DLM || 09. Hati Presiden Buaya Darat

14 8 6
                                    

HAPPY READING!!!
TINGGALKAN JEJAK BERUPA VOTE DAN KOMEN🐳

___

"Ada yang patah, tapi bukan ranting. Ada yang pecah, tapi bukan kaca. Ada yang terbakar, tapi bukan kayu. Lalu apa? Ya hati Fandi lah!"

~Rafa Fauzan Athalla.
___

Jam dua dini hari, Fauz terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal, seperti baru dikejar anjing Pak Sarimin dan orang gila pasar. Suara teriakan dalam mimpinya membuat ia ketakutan. Siapa yang tidak takut, jika mendengar suara tanpa rupa?

Fauz menoleh ke arah Fandi yang tengah mengigau. Ternyata, suara tanpa rupa itu berasal dari dunia nyata yang terdengar hingga ke mimpinya.

"Kenapa lagi tuh bocah!" kata Fauz kesal.

"Ra, gue sayang sama lo."

"Kenapa saat gue sayang, lo malah pergi?"

"Gue nggak mau kehilangan lo."

Lelaki yang baru terbangun itu mengernyit heran mendengar sahabat mengigau. "Ra? Maksudnya Rara?"

Ketika menyadari nama orang yang disebut Fandi, cowok itu bergegas membangunkan Fahri, tak lupa membawa ponselnya. Tanpa merekamnya, tidak akan asik. Kapan lagi mengabadikan momen langka seperti ini jika bukan sekarang?

"Fah, bangun! Buruan bangun, penting banget nih." Fauz menggoyang-goyangkan tubuh Fahri hingga cowok itu terganggu.

"Hm? Apaan? Gue ngantuk banget," kata Fahri dengan suara khas orang baru bangun tidur.

"Fandi ngigau, tuh."

"Terus mau diapain? Disiram pakai bensin?"

"Gila, yakali disiram pake bensin, emang Fandi mau dibakar?" Lagi-lagi Fauz merasa kesal. Ternyata, membangunkan orang tidur tidak semudah yang ia pikirkan.

Dari pada kehilangan kesempatan berharga, Fauz lebih memilih memvideokan igauan Fandi mengenai perasaannya. Ia tak menyangka, sosok Rara bisa membuat sahabatnya seperti ini.

"Kenapa lo pergi, Ra? Gue sayang sama lo. Gue nggak bisa hidup tanpa lo."

"Ra, lo satu-satunya cewek yang buat gue gini. Kenapa lo nggak bertanggung jawab?"

Setelah durasi videonya cukup lama, Fauz menyudahi kegiatannya. Sayang penyimpanan, sayang handphone kentang. Ia tersenyum bangga, sebentar lagi, Fandi tidak akan malas bersih-bersih kost lagi. Akhirnya, ada ancaman yang membuat sahabatnya tunduk.

***

Akibat semalam melakukan misi rahasia, Fauz kesiangan. Sang koki kesiangan? Fandi dan Fahri yang akan kelaparan.

Ketika lelaki pemilik senyum manis itu terbangun, akan ada amarah yang bergejolak. Baru bangun tidur, keadaan dapur sangat rapi, banyak tanah berceceran di lantai bahkan sampai ke wajan.

Kekacauan terjadi beberapa menit yang lalu. Dua lelaki tidak tahu masak, memegang alih dapur hingga menciptakan masakan yang tidak layak dimakan. Sok tahu, sih! Udah gosong, keadaan dapur amburadul. Alamak!

Fahri menatap sendu hasil masakannya, berbeda 100% dengan masakan kembaran kuntilanak itu. Ia merasa bersalah telah mengacaukan dapur, lebih parahnya lagi, memusnahkan beberapa bahan makanan dan minyak goreng. Padahal kan mahal.

"Gimana, nih?" tanya Fandi.

"Gatau, kalau lo nggak maksa, mungkin nggak bakal gini, Fan."

"Kenapa nyalahin gue? Salahin saja tukang jualan nasi, kenapa nggak jualan deket-deket sini coba. Pokoknya salah tukang jualan nasi!"

Tukang penjual nasi yang tidak tahu apa-apa, malah disalahkan. Mungkin saja ketika waktu kejadian, mereka tengah menghitung sisa uang yang telah digunakan untuk belanja, atau malah mencentong nasi.

"Tukang jualan nasi nggak tahu apa-apa, lho. Lo yang salah, kalau kemarin nggak ngambek, lo nggak akan kelaparan gini."

"Salah-" Fandi terpaksa membungkam mulutnya ketika mendengar suara penguasa dapur, yakin Fauz anak Emak Iiz.

"Apa apa nih? Pagi-pagi gini ribut. Ganggu orang bangun tidur saja." Fauz menggaruk tengkuknya yang terasa gatal, seraya melangkah ke arah dapur.

"Maaf, Uz ... dapurnya berantakan gara-gara anjing pak Sarimin kabur ke sini," kata Fahri spontan.

Fandi menyalahkan penjual nasi dan Fahri menyalahkan anjing Pak Sarimin. Kalian ini berdosa banget!

***

Di ruangan penuh manusia, tidak terdengar suara apa pun, kecuali suara spidol dan papan tulis yang saling bersentuhan. Tidak ada yang berani membuat keributan di dalamnya. Sayang nyawa, sayang tubuh, sayang tenaga, sayang dia, eh. Lupakan saja.

"Pak, janganlah. Jangan pindahkan saya ke sini. Sumpah, Rara nggak mau, Pak. Rara udah nyaman di kelas itu, nggak mau pindah." Suara itu memecah keheningan, bahkan semua orang yang berada di ruangan sunyi, mengalihkan pandangannya ke sumber suara.

"Fan, itu suara Rara mantan lo, kan?" tanya Fauz.

Sedikit pemberitahuan, Fauz mempercayai ucapan Fahri. Emang kenyataannya anjing Pak Sarimin sering mengunjungi tempat kekuasaan anak Emak Iiz. Tetapi, hanya ketika trio Moygans kuliah tanpa mengunci pintu. Kasihan sekali Sarmin-Anjing Pak Sarimin- Padahal ia sama sekali tidak salah.

"Ayolah, Pak. Ini kelas mantan, saya nggak mau sekelas sama dia. Ntar yang ada malah gamon, Pak. Kasihanilah saya." Perempuan itu memohon di balik pintu.

"Sudah-sudah, jangan banyak drama. Kamu kira, ini kita lagi syuting film?!"
Ibu Juleha yang kebetulan terganggu dengan kebisingan itu, melangkah ke luar.

Ibu Juleha yang kebetulan terganggu dengan kebisingan itu, melangkah ke luar. Beliau membuka pintu, menampakkan wajah garangnya. Beliau sama sekali tidak suka apabila ada keributan saat pembimbingan.

"Ada apa, Pak?" tanya Ibu Juleha tanpa basa-basi.

Pak dosen yang terkenal dengan kumisnya yang mirip politisi Jerman dan ketua Partai Nazi kelahiran Austria, yang tak lain adalah Adolf Hitler. "Ini, Bu ... Rara dipindahkan ke kelas ini."

"Lho, kenapa gitu, Pak?"

"Kelas Rara udah penuh, Bu. Makanya dipindahkan ke sini."

Malang sekali nasib mantan pacar Fandi. Terbuang ke kelas mantan.

Rara yang tadinya memberontak, langsung diam ketika melihat Ibu Juleha. Mungkin, takut skincare-nya dihancurkan lagi seperti beberapa hari lalu. Kan sayang, mana baru beli.

"Ayo, masuk. Duduk di sebelah Fandi, cuma kursi itu yang kosong."

Rara melangkah sambil menunduk sambil merapalkan doa, agar tidak terpesona dengan senyuman mantan. Terpesona, aku terpesona ....

"Lo dibuang? Masa cantik-cantik gini dibuang sih, mending gue bawa ke rumah saja," kata Fandi.

Fauz, satu-satunya orang yang mengetahui perasaan Fandi, ia hanya bisa tersenyum. Andai saja ia dan Zahra saling memendam perasaan, pasti hidupnya akan berbunga-bunga.

Ngomong-ngomong soal Zahra, sudah 24 jam ia belum bertemu. Astaga, padahal baru sehari. Seharusnya, Fauz tidak membiarkan perasaan itu berlama-lama hadir, ia tidak akan bisa menggapai perempuan itu.

Rara mengabaikan kehadiran Fandi, lalu berujar, "Pagi, Fauz."

Mendengar sapaan itu, Fauz berhenti tersenyum. Pandangannya yang semula menatap buku, kini teralih pada Fandi. Ia dan Fandi saling menatap satu sama lain, lisannya terkatup.

"Iya." Fauz hanya membalasnya singkat, ia tidak ingin menyakiti hati sang sahabat dan Zahra. Eh, memangnya Zahra peduli? Bahkan Fauz nikah dengan perempuan lain saja, Zahra tidak peduli.

"Nggak ada niatan ngucapin selamat pagi, Uz?" tanya Rara.

Sepertinya, gadis itu memang sengaja memanasi hati sang mantan. Kasihan sekali hati Fandi, kemungkinan sekarang sedang terbakar.

"Ada hati yang gue jaga." Fauz menirukan perkataan Fahri pada hari Fandi patah hati. Kali saja mantan sahabatnya sadar diri.

#To be continued

Ditikung Lagi, Mak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang