Chap 18: Lacuna

105 26 2
                                    

"Diminum dulu cokelatnya, Den."

Light melirik Bi Lastri perlahan, kemudian mengambil segelas cokelat hangat di tangannya. Ia meneguknya cokelat itu. Tak sampai setengah, Light menaruhnya di meja. Kemduan kembali menatap lemah pada langit-langit.

Bi Lastri yang melihat itu menjadi sedih. Sorot mata keputus asaan El membuat hati wanita itu sakit. "Pengacaranya Bapak udah berusaha, Den. Gampangannya, 20 tahun itu udah negosiasi paling cocok sama hakim."

Light terdiam lama membayangkan 20 tahun lamanya. Waktu berjalan dan kehidupan terus berputar. Membayangkan kelulusan tanpa Ayah, daftar kuliah tanpa Ayah, wisuda tanpa Ayah. Light masih berdoa semua ini hanya mimpi buruknya saja.

"Dosa Ayah emang gede, Bi. Makanya harus ditebus sampe 20 tahun," Light bergumam pelan dengan pandangan kosong. "Saya anak dari pendosa, Bi."

Bi Lastri menggeleng pelan dengan mata yang mulai menghangat. Sakit hatinya melihat seorang anak laki-laki yang diasuhnya belasan tahun kini jatuh hancur begitu saja. Membayangkan masa depan yang harus dipikul tanpa keluarga. Sendirian. Hanya seorang diri.

Bi Lastri duduk di sebelah Light. Perlahan wanita itu mendekap Light dan menaruh kepala Light di pundaknya. "Tetep sayang sama Bapak ya, Den." katanya pelan.

"Saya nggak pernah benci Ayah, Bi." jawab Light bergetar. "Saya cuma benci fakta saya anak koruptor."

Bi Lastri kembali menggeleng pelan. Ia mendekap El erat, membiarkan Light menumpahkan semua gelas kecewanya sampai habis.

"Semua anak terlahir suci ke dunia, Den. Nggak ada yang menanggung beban dosa orang tuanya."

Light terdiam mendengar itu. "Kalo Ayah tetep jadi pengusaha, nggak masuk politik. Keluarga saya masih bahagia nggak, Bi?" bahu Light mulai bergetar. "Ayah berubah sejak masuk politik, saya nggak kenal, Ayah asing."

"Iya. Tempat kamu emang seharusnya bukan di sini."

Light tidak bisa menahan lagi. Cowok itu pun menangis lepas, meraung marah, berteriak kecewa. El mendekap Bi Lastri erat bersamaan dengan hatinya yang hancur. Seperti anak yang mendekap hangat ibunya.

Kalau Bunda di sini, andai saja Bunda di sini.

Drt drttt...

Bi Lastri menoleh ke arah meja di mana ponsel Light berdering, sebuah panggilan masuk. Tapi Light tidak juga bergerak. Pelayan lain tidak ada yang berani mengambilkan, membuat Bi Lastri sendiri akhirnya bangkit.

"Matiin aja, Bi." 

Bi Lastri menoleh.

"Saya nggak mau ngomong sama siapa pun hari ini. Ayah juga."

"Den," Bi Lastri menatap Light berbinar. "Non Sayu yang nelepon, Den."

Light mendelik seketika. Cowok itu diam mematung beberapa saat, tapi sorot mata Bi Lasti sangat meyakinkan. Membuat Light meraih benda pipih itu dan tertegun melihat Sayu menelponnya dengan kode nomor Indonesia.

"Heh, kebo."

Light membeku, benar-benar terdiam. Suara perempuan yang langsung menyambar saat panggilan telepon terhubung menghantam jiwa Light begitu saja.

"Masih molor kan lu? Nyebelin banget."

"Kamu... udah pulang?"

"Udah, udah di Soekarno-Hatta ini. Nggak ada yang jemput aku, Kakak sih kerjaannya tidur!"

Light perlahan mulai bergerak mengambil kunci motor dan jaket hitam miliknya. Cowok itu tidak paham apa yang terjadi sekarang, tapi yang jelas Light langsung berlari menuju ke garasi. 

"Tunggu di sana, Kakak langsung ke Tangerang sekarang."


♖♜♖


Sayu melirik ke kanan dan ke kiri, lalu kembali mendumel kesal. Cewek itu merunduk ke sekian kali pada layar ponsel, berharap Light segera datang. Tapi batang hidung cowok itu belum juga muncul. Padahal kan, Sayu laper.

Ini resiko punya kakak tukang ngebo. Udah ditinggal ke Amerika, masih aja nggak berubah. 

"Apa kabarin Ayah aja ya," kata Sayu beralih chat room. Namun gadis itu tersentak dengan sendirinya, kemudian menggeleng kecil.

"Nggak. Ayah dari dulu kalo ditelpon nggak pernah ngangkat," gumam Sayu mencibir Ayahnya yang tak pernah punya waktu. "Punya abang lelet juga banget sih el—"

Sayu tak melanjutkan kalimatnya saat seseorang mendekapnya, sangat erat. Sampai gadis itu sulit bernapas. Sayu perlahan mendongak, Light memeluknya erat sampai bahu Sayu mulai terasa basah.

"Kak."

"Maaf," ucap Light pertama kali. "Kakak nggak bakal biarin kamu pergi sendiri lagi. Janji."

Raut wajah Sayu langsung berubah seketika. "Kak," gadis itu menghela napas. "Operasinya Mamah nggak berhasil."

"Kakak tau." Light memeluk Sayu semakin erat. "Liat kamu bisa berdiri, nggak. Liat kamu lagi Kakak udah bersyukur banget. Makasih udah mau pulang."

Sayu terdiam. Tangannya meraih pundak Light yang gemetar hebat dan menepuk-nepuknya perlahan. "Kak Misa yang nyuruh aku buat pulang. Berkas, akomodasi, semuanya dia yang handle."

"Ha?"

Light melepas dekapannya. Dahinya berkerut, padahal waktu itu Misa bilang kepulangan Sayu adalah sesuatu yang di luar kendalinya. Dan sekarang Misa sendiri yang mengerjakan semua itu?

"Yang penting kamu udah di sini." kata Light menggenggam tangan Sayu. 

"Kok lama banget sih tadi?" kata Sayu memulai langkah bersama El.

"Lupa, pake motor. Balik dulu ganti pake mobil. Ntar koper kamu mau di taro di mana kalo pake ninja?"

"Ya elu juga, pake ngebo." gerutu Sayu mencubit pinggang Light.

"Nggak ngebo, Sayu. Gue nggak tau lo pulang."

"Bodo ah. Laper nih."

"Roti yang dikasih di pesawat nggak cukup? Masih rakus aja lu?"

"Kak!"

"Iya iya, ampun! Ayo cari makan!"




Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Lacuna | Milight✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang