Chap 5: Tugas Berat

156 31 7
                                    

"Lo nggak tau apa pura-pura nggak tau?"

Misa menghela napas panjang. Ia tidak takut dengan El yang mengunci pergerakannya dan menatapnya tajam. Hanya saja suasana gedung sekolah yang sudah sepi membuat Misa malas, mereka benar-benar bicara tanpa kepalsuan di depan orang lain sekarang.

"Menurut lu, gimana reaksi orang tua kita pas tau kenyataannya gini?"

"Kan elo duluan yang pacaran sama Kanao."

"Jadi lo bales dendam ke gue?"

"Gak masalah bales dendamnya. Tapi gue gak protes sama keputusan lo, jadi itu hak gue juga dong."

"Lo lupa kalo kita ini udah tunangan?"

"Lo sendiri kenapa pacaran sama orang lain kalo tau kita tunangan?"

Light dan Misa bertatapan sengit, tidak ada yang ingin mengalah. Dua remaja itu saling keras. Misa yang merasa tidak adil, dan Light yang merasa Misa gegabah. 

Sekolah sudah benar-benar sepi. Sudah tidak ada yang ke bangunan belakang. Hanya para siswa ekskul yang sedang di bangunan luar. Karenanya Light memantapkan diri, tidak ingin ragu lagi.

"Gue tuh nggak mau kita tunangan."

Misa terdiam sejenak. Ia merasakan kalimat itu menghantam hatinya. Meski ia sudah tahu, sejak awal ini yang ingin dikatakan El.

"Terus lo pikir gue mau?" Misa menarik senyuman miris. Ada kesedihan dalam sorot matanya. "Gue capek. Capek banget negasin ke elo kalo kita itu udah tunagan, sedangkan lo masih deketin Nami. Lo kira gue mau? Enggak. Lo bahkan nggak lebih baik dari Ryuzaki."

"Senjata lo cuma kembaran gue?"

"Bukan. Gue ngomongin faktanya."

Light terdiam menatap Misa cukup lama. Untuk debat cerdas cermat, boleh jadi dia juara. Tapi kalau sudah di depan tunangannya, sulit untuk berpikir rasional. Saling kenal dari masa SMP membuat Misa berhasil mempengaruhi kondisi psikis Light. Entah kenapa.

"Kan ini yang lo mau?" kata Misa lagi. "Selesain aja."

"Oke. Dinner minggu depan kita omongin semuanya."

"Deal."

"Lo kira gue bakal ngomong gitu?"

Misa tersentak kecil. Terkejut ia merasa dipermainkan.

"Lo itu aset penting buat gue, bangsat. Lo kira siapa yang nyelametin nama bokap gue? Siapa yang bakal mulangin adek gue?"

Misa diam. Tatapannya sedikit datar. Tidak ada tatapan tajam, hanya saja Misa mulai lelah dengan topik yang sama. Alasan yang sama. Keras kepala yang sama.

Misa menyingkirkan tangan Light yang menutupi jalan. Misa beranjak pergi tanpa jawaban begitu saja. Tapi Light menahan lengan Misa, membuat gadis itu setengah menoleh tanpa ekspresi.

"Pulangin adek gue, Sa," kata Light. "Lo tau tinggal dia satu-satunya yang gue punya."

Misa tak langsung menjawab. Ada kesedihan dalam nada bicara Light, Misa sangat tahu itu. Misa sangat mengenali nada putus asa itu. "Kalo urusan itu, keputusannya bukan di gue." jawabnya melepas tangan Light. Kemudian pergi.


♖♜♖


Misa berjalan tenang masuk ke rumahnya. Hari ini cukup melelahkan, Misa ingin langsung masuk ke kamarnya dan beristirahat. Ia menyusuri setiap anak tangga, lalu membuka pintu di ruang tamu.

Tapi siapa sangka, vas bunga terbang ke arahnya. Misa masih berhasil menghindar, membuat vas itu membanting dinding. Kemudian pecah dan hancur berkeping-keping. 

"Lo udah jadi menteri, tapi perusahaan orang tua lo masih lo pegang? Terus gue dapet apa!?" 

"Lo ngomong seolah lo bisa megang perusahaan, tapi kenyataannya enggak! Semua kacau, saham  merosot, keluarga gue bisa rugi makin banyak!"

Misa terdiam, mematung melihat dua orang tuanya yang masih terus berdebat sengit. Ruang tamu berantakan. Tidak ada asisten maupun pelayan yang berani keluar. 

"TERUS LO DOANG YANG BOLEH PUNYA JABATAN, GITU!?"

"ELO YANG NGGAK BISA NGURUS KANTOR!"

Misa meneguk ludah, merasai tubuhnya mulai gemetar. Tidak, memang ini bukan pemandangan baru di rumah. Tapi tetap saja setiap orang tuanya beradu argumen dalam nada tinggi, jiwanya terguncang.

"Mah, Pah. Misa pulang."

Dua orang yang sedang berdebat itu pun berhenti. Mereka menoleh pada Misa. Ayah Misa menatap tajam pada anaknya, kemudian beranjak pergi dengan langkah berderap. Pria itu mengarah ke pintu keluar lalu pergi jauh dengan mobilnya.

Sementara itu, Ibu Misa menghela napas. Wanita itu duduk di sofa, kemudian memijat pangkal hidungnya cukup lama. "Gimana tadi di sekolah?"

"Kayak biasa, nggak ada yang spesial."

"Saham normal?"

"Normal, Ma."

"Bagus."

Ibu Misa mendengus pendek. Kemudian menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Matanya terpejam, wanita itu diam cukup lama. "Jadwal kontrol ke psikiater jam berapa?"

"Pak Samsudi bilang jam tujuh,"

"Hm," Ibu Misa perlahan duduk menegak. "Mbak, tolong buatin teh." kata Ibu Misa kepada seorang pelayan yang bertugas. 

Pelayan itu mengangguk, kemudian berjalan ke dapur. Dan tidak lama setelah itu ia kembali dengan secangkir teh yang ia letakkan di meja. Tepat di depan Ibu Misa.

"Makasih, Mbak." kata Ibu Misa kemudian mengaduk teh itu.

Ada hening beberapa saat. Misa belum beranjak karena tahu ini belum saatnya untuk beranjak. Ada sesuatu yang akan ibunya katakan, hanya menunggu waktu.

"Papamu ngerusuhin saham perusahaan lagi." ujar Ibu Misa meneguk teh itu perlahan. "Kamu tau apa yang harus kamu lakuin. 2 minggu lagi persidangan Pak Soichiro."

"Saham perusahaan harus bisa naik. Soalnya Pak Soichiro udah invest."

"Bagus." Ibu Misa menoleh. "Sekarang kamu masuk, istirahat."

Misa mengangguk patuh, kemudian berjalan ke kamarnya di lantai atas. Tiap langkahnya terasa berat, tapi Misa tidak punya tempat untuk mengeluh.

Andai saja Ryuzaki masih ada di sini.




Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Lacuna | Milight✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang