"Le, nanti lo bikin bagian ruang tamu aja, ya. Gue bikin kamar mandi, Daniell bikin kamar tidur, si Aura bikin halaman. Gimana? Setuju gak? Cepetan jawab, gue laper." Feni mengelus perutnya pelan.
Sementara Aura sibuk membuat sketsa bagunan rumah di atas kertas A3 dan Daniel selalu asik akan dunia maya miliknya. Aku menatap Feni, "ya, boleh aja. Tapi ukuran bangunannya udah di sepakati?" tanyaku.
Akhirnya Aura mengangkat kepalanya. "Tadi sih gue udah buat asal nih, kayaknya ukuran 3x4 meter cocok, sih. Pada mau ukuran segitu? El, dengerin dulu. Ini maket waktunya tinggal dua minggu dan kita bel—"
"Iya Aura ... gue setuju. Besok gue kerjain, kirim aja sketsa lengkapnya." Daniell memotong ucapan Aura dan menyambarnya dengan cepat.
Aku hanya terdiam memperhatikan geli tingkah Aura dan Daniell yang sangat senang untuk beradu argumen satu dengan lainnya.
Kring ... kring ... kring ....
Layar ponselku menyala, bertuliskan panggilan masuk dari Papa. Langsung saja aku beranjak menjauh dari mereka untuk mengangkat panggilan masuk tersebut.
"Pa, ada apa?" ujarku membuka pembicaraan.
"Halo sayang, nanti pulang kuliah Papa mau jemput kamu. Lalu kita pergi membeli makanan buat Mama, gimana?" tanya Papa dengan nada bicaranya yang lembut.
"Gimana apanya? Aku bisa aja, Pa. Sekalian mau beli bahan buat bikin maketku," jawabku.
"Nah, gitu donk. Ya udah, nanti kalau udah selesai kamu chat Papa aja," katanya.
"Hm ... oke. Udah dulu, Pa, tiba-tiba ada kelas dadakan. Bye, Pa! See u." Aku mengakhiri panggilan tersebut.
Tut ... tut ... tut ....
Daniell, Aura, dan Feni sudah pergi dahulu menuju kelas. Tanganku sibuk mematikan ponselku dan menyimpannya di dalam saku tas. Langsung saja aku bergegas menghampiri mereka yang sudah menungguku di depan lift. Lift tersebut segera penuh dengan keberadaan kami berempat di dalamnya. Aura menekan angka 20 dalam angka yang tertera, karena kami akan menuju lantai tersebut di mana kelas akan di adakan di sana.
"Panas-panas gini enaknya minum vanilla latte di Libro café, nih," celetuk Feni.
Dengan muka sinisnya Daniell memperhatikan Feni, "lebih enak lagi kalau lo yang traktir. Asik guys kita mau ditraktir Feni," teriak Daniell dengan semangat membaranya mencari kata gratisan.
"Terima kasih, Fen. Berkat lo Libro café akan laku seketika." Aku tersenyum sambil menepuk pelan bahu Feni.
***
Mata kuliah hari ini adalah menghitung skala bangunan agar bangunan tersebut tetap berdiri tegak dan luas setiap ruangan menjadi sama rata. Kaitannya cukup erat dengan dunia fisika, mata pelajaran yang paling membuatku segan sejak SMA. Selesai kelas, seperti ucapannya Feni membelikan kami semua minuman apa saja di Libro café.
Kali ini aku lebih memilih membeli caramel frappuccino. Sambil menghabisi minuman tersebut, sambil aku chat Papa.
"Gue balik duluan guys, jam lima bakal ada pemotretan. Makasih, Fen. Bye guys," decak Aura segera meninggalkan kami bertiga yang masih duduk menikmati minuman masing-masing.
Belum lama kepergian Aura, tiba-tiba Aura kembali dan menghampiri aku, "Papa lo udah ada di lobby," katanya dengan singkat.
Aku segera berdiri, merapikan barang bawaanku. "El, Fen, gue balik dulu. Papa gue udah nungguin gue di lobby dari tadi. Makasih Fen, sering-sering kayak gini." Aku tertawa lalu pergi bersama Aura meninggalkan mereka.
"Le, lo mah enak kayaknya. Setiap hari udah tau siapa yang jemput lo kuliah, siapa yang anter lo kuliah. Lah, kalo gue pulang pergi sendirian. Bergelut di jalan sendirian. Beruntung deh jadi lo, keluarga lo juga enjoy banget," celoteh Aura di sepanjang perjalanan menuju lobby.
"Halo sayang Papa." Papa menyambutku dengan pelukan dan kecupan kecil tepat di keningku.
"Halo juga, Pa," sahutku seraya menyambut pelukan Papa.
"Eum ... Le, gue balik duluan. Permisi, Om," ujar Aura dengan suara kikuk lalu pergi menuju mobilnya.
"Hati-hati, Ra! Jangan bawa ngebut! Santai aja!" seruku kepada Aura yang sudah masuk ke dalam mobilnya.
***
Selama di dalam mobil aku hanya terdiam. Papa mulai melajukan mobilnya keluar dari lobby dan kini kami sudah berada dalam perjalanan. Seketika aku menjadi dingin, suasana antara aku dengan Papa menjadi sunyi. Kami hanya terdiam satu sama lain. Sesekali aku hanya menengok layar ponsel memperhatikan pesan-pesan yang masuk.
Rasanya memang aneh, Papa dan Mama tetap memperlakukanku seperti anak-anak kecil umumnya. Sudah satu tahun aku berkuliah, satu tahun pula Papa selalu bolak-balik mengantar ditambah menjemputku. Mau bagaimana, aku tidak bisa menolak kehendak mereka begitu saja tanpa sebab dan alasan yang jelas.
"Ekhem." Papa berdeham lalu kembali terdiam.
"Kenapa, Pa? Oh iya, ini kita mau beli makanan di mana?" Pada akhirnya aku yang kembali memecahkan keheningan dengan beberapa pertanyaan basa-basi.
"Awalnya sih Papa mau beliin mama cheese cake, tapi kayaknya red velvet cake lebih enak. Kamu sendiri mau cake apa?" tanya Papa.
Aku mengangguk kecil, "kalau Ille mau banyak gimana? Boleh gak?" Aku menatap Papa disertai senyum sumringah.
Papa hanya tertawa menggeleng melihat tingkahku.
"Boleh, sih. Tapi awas nanti kamu kemanisan." Tawa Papa menggoda aku.
Suasana kayak gini, suasana yang belum tentu akan sama esok hari, gumamku dalam hati. Sudah seharusnya aku bersyukur dengan keadaanku saat ini, tidak wajar jika aku tidak menyukai cara kedua orang tuaku memperlakukanku.
***
Ckrek ....
"Mama, Ille sama Papa udah pulang. Liat deh, Ille sama Papa beliin cake kesukaan Mama." Pandanganku memperhatikan setiap sudut rumah mencari keberadaan Mama.
"Bi, Mama kemana?" tanyaku kepada Bi Inah karena setelah beberapa lama mencari Mama, namun belum menemukannya.
Bi Inah mengacungkan jarinya, menunjuk dapur. Segera saja aku pergi ke dapur untuk menghampiri Mama. Ku bawa semua bungkusan cake yang telah aku beli bersama Papa hari ini.
"Aduh Ille, maaf tadi Mama asik masak makan malam. Kenapa, sayang? Bawa apa tuh? Kayaknya enak," ujar Mama sambil melirik bungkusan yang aku bawa.
"Tada ... aku beliin cake kesukaan Mama. Eh, belinya sama Papa juga, kok." Aku menjulurkan cake tersebut dihadapan Mama.
Mama segera tersenyum kemudian berbalik kembali menuju kompor yang masih terdapat masakan buatan Mama. "Malam ini sepertinya akan ada dinner besar, nih," sindir Mama.
Ternyata Papa sudah memperhatikan kami sejak tadi, "iya dong, sayang ... gak apa-apa sesekali kita seperti ini." Kembali Papa mengecup kening Mama.
Mungkin, Mama sama Papa adalah pasangan yang setiap hari berhasil membuatku terbang dalam dunia khayalanku sendiri. Ille sayang kalian semua, ujarku sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
ill(n)e(ss)
Novela JuvenilMenceritakan seorang anak remaja perempuan bernama Ille yang sudah memiliki kesibukannya dalam dunia perkuliahan sebagai seorang mahasiswi jurusan arsitektur. Keluarga dan teman-teman di tambah kehidupannya yang selalu memenuhi keinginannya membuat...