ʙᴀɢɪᴀɴ 5

3 2 0
                                    

Ille 

     Seorang perempuan berjalan menyusuri jalan raya yang ramai di bawah dinginnya angin malam. Rupanya, ia menangis meratapi nasibnya bersama dengan bumi. Aku lelah membuat narasi puitis tentang hidupku. Namun, narasi ini sangat mewakilkan kepedihanku saat ini. Jika kalian berpikir bahwa aku tidak punya tempat untuk tinggal, kalian salah. 

     Aku mendapat apartemen di kawasan Jakarta Barat pada ulang tahunku yang ketujuh belas. Apartemen ini tetap terawat walau sudah lama tidak kukunjungi. Keramaian malam kota Jakarta terlihat dari dalam kamar. Pikiranku tenggelam dalam masa lalu. Mengenang kembali semua perasaan bahagia yang kurasakan. Tiba-tiba mataku panas dan mengeluarkan air mata tanpa kuingini. Bisa kupastikan bahwa ini bukan tangisan kesedihan. Entahlah, perasaan ini asing. 

     Kring ... kring ...

     Dering telepon berhasil membangunkanku pagi-pagi. Aku segera tahu siapa yang merusak mimpiku, sahabatku.

     "Halo?" jawabku.

    "Le, lo di mana?" tanya Daniell.

     "Oh ... gue di apartemen," balasku.

     "Le, lo harus tau apa yang terjadi di sini." Seketika nada bicara Daniell meninggi.

     "Ada masalah apa lagi?" tanyaku.

     "Semua kacau Le, barusan gue sama yang lain ke rumah lo. Kata Bi Inah lo lagi pergi, trus kita ketemu sama mamanya Aura di rumah lo," jelas Daniell

     "Hah? Mama Aura? Jangan bilang mama Aura itu ... Nara?" tanyaku memastikan.

     "Hah apa, Le? Ngomong jangan cepet-cepet napa," pinta Daniell.

    "Sekarang kalian lagi di mana?" tanyaku dengan tidak sabar.

    "Di rumah gue, Aura lagi shock banget karna setau dia mamanya lagi kerja di luar negri. Feni lagi tenangin Aura. Sebenernya kenapa bisa tante Nara tinggal di rumah lo Le?" tanya Daniell penasaran.

     "Gue ke rumah lo sekarang, biar gue jelasin di sana," jawabku.

     Aku segera menutup telepon dan bersiap pergi. Pikiranku berkecamuk, aku bingung bagaimana menjelaskan bahwa papaku selingkuh dengan mama sahabatku.

     Ketika aku membuka pintu mobil, pandanganku melihat rumah putih di tengah danau yang terlihat damai. Pintu di buka oleh penjaga rumah. Aku segera naik ke lantai tiga dan masuk ke kamar monokrom milik Daniell.

     "Le, udah datang toh," sapa Daniell.

     "Lo ngapain di sini? Mending lo pergi!" Pinta Aura.

     "Kok lo suruh gue pergi? Gue kan mau jelasin semuanya tentang Mama lo," balasku ketus.

     "Penjelasan apa hah? Gue udah tau kok kalo Papa lo yang maksa Mama gue untuk tinggal di sana!" Tergambar jelas emosi Aura.

     "Apa?! Kata siapa?" tanyaku kaget.

     "Mama gue lah, dia kan korban!" jawab Aura dengan marah. Suasana semakin menegang.

     "Lo salah, Ra! Bukan Papa gue yang maksa. Mama lo tuh yang kegatelan godain suami orang!" Akhirnya aku tidak bisa menahan emosiku sendiri.

     "Apa sih, Le. Lo nggak boleh gitu sama Aura. Gue tau lo nggak terima tapi bagaimana pun juga mereka korban," tutur Feni.

     "Lo bahkan belum denger apapun dari gue, tapi lo udah nuduh Papa gue. Lo pikir kalo cowok sama cewek selingkuh, yang salah cowoknya doang apa?" seruku.

     Melihat hanya ada emosi di sini, Daniell menjadi risih. "Kok kalian berantem sih? Ini kan urusan orang tua Ille sama Aura, bukan urusan kalian," jelas Daniell.

     "Tapi gue nggak suka sama respon Ille, dia malah balik nuduh Mama Aura yang jelas-jelas korbannya," jawab Feni kepada Daniell.

     "Lo pikir korbannya cuma Mamanya Aura hah? Mama gue dan gue juga korban di sini! Apa lo tau gimana perasaan gue ketika tau mereka selingkuh? Ketika tau kalo Mama gue nggak akan bereaksi apa-apa saat dia udah tau di selingkuhin?!" Ungkapku penuh emosi.

     "Le, lo aja yang nggak pernah bersyukur. Lo punya Papa, Mama yang sayang sama lo, rumah bagus, kuliah di universitas terkenal, bahkan lo terkenal banget di kampus. Lo gak perlu cari temen, yang ada temen yang cari lo. Sedangkan Aura? Dia cuma punya Mamanya, Le, itu pun Mamanya nggak pernah ada di sisi dia karna sibuk kerja. Sekarang apa? Papa lo ambil Mamanya dan sekarang dia nggak punya siapa-siapa lagi," jelas Feni.

     Mengapa mereka menyudutkan keluargaku padahal yang bersalah bukan hanya papaku? Mereka juga mati-matian membela Aura dan memarahiku. Mereka tahu apa tentang hidupku?, batinku.

     Aku tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Walau banyak yang ingin ku katakan namun, semuanya tertahan di dalam hatiku. Energiku juga terkuras banyak tapi, emosiku masih meluap-luap. Aku sungguh tak terima hanya keluargaku disudutkan.

***

Liam 

     Aku bangun pagi seperti hari biasanya. Untuk menjaga kegantenganku ini, aku harus pergi ke tempat gym setiap hari. Otot-otot ini perlu di regangkan untuk menciptakan tubuh yang kuat. Aku melakukan ini untuk misi membuat Ille Thalia bahagia dan menjadi pacarku. Walau kemarin aku di tolak bahkan dijuluki sebagai parasit, aku tidak akan menyerah. Bagiku mendekati Ille adalah tantangan.

     Saat berlari di atas treadmill, tiba-tiba ponselku bergetar bertanda ada yang menelponku. Kuambil ponselku dari saku dan kulihat nama "Tante Aileen" tertera pada nama panggilan. Ya, saat aku pergi ke rumah Ille beberapa hari lalu, Tante Aileen meminta nomorku untuk hal darurat.

     "Selamat pagi, Tante. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku.

     "Pagi Liam, maaf ya pagi-pagi tante sudah mengganggu kamu," ucap Aileen.

     "Iya, nggak apa-apa Tante," balasku.

     "Jadi gini, sehari setelah kamu ke rumah Tante, Ille kabur dari rumah," jelas Aileen.

     "Ille kabur? Apa karna saya ke rumah dia, Tante?" tanyaku cemas.

     "Bukan, ceritanya panjang. Tapi Tante tau dia di mana. Dia ada di apartemennya, kok. Tante boleh minta tolong kamu untuk bujuk dia pulang? Soalnya telepon Tante nggak pernah dia angkat," tutur Aileen.

      "Oh boleh, Tante. Saya akan bujuk dia," Jawabku dengan pasti

     Aku senang sekali, kesempatan kali ini bisa membuat aku semakin dekat dengan Ille. Juga, tante Aileen yang sudah mempercayaiku untuk membawanya pulang. Setelah aku mendapat alamat apartemen Ille, aku bersiap untuk mengemas barang-barangku di rumah. Aku tahu, membujuk seorang Ille Thalia sangatlah susah. Oleh karena itu, aku berniat untuk pindah ke sebelah apartemennya.

***

ill(n)e(ss)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang