Part (3) Teman?

3.2K 526 34
                                    

Happy Reading
Jan lupa Vote - Komentar
(^-^)
.
.
.
Love in Time Treval
BY ICHADRAY
.
.
.

Pemuda tegap itu merasakan kedua bahunya menegang. Bola mata berwarna silver memukau yang tersembunyi dari tatapan tegas nan tajam itu sedikit melebar. Draco merasa jika ia akan bersembunyi selamanya disebalik bahu pemuda bersurai berantakan jika otaknya memang tak bekerja dengan benar. Namun tampaknya keadaan sekarang membuatnya bergeming, terlebih dari aura dingin yang memang menunjukan natal, tatapan yang bertabrakan dengannya terlihat menilai.

Harry dan Draco memasuki ruangan setelah Dumbledore berbalik seperti berbisik pada dua orang lain yang berdiri di dalam untuk keluar. Beberapa kata yang seolah menyembunyikan dapat terdengar oleh indra Draco yang tajam dan dengan cepat menyimpulkan jika pembicaraan sebelumnya pastilah mengenai sesuatu yang cukup serius. Itu terbukti dari pandangam menyelidik dua pasang manik berbeda warna seperti mengancam. Ia menatap lurus, tak ingin terlihat terlalu mencolok dari pandangan manik kelam dan silver dingin yang begitu datar menghunus retina.


Itu adalah Ayahnya, Lucius Malfoy. Tak sulit mengenali rambut pirang panjang terikat rapi diiringi wajah angkuh yang tampan itu sebagai sang Ayah meski sekarang terlihat jauh lebih muda tanpa adanya keriput. Tatapan dingin bersama aura bangsawan yang melekat membuat Draco sedikit kagum, ia bahkan belum sesempurna itu mengendalikan emosinya. Beralih, kini satu orang yang lebih memincing curiga padanya terlihat layaknya Snape, itu terlihat benar saat rambut sedikit berminyak dengan tatapan malam terpancar seolah penuh dendam. Untuk satu ini Draco ingin sekali memutar bola matanya malas, sekarang maupun dulu tak ada yang berubah.

Draco dan Harry melangkah masuk, terlihat ruangan yang hangat dengan beberapa lukisan Kepala Sekolah terdahulu berjejer berdampingan. Perabotan sederhana dan alat-alat sihir lainnya, tertangkap pula adanya seekor burung Phoenix yang bertengger dalam kurungan.

Harry seolah merasakan nostalgia, bertemu dengan orang tua berjanggut panjang yang begitu berarti baginya. Sadar jika Malfoy yang berada dalam ruangan dan berpapasan dengannya, Harry menemukan bahwa ia secara spontan memperhatikan. Lucius Malfoy bertemu dengan Draco yang bersamanya membuat Harry sedikit menilai. Wajah dua Malfoy ini tak jauh berbeda, hanya sebagian kecil yang menampakan bahwa Draco dan Lucius muda tidaklah sama, di antaranya adalah gaya rambut Lucius yang panjang, ekspresi wajah yang terlampau datar, rahang tegas yang sedikit lebih panjang dan aura tajam menjunjung tinggi kemurnian. Berbeda dari Draco yang terkadang menatap hangat, manik silver Lucius benar-benar terlihat dingin. Lalu seorang pemuda yang terakhir, Harry menahan diri sekali lagi untuk tidak mengeluarkan air mata. Severus Snape menatapnya menilai dengan kilatan tak suka sebelum pergi dari sana. 

Sebenarnya ia cukup terkejut melihat jika yang ada dalam ruangan sebelum ia dan Draco masuk adalah Lucius Malfoy dan Severus Snape, mengingat jasa kedua orang yang ikut andil dalam perang sebagai agen ganda. Harry bertanya-tanya apa yang telah mereka bertiga bicarakan sebelumnya mengingat aura yang menguar terasa berat. Emeraldnya melirik Draco yang diam sejak Dumbledore mempersilahkan untuk duduk di kursi depan mejanya.


"Jadi, siapa yang akan memulai?" Tanya Dumbledore pelan, wajah ramah itu menarik senyuman di antara kumis dan jenggotnya yang panjang.


Harry menggerakan emeraldnya, menghela nafas saat menatap pemuda bersurai pirang di sampingnya yang sepertinya enggan membuka mulut untuk bicara. Menarik nafas dalam, Harry tahu ini akan menjadi sebuah cerita panjang. Ia mulai memandang serius, menceritakan semuanya dari awal tentang mengapa mereka berdua bisa berada di sini. Kebangkitan Tom Ridlle yang menjadi Voldemort, hal gelap yang menyerang hingga terjadinya perang, kematian beberapa orang yang berpengaruh sampai ia dan Draco terlempar karena mencoba kotak kuno. Harry merasaa jika ia lega mengatakannya, meski kilau zambrudnya menunjukan kesedihan dan kepedihan yang mendalam atas apa yang terjadi di massa depan.


Love in Time TravelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang