Ille
Jika remaja lainnya sangat senang ketika sendirian di rumah dan melakukan aktivitas sesuka hatinya, lain halnya dengan diriku. Aku saat ini tidak tertarik untuk melakukan apapun. Tubuhku terlalu lemas dan aku sedang tidak mood untuk senang. Kebimbangan menguasai hatiku tanpa sebab di tengah hujan lebat yang turun pada saat ini. Kemudian, aku membuka CCTV yang tersebar di setiap sudut rumah melalui ponselku. Kebosananku berkurang ketika mengamati para pelayan yang berlalu-lalang. Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka. Seseorang masuk ke dalam rumah disusul dengan seorang lainnya.
"Aileen, dengarkan saya dulu," pinta Vincent sambil menarik tangan Aileen.
"Aku ... A-ku lelah Vin, aku ingin tidur," sahut Aileen.
Mata memang tidak bisa berbohong. Aku tahu mama berbohong dan ingin menghindari percakapan tersebut. Tapi, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Aku semakin mengamati apa yang terjadi di ruang tamu saat ini.
"Aileen, kumohon ... jangan mempersulit keadaan," ucap Vincent.
"Kita berdua berjanji untuk jujur satu sama lain!" bentak Aileen.
"Karna itu aku mau menjelaskan hal ini, hal yang kamu ketahui di pesta tadi," balas Vincent.
Mama menangis tersedu-sedu sehingga Papa mengajaknya untuk berbicara di kamar supaya, tidak ada pelayan yang mendengar perbincangan mereka. Namun, tanpa mereka sadari aku mendengar pembicaraan mereka di depan pintu kamar utama tersebut.
"Aileen maaf, maafkan aku karena kamu akan sakit hati begitu mendengar hal ini. Aku mencintainya Aileen. Aku mencintai Nara, wanita yang kamu temui di pesta tadi. Maaf jika dia telah merebut posisimu sebagai istri di sana.
"Aku bertemu dengannya satu minggu yang lalu saat aku tidak bisa pulang karna perusahaan kita kacau. Dia membantuku mengatasi masalah perusahaan dan menghiburku. Seiring berjalannya waktu, aku semakin mencintainya. Tapi tenang saja, cintaku pada keluarga ini tidak akan hilang Leen. Aku masih menyayangi Ille dan kamu," jelas Vincent.
Tangisan mama semakin menjadi-jadi saat papa memeluknya. Di balik pintu kamar ini, aku menahan isak tangisku. Hancur, keluargaku hancur. Sia-sia aku menjaga rahasia ini, sia-sia aku berbohong demi keluarga ini.
Nara, siapapun dia aku bersumpah akan menyiksa wanita kotor itu seumur hidupnya, batinku.
Cekrek ...
"Sejak kapan kamu di sini?" tanya Vincent.
"Sejak kapan ...?" Aku berjalan mendekati Papa, "sejak kapan, ya ... beberapa menit lalu? Satu jam lalu? Ah aku ingat! Sejak satu Minggu yang lalu," sindirku dengan sinis.
Pria yang ada di hadapanku ini bukan Papaku. Dia hanya robot yang tidak memiliki perasaan dan egois.
"Ille ... kamu mendengar semuanya?" tanya Aileen dengan raut cemas.
"Tentang apa? Tentang orang seorang pria yang sudah berkeluarga ternyata selingkuh saat bekerja? Mama kenapa sih diem aja?! Kenapa mama gak marah? Mama kan bisa pukul orang ini atau tampar dia! Lampiaskan perasaan mama! Mama dikhianatin Ma, tolong sadar!" bentakku.
"Maaf Ille, maafkan Papa," pinta Vincent.
"Hah? Papa? Siapa Papaku? Aku udah nggak punya Papa! Orang yang aku sebut Papa, lebih dulu ninggalin aku. Mama juga jangan lemah! Mama harus lawan mereka! Mama akan diinjak-injak kalo sikap mama kayak gini," cercaku.
"Ille, papa minta ma-" ucap Vincent terpotong.
"Nggaak usah minta maaf! Aku benci keluarga ini! Argh ...!" teriakku.
"Ille ...." Papa mendekat dan memelukku, "maaf, papa membuat hatimu sakit," bisik Papa.
"Pergi! Jangan sentuh aku dengan tangan itu! Jangan sentuh aku dengan tangan yang disentuh wanita kotor!" Jeritku.
Malam ini, aku telah kehilangan rasa hormatku pada pria yang kusebut Papa.
***
Malam hari terasa lebih panjang dari sebelumnya. Kondisiku semakin memburuk, keluargaku hancur, dan aku kehilangan Papaku. Kalau saja anak adalah nama jabatan, sudah pasti aku mengundurkan diri saat ini. Rumah megah, banyak uang, kuliah di kampus ternama, dan memiliki ruang lingkup elit, semuanya sia-sia untuk aku miliki. Bahkan rumah megah ini hanya pencitraan belaka untuk memastikan orang luar tidak mengetahui apa yang terjadi di dalamnya.
Kami semua sama-sama tersakiti dan kecewa. Sebenarnya apa itu keluarga? Aku bahkan kehilangan arti keluarga dalam sekejap mata. Pikiranku penuh dengan caci makian dan pertanyaan. Janji apa yang mereka ucapkan di hari pernikahan? Jika saja aku bisa datang ke masa lalu, akan kurekam janji itu. Namun, setelah itu apa yang akan terjadi? Apakah dengan rekaman itu, keluargaku akan tetap utuh? Apakah dengan rekaman itu papa akan tetap mencintai satu wanita yang ia nikahi?
Aku pikir, bangun di pagi hari adalah hal yang tepat untuk menghilangkan pusingku. Namun, aku salah prediksi dan kini aku terjebak dalam kegelapan hatiku. Seorang wanita berambut coklat sedang mengatur barang-barang yang ia bawa. Akuu kira pelayan zaman sekarang memiliki penampilan lebih mencolok dibanding bosnya. Sedetik kemudian amarahku meledak dan menghampiri kerumunan itu.
"Wah ... siapa ini? Pelayan baru? Norak banget," tanyaku dengan sengaja.
"Apa kamu bilang? Pelayan baru? Enak aja, saya Nara dan mulai hari ini saya tinggal di sini," sahut Nara.
"Nara? Ah ... si wanita kotor ... Wah ... dia boleh tinggal di sini? Hari ini dia tinggal di sini, apa besok anda akan menjadikan dia mama kedua saya?" sindirku pada papa.
"Ille, jangan seperti itu. Kalian berdua harus akur karena kalian sekarang keluarga," tegas Vincent.
"Apa? Keluarga? Anda pikir saya mau menerimanya sebagai keluarga untuk tinggal di sini? Jangan mimpi! Rumah ini bisa kotor karna ada wanita kotor penggoda suami orang. Apa anda memikirkan perasaan mama saat membawa dia untuk tinggal di sini?! Saya pikir akal anda sudah hilang sekarang karna kebanyakan bekerja," cercaku.
"Ille, jangan. Mama nggak apa-apa kok. Bi, tolong segera siapkan kamar untuk Nara," pinta Aileen.
"Kalo gitu aku bisa pilih kan mau kamar yang mana? Aku mau kamar utama!" pinta Nara.
"Nggak bisa sayang, kamar utama itu untuk aku dan Aileen," jelas Vincent.
"Ih ... Be aku mau kamar utama please ...." desak Nara.
"Heh! Wanita nggak tahu diri! Sekarang kamu mau merebut posisi Mama saya hah?! Sadar diri dong, kamu cuma dipungut dan diperbolehkan untuk tinggal di sini. Posisi itu nggak cocok sama kamu dan saya tegaskan lagi ya nyonya di rumah ini adalah Aileen!" tegasku dengan sinis.
Plak!
Aku tertegun sambil memegangi pipi kananku yang terasa panas. Orang yang dulunya kusebut Papa telah menamparku demi seorang selingkuhan. Betapa rendah dirinya aku dan Mamaku di hadapan mereka berdua.
"Kurang ajar kamu Ille! Apa Papa pernah mengajarkan kamu seperti ini?! Kamu sangat tidak sopan! Sebenci-bencinya kamu dengan Nara, kamu harus tetap menjaga sikap kamu!" bentak Vincent.
"Apa anda tahu? Saat ini anda telah mengajarkan saya untuk berselingkuh," balasku.
Orang itu terdiam, begitu juga Mama dan wanita kotor itu. Leherku tercekik sehingga nafasku tersenggal dan mataku panas seperti ada yang menerobos keluar.
Tidak, pertahananku tidak boleh runtuh sekarang, batinku."Hari ini, tidak ada yang namanya Ille Thalia lagi. Dia sudah mati dan kalian semua yang membunuhnya," jelasku untuk terakhir kalinya.
Detik ini aku memutuskan untuk meninggalkan istana ini dengan jiwa yang hampa. Tidak ada lagi remaja perempuan bernama Ille Thalia. Dia sudah mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
ill(n)e(ss)
Teen FictionMenceritakan seorang anak remaja perempuan bernama Ille yang sudah memiliki kesibukannya dalam dunia perkuliahan sebagai seorang mahasiswi jurusan arsitektur. Keluarga dan teman-teman di tambah kehidupannya yang selalu memenuhi keinginannya membuat...