Chap 11: Insiden Kedai Akabane

91 25 0
                                    

"Heh, No,"

Ino hanya menggumam tak jelas. Matanya masih tertutup rapat, gadis itu berguling ke arah tembok. Light langsung menghalangi kening Ino saat hendak menatap dinding.

Cewek ini ceroboh banget, sih.

"Suruh istirahat sana," kata Chelsea menunjuk kamar dengan dagu. 

"Enak aja, nyet. Mau nginep gitu? Orang tua gue pulang subuh," sahut Mello langsung tak setuju. 

"Ya udah, anterin kek siapa." giliran Chelsea melirik teman-temannya yang lain. "Dingin gini mau ujan, kasian anaknya."

"Aduhhh, emangnya jam berapa sih?" ucap Ino gusar sambil perlahan membuka mata.

"Jam 9 lebih 10 menit." jawab Light mengecek ponselnya.

"HAH?"

Ino langsung bangun terduduk. Matanya terbuka lebar, gadis itu segera mengambil jaket hoodie miliknya dan berdiri. "Gue bilangnya cuma sampe jam 9 anjir,"

"Mau gue anter nggak?" kata Light ikut berdiri. Tapi Ino tidak sempat menjawab karena panik membereskan barangnya sendiri. "Gue anter udah, ayo." sambung Light akhirnya menarik lengan Ino keluar.

"Duluan, ya. Makasih!" pamit Ino pada yang lain.

Dua remaja itu pun berjalan keluar dari rumah Mello. Setelah melewati lengkong yang gelap, El memasukan kunci dan langsung menyalakan motornya. "Rumah lo di Citradarma residence, kan?"

"Hooh." kata Ino menutup ranselnya.

"Ya udah, buruan naik."

Motor Light yang cukup tinggi membuat Ino berpegangan pada pundak cowok itu. Tapi masalahnya, Ino mencengkeram pundak Light terlalu kuat dan membuat cowok itu terkejut. El sedikit termundur, tapi untung ia masih kuat menahan.

"Udah?"

"Udah. Ayo."

Light pun menurunkan kaca helm full facenya dan melajukan motornya. Ino dan Light pun mulai meninggalkan daerah rumah Mello dengan kecepatan standar.


♖♜♖


"Lo yakin mau mampir dulu?" Light mengernyit ragu sambil menatap lahan parkir Kedai Akabane. Tapi pada akhirnya cowok itu juga melepas helmnya dan turun dari motor.

"Kata Sasuke ini martabaknya fenomenal. Mending gue bawain orang tua gue makanan biar mereka nggak marah-marah amat," kata Ino mendorong pintu kaca kedai. 

Light hanya mengangguk setuju dan mengikuti dari belakang. Alasan klasik, tapi masih masuk akal dan cukup bekerja. Saat Ino memesan, Light pun duduk di bangku sambil menatap layar ponselnya. 

Light menghela napas, mendapati tidak ada yang menarik dari benda pipih di tangannya. Cowok itu pun mengangkat kepalanya. Dan matanya terhenti pada seorang cewek berponi yang berjalan masuk.

Gadis itu berjalan ke arah Ino dengan sorot mata yang tajam. Light pun seketika langsung berdiri dan menghampiri Ino. Tapi terlambat.

"Ngapain lo pergi sama El?"

"Misa, lepasin!"

El berusaha menarik tangan Misa yang menjambak rambut Ino. Tapi Misa malah semakin mencengkeram rambut Ino erat, sampai gadis itu termundur ke belakang. 

"GUE BILANG LEPAS!" bentak El mendorong Misa.

Misa pun termundur beberapa langkah. Tanpa banyak bicara El segera menarik lengan Misa secara kasar. Light membawanya ke luar, ke parkiran belakang yang cukup sepi.

"Elo tuh kenapa, sih! Dateng-dateng main jambak anak orak, elo kenapa lagi!?" kata Light dengan nada tinggi. "Apa lagi salahnya apa? Dia Ino temen SMP kita, lo lupa?!"

"Dia pergi sama kamu, itu yang salah! Ini tuh udah malem, dia nggak tau waktu!" kata Misa tak mau kalah.

"Gue itu nongkrong sama anak-anak SMP di rumahnya Mello! Justru karena udah malem gue anter dia pulang. Siapa yang bisa jamin dia aman kalo naik ojol!?"

"Harus kamu!? Harus banget kamu? Nggak ada Mello!?"

Light merapatkan bibir, tak jadi melanjutkan. Walau besar keinginan Light untuk mendebat Misa, tapi argumen cewek itu tak sepenuhnya salah. Ada orang lain juga, kenapa harus Light?

Hanya saja, kalau yang berdiri di depannya ini adalah Kanao karena ia cemburu, mungkin Light akan lebih memaklumi. Tapi faktanya tidak seperti itu. 

Yang ada hanya Misa.

"Hahhh," Light berjongkok sambil menutupi kedua wajahnya yang sudah sangat frustasi. Cowok itu terdiam cukup lama. "Maap deh ya, maap kalo gue punya salah sama lo. Tapi nggak perlu kan sampe jambak Ino gitu? Dia temen kita dulu, Sa."

Misa tak menyahut. Light tidak mendengar apa pun, sampai gadis itu mulai menangis. El pun mengangkat kepalanya. Matanya melebar kaget melihat Misa yang pundaknya bergetar. 

"Sa—"

"Iya, seharusnya nggak gitu." kata Misa terisak. "Maaf, Misa yang salah."

Light terdiam mematung di tempat. Ia sudah menyiapkan mental untuk berdebat sampai pagi. Tapi melihat Misa yang menangis dengan penuh penyesalan begini, malah membuat Light bingung.

Kan memang begini seharusnya. Tapi kenapa? Ia tidak tahu. Ternyata Light tidak cukup mengenal Misa, tunangannya.

"Udah, nggak usah nangis." El menepuk pucuk kepala Misa, kemudian mendekatkan wajahnya. "Sekarang lo tunggu sini. Gue anterin Ino pulang dulu, ya?"

Misa tak menyahut. Gadis itu sibuk mengusap air matanya sendiri. El hanya menghela napas, lalu berjalan masuk lagi. Sekarang Light harus membenahinya satu persatu. 

Sebelum rasa bersalahnya semakin besar.




Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Lacuna | Milight✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang