3_ Panic

133 36 14
                                    

||2312 words||

Waktu terus berlanjut, kami memutuskan membuat tenda di halaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Waktu terus berlanjut, kami memutuskan membuat tenda di halaman. Untungnya halaman rumah kami luas, jadi tidak usah tepot-repot keluar untuk mencari lapang, tidak seperti tetangga kami yang harus membuat tenda di pinggir jalan atau bahkan pergi ke tempat yang jauh. Namun untuk orang yang punya mobil, mereka bisa istirahat di dalam, dan beberapa orang yang punya pick up, membuat tenda di atasnya.

Semua warga tidak ada yang berani masuk ke rumah, mereka takut akan ada gempa susulan. Aku iri melihat mereka yang bisa tidur di tenda kendaraan, mereka tidak merasakan sakit punggung saat tidur. Beda dengan keluargaku yang harus menerima encok dan pegal bersamaan karna permukaan tanah yang tidak rata, kerikil, akar pohon yang mencuat keluar, bahkan ada ulat bulu di atas atap terpal.

Ya, ulat bulu, itu karna seorang lelaki satu satunya di keluarga kami yaitu kakakku. Dia membuat tenda tepat di bawah pohon mangga besar yang tumbuh di halaman, bukan itu saja, tenda kami di kaitkan di pagar besi yang membatasi antara rumah kami dan tempat penampungan air milik pemerintah, di sana sangat rimbun dengan rumput panjang hampir sepinggang, di tambah daun rambat menjalar melilit pagar besi. Aku tidak masalah dengan tanaman rambatnya, akan tetapi yang membuatku ngeri adalah daunnya yang rotos di makan ulat.

Aku tidak bisa tidur, bagaiman aku bisa tidur saat punggungku sakit tertusuk kerikil dan akar pohon yang mencuat. Tenda kami hanya beralaskan terpal biru tipis-jadi, sesuatu di bawahnya akan terasa jelas, bahkan sampai melubangi terpalnya, apalagi punggungku yang berdaging tipis. Ruang sempit, menambah kepedihan, tubuhku terjepit.

Kami berempat tidur di tenda, dengan barisan menjajar bagai kue dadar di nampan. Kak Obsid paling ujung, lalu Ruby, setelahnya ada ibu, baru di samping ibu ada aku, dan disebelahku lagi, ada batang pohon sawo. Sebelumnya pernah kukatakan tubuhku terjepit? tubuhku terhimpit di antara ibu dan batang pohon sawo. Aku tidak masalah dengan ibu atau batang pohon besar yang sesekali menggampar wajahku, namun untuk semut rang-rang yang hidup di pohon itu, adalah masalah besar bagiku.

Beberapa kali aku menjerit, karna di gigit semut, sampai ibu menggaparku dengan selimut tebalnya. Kurasakan semut itu merayap di lenganku, lalu di tengkuk leherku, sesekali aku memergokinya hampir masuk ke telingaku. Yang paling parah, aku di gigit tepat di bawah kelopak mataku. Perih sekali, di tambah suasana gelap karna listrik mati. Gelap, hanya pencahayaan dari bulan sabit yang tidak begitu terang. Mungkin ada beberapa lentera tetangga yang mengurangi gelap malam. Beserta sesuatu yang selalu meriahkan kemalangan, yaitu suara dengung nyamuk berkeliaran mencari kulit yang tidak tertutup selimut.

Malam ini sangat-sangat kacau, aku berantakan.

Aku memutuskan untuk bangkit dan pindah duduk di teras rumah. Rumah kami mengalami beberapa kerusakan, genteng berjatuhan dan dinding retak lebar, untungnya tidak sampai ambruk, walau kondisinya mengenaskan. Beberapa suara dan orang berlalu lalang di jalanan, mereka meronda karna ada rumor di desa sebelah mendapati orang jahat, membobol rumah yang di tinggal menghuninya. Beserta perdebatan tentang langit jadi merah, dan kerlip merah yang sebagian orang sempat melihatnya.

Opponent : The Transform SferastromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang