DLM || 08. Ngambek

12 8 11
                                    

HAPPY READING!!!
TINGGALKAN JEJAK BERUPA VOTE DAN KOMEN🐳
___

"Ngambek sama emak itu serba salah. Mau makan, gengsi, nggak makan lapar."
___

Sepulang kuliah, Fauz disibukkan mencari jaringan yang bagus untuk menemukan cara menghilangkan warna kuning kunyit diwajahnya. Andai ia tidak ceroboh, pasti tidak akan seperti ini.

"Nggak capek, Uz? Lama-lama gue pusing liat lo kayak cacing kepanasan." Fahri berkacak pinggang sembari memegang sapu layaknya emak-emak yang hendak memarahi anaknya.

"Dari pada lo mondar-mandir nggak jelas, mending bantu kita nyapu," kata Fandi. Ada benarnya juga, sih.

Fauz menatap lawan bicaranya. "Udah, lo saja. Jarang-jarang lo nyapu gini, biasanya sibuk sama pacar-pacarnya."

Akibat tadi pagi Fandi membanting handphone-nya, membuat benda pipih itu ngambek tak mau hidup. Ponsel Presiden buaya darat saja begitu, apa lagi pacar-pacar.

"Iri? Bilang, Bos! Ahay ... eh-" Fandi berhenti berbicara ketika kata yang keluar dari lisannya salah.

Lawan bicara Fauz diam sejenak, berusaha mengingat hal yang ingin dikatakan kepada anak Emak Iiz. Namun, yang dilakukannya tak membuahkan hasil. Yang sudah hilang, akan sulit kembali.

Ting!

Benda yang berada dalam genggaman Fauz berdenting, pertanda ada notifikasi masuk. Apakah dari mantan Fandi lagi? Sudah cukup jengah kembaran kuntilanak itu mendapat pesan beruntun dari orang yang tak pernah diharapkannya.

Seketika raut wajah Fauz masam. Menurutnya, lebih baik mendapat pesan dari mantan Fandi saja, dari pada dapat pesan yang membuat jantungnya berdetak kencang.

Kuota internet Anda sudah habis. Silakan isi ulang di konter terdekat. Ingat, konter! Bukan KUA. Anda hanya akan mengisi paket, bukan mau menikah.

Kira-kira seperti itulah isi pesan yang membuat jantung Fauz berdetak kencang. Datang tak tepat waktu, layaknya cinta, eh.

"Diperjuangkan, malah mengecewakan," kata Fauz.

Masih ingat, sejak tiga puluh menit yang lalu, ia mondar-mandir mencari jaringan. Sekarang, ketika sudah berada diposisi yang tepat, kuota internet-nya malah habis.

"Lo lagi berjuang buat cewek yang mana? Namanya siapa? Kali saja gue kenal." Fandi terkesiap, baru kali ini ia mengetahui Fauz memperjuangkan perempuan. Padahal, kan tidak begitu.

"Jaringan." Fauz menjawab tanpa menatap lawan bicaranya. Pandangannya masih terfokus pada teks dilayar handphone-nya.

"Hah? Jaringan? Emang ada cewek yang namanya gitu? Baru tau gue. Cewek mana? Cantik nggak? Boleh minta WA-nya nggak?" Tak biasanya Presiden buaya darat menyerang seseorang dengan pertanyaan beruntun. Apa karena perempuan? Dasar, buaya!

"Maksud lo apaan? Gue nggak ngerti. Cewek? Cewek yang mana?" Kini giliran Fauz yang bertanya. Fahri? Ia sibuk menyapu, mengabaikan percakapan kedua sahabatnya. Nggak penting juga, kan?

"Jaringan. Kata lo tadi, namanya jaringan," kata Fandi polos. Ah, mengapa ia begitu mudah mempercayainya?

"Iya, gue tau lo diputusin Rara. Tapi nggak gini juga, Fan," kata Fauz sembari menepuk bahu Fandi pelan.

Fauz mengira, Fandi sudah tidak waras lantaran putus cinta. Ada-ada saja dia, jangankan gila, galau saja tidak pernah. Presiden buaya darat mana bisa gitu, kecuali jika sudah benar-benar melibatkan perasaan.

Fandi menyingkirkan tangan sahabatnya dengan kasar. "Ish, apaan, sih?! Lo kira gue ini kenapa?"

"Gila, gue kira lo gila gara-gara diputusin Rara." Fauz menjawab dengan jujur tanpa menyembunyikan apa pun.

"Berdosa banget lo, Uz," balas Fandi seraya menjitak dahi lelaki yang kini mengenakan pakaian casual.

Fahri yang sedari tadi memerhatikan kedua sahabatnya seusai menyapu, ia berencana mengusili Presiden buaya darat itu. "Uz, dia siapa, ya?"

Lelaki yang mendapat julukan terbanyak di antara mereka bertiga, berpikir sejenak. Lalu, mengerti dengan ujaran Fahri beberapa detik lalu. "Gue nggak tau juga, Fah. Intinya, dia bukan sahabat kita."

Fandi cuma bisa mematung. Apa yang sahabatnya lakukan? Apa mereka memutuskan tali persahabatan?

"Keluar, yuk, Uz!" Kemudian Fahri merangkul anak Emak Iiz. Mereka berdua melangkah keluar tanpa memedulikan raut wajah bingung Fandi.

"Wah, bener-bener kalian!" Fandi murka. Ia berjanji, nanti malam akan ngambek kepada sahabatnya. Seperti perempuan, ya.

"Omegat!"

"Astaga!"

"Astaga, Ayang!"

Tiga suara berbeda itu terdengar saat Fauz dan Fahri membuka pintu. Sepertinya Fauz lupa akan wajahnya, hingga membuat trio Syantik-syantik manjah menghentikan kegiatan mencabut rumput liar.

"Gue lupa," kata Fauz.

***

Malam harinya, Fandi benar-benar melakukan aksi ngambek. Sebab itulah ia tidak makan malam, gara-gara makanannya hasil masakan Fauz. Seperti ngambek sama emak saja, mau makan, gengsi, nggak makan lapar. Serba salah.

"Lo kenapa, sih?" kata Fahri pasai. Entah sudah berapa kali ia melihat Fandi melakukan aksi ngambek. Cowok kok ngambekan?

"Diem, aja. Gue lagi ngambek."

"Heran, ngambek malah bilang."

Fauz turut membuka suara. "Lo cowok atau cewek, sih, Fan? Kok ngambekan."

Fandi hanya diam saja, tidak berniat menjawab. Ada hal yang harus ia urusi secepatnya, yakni perut yang sedari tadi minta jatah.

"Sebenarnya lo kenapa, sih? Seneng banget tiba-tiba ngambek," kata Fauz.

Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan oleh sahabatnya, membuat Fandi tambah kelaparan. Tanpa mengatakan apapun, ia beranjak dari kasur untuk keluar mencari warung makan yang masih buka.

"Fan, lo mau ke mana malam-malam gini? Awas ketemu kembaran gue!" Usai mengatakan itu, Fauz berniat menyusul sahabatnya yang telah ngambek, namun langsung ditahan oleh Fahri.

"Udah, biarin saja. Palingan besok udah nggak ngambek lagi. Tahu sendiri, kan gimana Fandi?" Ada benarnya. Fandi paling anti ngambek berhari-hari, paling cuma semalaman saja.

"Iya juga, sih. Heran sama tuh bocah, hobi banget ngambek tanpa alasan. Kayak cewek!"

"Kayak cewek? Emang pernah ada cewek yang ngambek sama lo?" tanya Fandi. Ia tahu betul, sahabatnya sama sekali tidak pernah dekat sama perempuan manapun, kecuali emaknya. Apa jangan-jangan emaknya yang ngambek?

"Ada, emak gue. Kalau emak gue ngambek, beuh, lebih serem dari cewek yang lagi datang bulan. Siap-siap serba salah."

Fahri tersenyum setiap Fauz bercerita tentang keluarganya di kampung. Ia sedikit iri, keluarga sahabatnya sangat harmonis, berbeda dengan keluarganya. Selama Fahri hidup, terlalu banyak kekangan.

"Terus, lo pernah ngambek sama tante Iiz, nggak?"

"Emak gue jangan dipanggil tante, beliau lebih suka dipanggil emak. Kalau soal ngambek, gue sering. Paling serba salah pas lapar, mau makan, gengsi, nggak makan malah lapar."

"Jadi pengen punya keluarga kayak lo, Uz. Keluarga gue malah sibuk ngasih kekangan. Nggak boleh ini, nggak boleh itu," keluh Fahri.

Keluarga trio Moygans begitu beragam. Fauz terlahir dari keluarga sederhana, namun harmonis. Fahri putra dari pasangan religius yang begitu mengekang putra-putrinya. Fandi? Banyak orang bilang, lelaki itu adalah anak yang tak pernah diinginkan kehadirannya, bahkan ayahnya saja tidak diketahui.

"Kalau orang tua lo gitu, berarti mereka sayang sama lo. Hanya saja, mereka menunjukkannya lewat hal yang nggak lo suka."

#To be continued

Ditikung Lagi, Mak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang