sendiri." ucap cewek itu sebelum berdiri dan beranjak keluar.

"Sa,"

Misa yang sudah sampai di pintu pun berhenti. Apa Light mendengar semuanya? Misa pun terdiam dan perlahan menoleh.

"Sayu,"

Ah, ternyata mengigau. El ini mabuk atau ketiduran? Misa mendengus pendek, kemudian membuka pintu dan berjalan pergi. Tapi Misa terdiam saat mengingat kalimat Light dulu. 

"Lo tau tinggal dia satu-satunya yang gue punya."

Sayu.

Misa terdiam di lorong rumahnya. 


♖♜♖


Light membuka mata perlahan dengan kepala yang sudah serasa mau pecah. Ia merasai hangat di tangannya. Light pun menoleh ke kiri dan mendapati Misa tertidur dalam kondisi duduk. Kepalanya ditaruh di sisi pinggir kasur, dan tangannya menggenggam tangan Light.

Kenapa?

Ah, hubungannya dengan Kanao sudah selesai, ya.

Light tidak jadi bangun. Ia kembali berbaring dengan mata mengarah ke langit-langit, genggam tangan itu belum terlepas. Beberapa detik kemudian Light sadar, cowok itu sudah tidur di rumah Misa. Bukan rumahnya sendiri.

Light tidak begitu ingat kejadian semalam. Hanya bayangan ia berdebat dengan Pak Yudi yang terlintas. Lalu setelahnya seorang cewek datang dan membantunya. Mungkin itu Misa.

Light memutuskan untuk menutup kembali matanya. Kepala yang amat sangat berat membuat Light tidak berdaya. Entah bagaimana keadaan Mello dan teman-teman yang lain, apakah tertangkap atau tidak, Light tidak tahu.

"Non,"

Light membuka matanya sedikit. Seorang pelayan wanita masuk dan menepuk-nepuk pundak Misa perlahan. 

"Dokter Tiara dateng, Non. Udah jadwal konsul," kata pelayan itu.

Misa menggumam kecil. Gadis itu melepas genggamannya, kemudian bangkit perlahan keluar dari kamar. Meninggalkan Light yang dikira masih tidur.


♖♜♖


"Sudah bangun, Light?"

El tersentak kaget melihat seorang wanita berpakaian kasual di ruang tengah lantai dua. Ah tunggu, sepertinya ia psikiater yang menangani Misa. Wanita itu tersenyum.

"Santai aja. Saya udah tau semuanya kok. Sini duduk, Misa lagi makan di bawah." kata Tiara tenang.

Light meneguk ludah. Walau merasa canggung, cowok itu pun akhirnya duduk di sebelah Tiara. Rasanya seperti terhipnotis.

"Kamu sudah tau kan, tunanganmu punya gangguan mental. Makanya dia butuh saya," kata Tiara meneguk teh manisnya. "Menurut kamu gimana?"

"Hah? Soal?"

"Soal mental illness." Tiara menaruh cangkirnya di meja. "Masyarakat Indonesia belum semuanya siap sama masalah ini.  Mereka yang butuh pertolongan jiwa malah kadang dianggap orang gila. Salah satunya ayahnya Misa."

"Iya saya tau," jawab Light. "Makanya Kak Tiara nggak bisa datang ke sini setiap waktu. Padahal buat keluarga pejabat lebih bagus kalo dokternya yang dateng. Biar jaga rahasia."

Tiara tersenyum tenang. "Buat kamu seberapa penting pelayanan ini?"

Light terdiam sejenak. "Nurunin angka bunuh diri?"

"Lebih dari itu," balas Tiara cepat. "Kerusakan mental bakal punya dua dampak, Light. Yang satu ke dalam, yang satu lagi ke luar. Kalau ke dalam dia menyakiti dirinya sendiri, kalau keluar dia menyakiti?"

"Orang lain." jawab Light. "Emang bisa?"

"Kamu kira emosi seseorang nggak mempengaruhi caranya berpikir?"

Light diam sejenak. "Kak Tiara lagi jelasin masalah Misa ke saya?"

"Kamu nggak perlu tanya untuk tau jawabannya, karena itu yang bikin kamu lolos seleksi olimpiade." kata Tiara sebelum pandangan wanita itu teralih ke arah tangga. "Misa udah selesai. Kamu mandi dulu sana. Nanti kita ngomong lagi."

Light mengeluh dalam hati. Otaknya belum bisa berpikir jernih, tapi Tiara seakan memaksa El memahami setiap kalimatnya. 




Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ps: Tiara, Pak Samsudi, Pak Yudi dkk itu fiktif  yang cuma ada di lapak gue ya. Jangan ngadi-ngadi lu mau tanya mereka dari anime apa.

Lacuna | Milight✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang