ʙᴀɢɪᴀɴ 8

8 2 0
                                    

Ille

     Rasanya kalau tidur di kamar sendiri memang tidak sama seperti aku tidur di apartemen. Sama seperti kemarin malam, aku memutuskan untuk kembali kuliah mulai hari ini.

     Pagi ini aku secara diam-diam keluar kamar lalu melihat apakah meja makan sudah kosong atau masih berada Papa serta Nara sang selingkuhannya. Apes, pagi ini mereka masih asik di sana menyantap sarapan pagi bersama. Terlihat Mama juga duduk di antara mereka.

     "Le! Sini makan bareng." Tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilku dari meja makan sana.

     Aku kembali berjalan menuju luar kamar untuk melihat seseorang tersebut. Liam, dirinya ternyata sudah duduk bersamaan pagi ini. Dengan berat langkah aku menuruni setiap anak tangga menuju meja makan.

     Dingin, sampai detik ini memang aku belum bisa menerima kenyataan seperti ini. Segera saja aku mengambil sehelai roti tawar, lalu mengolesinya dengan selai kacang kesukaanku. Dirasa semua selesai, aku beranjak pergi meninggalkan mereka semua.

     "Kenapa kamu kayak gitu? Tau sopan santun?" Papa mencegat langkahku dengan omongannya.

     "Kalau saya tidak punya sopan santun, sama seperti anda," celetukku kemudian melanjutkan langkahku.

     "Pagi ini gue pergi sendiri aja. Lo nggak usah peduli sama gua lagi," ketusku untuk Liam.

     Liam hanya terdiam, dirinya masih memahami kondisiku. Terdengar samar suara hembusan napas Papa. Tidak peduli, aku tetap melanjukkan langkahku untuk kembali ke kamar, menghabiskan sarapan lalu pergi ke kampus sendirian.

     Setelah sekitar 15 menit, meja makan sudah sepi, mereka sudah pergi ke kantor masing-masing.

     "Ma, Ille pergi dulu, ya. Lah, lo ngapain masih di sini? Guna banget," ujarku ketika melihat Liam yang masih duduk manis menunggu kedatanganku.

     Liam segera sibuk membereskan laptopnya, memasukkan ke dalam tasnya.

     "Yuk pergi," ajaknya.

     "Gue kan udah bilang, kalo gue bakal pergi sendiri." Aku berjalan meninggalkan Liam.

     "Kita ngomongnya nggak make aku kamu lagi?" tanya Liam yang berlari dan berusaha untuk menyamai langkahku.

     Aku segera memalingkan wajahku, menatapnya sinis. "Alay banget, lo! Emang lo siapa gue?" Pagi ini aku sudah berapa kali menyakiti Liam, dirinya masih tetap terdiam.

***

     Liam tetap berjalan dibelakangku, bahkan hingga tiba di kampus, dirinya masih bersikap seperti itu.

     "Siapa nih? Kok udah kuliah lagi? Hahahaha, nggak tahu malu banget." Aura menyambutku.

     Liam segera mengajakku untuk pergi ke kantin, menghindari mereka semua.

     "Le, lo udah balik?" seseorang bersuara berat berada tepat di belakangku.

     Orang itu adalah Daniell, "kenapa? Masalah buat lo?" ujarku tidak santai.

     Kembali lagi Liam menarik tangan Daniell kali ini hingga mereka berdua berada di sudut kantin.

***

Liam

     Aku memutuskan untuk memberi tahu hal ini kepada Daniell, karena menurut aku Daniell merupakan satu-satunya teman Ille yang mungkin bisa mengerti Ille.

     "Ille kena bipolar, lo nggak usah bikin Ille sedih dulu," bisikku.

     Terlihat dari kejauhan Ille sudah menangis tiba-tiba, baru saja dirinya merasa bahagia namun secara drastis semuanya berubah.

ill(n)e(ss)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang