Ille
Aku mematung tepat di beberapa anak tangga saat hendak turun ke dapur untuk mengambil air putih. Sepertinya, mimpi burukku semalam berlanjut hingga pagi ini. Penampakan yang aku lihat pagi ini benar-benar memuakkan hati. Bagaimana bisa seorang laki-laki asing masuk kedalam rumahku tanpa diusir oleh satpam, duduk di sofa ruang tamu bersama mamaku dengan wajah liciknya itu.
"Pagi sayang, sini ada temanmu," ucap Aileen.
Hampir saja lupa mengenalkannya, Aileen merupakan nama Mamaku.
Teman? Huh, siapa teman? Dasar licik! Pagi-pagi sudah mengganggu hidupku saja, batinku.
Dengan langkah malas, aku berjalan menghampiri mereka berdua dan duduk di salah satu sofa mahal karya desainer ternama itu. Namun, sedetik kemudian mamaku pergi meninggalkan kami berdua di ruangan dingin itu. Rasa sesak menghinggapi sekujur tubuhku dan hawa dingin ruangan ini mencekikku perlahan-lahan. Demi apapun, aku tidak akan bisa merasa nyaman berada di dekat orang ini.
"Hai Ille, gimana kabar lo?" sapa Liam.
"Emangnya kita sedeket itu sampe lo bisa dateng ke rumah gue dan nanya kabar gue?" sahutku.
"Maaf, Le kalo gue ganggu, gue kesini cuma mau tanya kondisi lo," tutur Liam.
"Gue punya satu permintaan dan lo harus kabulin," kataku berlagak serius.
"Apa? Bilang aja, pasti gue kabulin kok," Raut wajahnya menatap lekat diriku.
"Jangan pernah deketin gue lagi, gue muak sama lo. Mau lo berusaha kayak gimana pun, gue gak akan ngeliat lo. Lo itu cuma orang asing yang jadi parasit di hidup gue," seruku dengan kata-kata menyakitkan.
Aku pergi meninggalkannya tanpa memikirkan perasaan dirinya. Aku sama sekali tidak peduli dengan dia ataupun perasaannya. Dia hanya parasit bagiku, tidak kurang dan tidak lebih.
***
Aileen
Aku sangat bersyukur karena Ille memiliki teman-teman yang baik di sekitarnya. Pagi ini, seorang remaja laki-laki berkunjung ke rumah kami dan memperkenalkan diri sebagai teman Ille. Aku rasa hubungan mereka tidak hanya sebatas teman, kuharap lebih dari itu. Ku beri ruang untuk mereka bicara, aku tahu diri untuk tidak ikut dalam pembicaraan dua insan muda yang sedang dalam masa pendekatan ini.
Kemudian, lift rumah membawaku ke lantai tiga. Aku membuka pintu putih bergagang emas dan memasuki ruangan bernuansa elegan dengan dinding kaca menghadap kebun. Sungguh pemandangan yang luar biasa. Aku mengelilingi kamar mewah itu. Mataku terhenti pada satu bagian dan menatapnya dengan sayu. Helaan nafas keluar dari hidungku dan aku duduk menatap kasur yang tertata rapi itu.
Sudah satu minggu kamu tidak pulang, sayang. Kasur ini terlalu besar untukku tiduri sendirian. Aku ingin kamu pulang dan menghabiskan waktu dengan keluargamu, Vincent, lirihku.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara ketukan pintu yang membuatku terperanjat kaget.
"Maaf nyonya, anda mendapat undangan penting dari perusahaan," ujar sekretarisku.
Ia kemudian menyerahkan amplop hitam berisi undangan resmi perusahaan. Aku tahu dengan pasti isi dari undangan tersebut. Undangan ini telah kuterima setiap tahunnya. Undangan anniversary perusahaan yang tak pernah kuhadiri.
"Apa tahun ini nyonya akan menghadiri acara tersebut?" tanyanya.
"Vincent pasti datang kan?" tanyaku memastikan.
"Iya, nyonya" jawabnya.
"Kalau begitu saya akan datang," ucapku.
"Apakah anda yakin nyonya?" tanya sekretarisku tidak percaya.
"Ya, saya harus bertemu suami saya." tegasku.
"Anda bisa menemui beliau setelah acara, nyonya," katanya.
"Saya sudah tidak sabar untuk bertemu dia. Tolong siapkan gaun saya untuk nanti malam." pintaku.
Sekretaris itu segera melakukan perintahku. Aku sangat tidak sabar untuk bertemu orang yang kurindukan selama tiga bulan. Ku motivasi diriku sendiri untuk tidak gugup di hadapan para kolega perusahaan dan tempat asing itu. Namun, aku tetap cemas dan tidak tahu keputusanku ini akan menyakiti hatiku.
***
Di tengah hiruk pikuk Kota Jakarta dan kebimbangan hatiku, akhirnya aku memutuskan untuk lebih dulu menemui suamiku di kantornya. Setelah turun dari mobil, kulihat para karyawan menyambutku dengan membungkukkan badan. Sungguh, butuh belasan tahun bagiku untuk beradaptasi dengan hal ini. Kemudian, salah satu karyawan menghampiriku dan berkata bahwa Vincent sudah berangkat lebih dulu ke salah satu gedung pertemuan yang megah di Jakarta Selatan. Aku pun kecewa dan segera berangkat menyusul suamiku tercinta.
Kartu undangan hitam yang kuserahkan ke petugas adalah kunci masuk, untuk bisa melewati pintu pengawasan dengan aman tanpa keributan. Setelah memasuki gedung, aku terkagum dengan dekorasi acara yang mewah dan elegan. Memang, karyawan perusahaan kita yang terbaik. Mataku menjelajahi setiap celah dengan saksama dan kutemukan seseorang yang ku cari selama ini.
Deg!
Benarkah dia adalah orang itu? benarkah dia suamiku? Memang, tiga bulan adalah waktu yang lama dan kini ia juga semakin tampan, batinku.
Hatiku rasanya ingin meledak saat kuhampiri pria tersebut. Mulutku tersenyum lebar hingga aku melihat sesuatu yang membuat langkahku terhenti. Bagaikan kaca yang terhempas ke batu, begitu pula perasaanku saat ini. Duniaku hancur, kepalaku sakit seperti ada yang melempar batu. Perasaan campur aduk yang kurasakan saat ini, sangat kontras dengan perasaanku beberapa menit lalu. Dalam tiga detik aku hancur oleh sebuah kalimat "ia adalah istriku." Aku gemetar melihat tangan itu bukan berada di pinggangku, melainkan pada orang lain.
Aku tidak sanggup mengeluarkan satu kata pun. Aku di sini, terdiam di tengah-tengah keramaian dan kehancuran duniaku.
"Aileen ... em ... k-kenapa kamu di sini?" tanya Vincent gugup.
"Siapa dia, sayang?" tanya Nara.
"Em ... d-dia ... ini d—" ucap Vincent dengan gugup.
"Maaf pak, saya akan segera kembali ke kantor." Selaku dengan cepat.
Dengan pikiran yang campur aduk, aku mengambil keputusan untuk berpura-pura menjadi karyawan biasa dan menjaga harga diri pria yang kucintai.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ill(n)e(ss)
Підліткова літератураMenceritakan seorang anak remaja perempuan bernama Ille yang sudah memiliki kesibukannya dalam dunia perkuliahan sebagai seorang mahasiswi jurusan arsitektur. Keluarga dan teman-teman di tambah kehidupannya yang selalu memenuhi keinginannya membuat...