🌻🌻🌻

5 2 0
                                    

Ille
    Masa- masa akhir semester memanglah menyebalkan karena aku harus mengikuti UAS untuk bisa lanjut ke semester berikutnya. Alhasil, di sinilah aku pagi-pagi dengan muka bantalku berjalan menyusuri lorong kampus. Banyak mahasiswa yang memandangku bahkan berbisik-bisik, mungkin mereka kagum padaku. Jangan salah, aku adalah mahasiswa terkenal di seluruh penjuru kampus, meski aku tidak tahu kenapa.

    Lihat, bahkan di kelasku pun banyak mahasiswa yang rupanya membicarakanku. Tapi, sedetik kemudian kepercayaan diriku menurun ketika melihat sahabatku, Aura duduk di kelilingi temanku yang lainnya. Setelah ku perhatikan lagi, raut wajah mereka tidak bersahabat.

    "Gue nggak nyangka keluarga lo bisa kayak gitu, Le," celetuk salah satu temanku.

    "Le, lo nggak bersyukur banget," sahut yang lainnya.

    "Kalian kenapa sih? Gue baru dateng loh ini," tanyaku.

    "Lo dan keluarga lo sama sekali nggak berperasaan, Le. Bisa-bisanya lo kayak gitu ke sahabat lo sendiri," ungkap Feni.

    "Jadi lo masih mempersalahin masalah tadi malem? Oh ... gue ngerti, lo sebarin masalah kemaren ke satu kampus kan?" tanyaku memastikan.

    "Iya, biar lo sadar diri kalo seorang Ille Thalia nggak mungkin bisa punya semua yang dia inginkan," jelas Feni.

    "Manfaatnya buat lo apa, Fen? Masalah ini nggak ada hubungannya sama lo, bahkan sama temen-temen yang lainnya," tegasku.

    "Manfaatnya, ya, buat sahabat gue lah, Aura. Dia yang paling tersakiti di sini. Gue sengaja sebar supaya lo juga ikutan sakit hati, Le," sergah Feni.

    "Jadi, gue bukan sahabat lo?" tanyaku sambil menahan air mata.

    Pertanyaan itu berhasil membungkam Feni dan keributan lainnya. Aku menatap satu persatu sahabatku dan menyadari bahwa tidak ada yang membelaku.

    "Gue bukan sahabat lo, El? Makanya lo nggak bela gue dari awal?" Aku bertanya hal yang sama kepada Daniell yang sedari tadi hanya diam.

    "Ra, kenapa lo diem aja? Bukannya ini masalah keluarga lo dan gue? Kenapa Feni yang dari tadi angkat bicara? Apa lo ngerasa bersalah karna nuduh gue?" suaraku gemetar tapi aku menahannya.

    "Lo bukan sahabat gue, Le," sahut Aura lirih.

    Hatiku remuk dengan pernyataan yang diucapkan Aura. Hari ini, aku telah kehilangan semuanya, keluarga, sahabat, dan lingkunganku. Aku benar-benar sendirian di sini, di tempat yang sama namun sangat terasa asing.

***

    Hujan turun sebagai pelengkap penderitaanku hari ini. Aku tidak peduli, kakiku tetap berjalan di tepi jalan hingga semua tubuhku basah kuyup. Aku biarkan kakiku membawa tubuh ini entah kemana. Aku benar-benar sendirian, tidak punya siapa-siapa. Aku ingin menumpahkan semua kesedihanku, aku ingin mengeluarkan semuanya. Aku sudah tidak tahan lagi untuk menyimpan semua. Kenyataan begitu kejam. Hanya aku yang tersakiti di sini. Aku butuh pertolongan, kalian harus menolongku. Aku lebih butuh pertolongan, aku butuh seseorang, aku butuh perlindungan. Semuanya hilang, semuanya lenyap.

    Aku berjalan menyebrangi jalan raya tanpa lampu merah. Sungguh aku tidak peduli bila mati sekarang. Aku berharap sebuah mobil menabrakku, aku berharap nyawaku hilang saat ini juga. Rupanya keinginanku terkabul. Sebuah mobil melaju kencang ke arahku. Aku sudah siap, langkah kakiku terhenti lalu kututup mataku.

    Din! Din!

    5 ... 4 ... 3 ... 2 ... 1 ... selamat tinggal semuanya.

    Hm? Tidak terjadi apa-apa? Apakah aku sudah mati? Batinku.

ill(n)e(ss)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang