*Happy reading*
"Kenapa melihat saya seperti itu? Mau ngerengek? Atau mau ngadu lagi sama Mama? Ngadu aja, saya udah gak perduli. Karena apapun yang kamu lalukan, tidak akan pernah membuat saya simpatik sama kamu. Camkan itu!"
Butuh beberapa detik, untukku bisa menguasai diri dan rasa sakit akan ucapan Kak Sean tersebut.
Namun setelahnya, aku pun mencoba tersenyum, dan mengangguk mengerti pada pernyataan itu.
"Ya, Kak. Rara tau. Dan Rara juga gak akan berharap lebih pada kakak, ataupun pernikahan ini. Karena Rara sadar posisi Rara di mana." Aku pun mencoba menjawab sebijak yang aku bisa.
"Bagus kalau kamu memang sadar diri," ucap Kak Sean setelahnya.
"Kalau begitu, sekarang tunjukan kamarnya. Karena saya lelah ingin segera istirahat!"
Aku kembali mengangguk. Sebelum berdiri dari dudukku, dan menunjukan satu-satunya kamar yang ada di Apartemen ini.
Begini, sebenarnya ini bukan Aprtemen mewah seperti dalam bayangan kalain. Ini hanya loft minimalis, yang memang di peruntukan untuk di tinggali seorang diri. Jadi ... ya kamar di sini memang cuma satu saja.
"Ini kamarnya, kak?" Aku mempesilahkan Kak Sean masuk. Pada kamar, yang sebenarnya jadi ranah pribadiku.
"Kamarnya cuma satu?" keluhnya kemudian. Saat melihat tampilan kamar, yang memang terdapat banyak pernak-pernik milikku.
"Iya, kak."
"Kenapa cuma satu?"
"Ya, karena emang ... Rara kan cuma sendirian di sini, jadi ... buat apa Rara pakai Apartemen lebih luas? Lagipula, loft ini juga dekat dengan kampus, jadi--"
"Oke, stop! Saya mengerti," sela Kak Sean cepat. Seperti malas mendengar penjelasannya.
Aku pun segera menutup mulutku rapat-rapat. Karena tak ingin membuat Kak Sean makin tak nyaman.
"Untung ada sofa di sini. Jadi, mulai malam ini kamu tidur di sana. Oke!" ucapnya kemudian. Setelah memindai kamar ini, dan menemukan sofa malas yang memang sengaja kutaruh di sana untuk bermalas-malasan. Tapi ....
Apa katanya tadi?
"Aku tidur di sofa, kak?" beo ku pelan. Ingin memastikan pendengaranku barusan.
"Tentu saja? Memangnya kamu mau tidur di mana lagi? Di tempat tidur sama saya? Gitu? Gatel juga kamu, ya?" balasnya ketus, sambil tersenyum merendahkan.
Ya, Tuhan. Aku kan cuma bertanya. Kenapa tanggapan Kak Sean seperti itu? Apa ... aku memang serendah itu di matanya.
"Dengar saya baik-baik ya, Ra. Saya memang menyetujui usul Mama, untuk tinggal sama kamu selama di sini, dan membiarkan kamu melakukan kewajiban kamu sebagai istri. Tapi, bukan berarti saya akan menjadikan kamu istri yang sesungguhnya. Karena satu hal yang harus kamu tahu. Saya, tidak akan pernah menyentuh wanita yang tidak saya cintai. Jadi, lupakan mimpi kamu untuk hal itu."
Tuhan, apa aku memang serendah itu di matanya. Hingga dia bisa seenaknya menuduhku seperti ini?
Padahal, aku tidak bermaksud menawarkan diriku padanya. Aku cuma ingin memastikan pendengaranku dan keputusannya saja. Tapi, kenapa dia malah ....
"Dan satu lagi!" lanjutnya lagi tiba-tiba.
Sekarang apalagi maunya?
"Sepertinya kita harus membuat perjanjian dalam pernikahan ini. Agar kamu tau batasan kamu!"
Batasanku? Memang aku harus membatasi diri bagaimana lagi? Apa aku kurang menjauh dari mereka, atau ... apa?
Apa perlu, aku menghilang saja dari kehidupannya, agar mereka puas sekalian. Begitu?
"Baiklah. Terserah kakak saja. Lakukan apapun yang menurut Kakak baik. Aku akan menyetujuinya," jawabku kemudian. Tak ingin memperpanjang masalah ini.
"Bagus. Kalau begitu keluar kamu sekarang. Karena saya mau tidur!" Dia pun lalu mengusir aku seenaknya, sebelum berbalik badan dan menghempaskan diri ke atas tempat tidur tanpa dosa.
Setelah diusir seperti itu. Bisa apa aku selain pergi. Karena sekalipun sebenarnya ini adalah kamarku, tapi dia juga adalah suamiku.
Jadi, perintahnya wajib aku jalani.
"Jangan lupa tutup pintunya dan jangan ganggu tidur saya, sampai saya bangun sendiri!" ucapnya lagi, tanpa membuka matanya. Saat aku baru saja sampai di ambang pintu.
"Iya, kak."
Dengan patuh aku pun melaksanakan titahnya. Sebelum kembali ke ruang tamu dan menghempaskan diri pada sofa yang ada di sana.
Aku lelah sekali. Sungguh! Bukan cuma tubuhku saja, tapi juga hati dan seluruh rasa yang ada pada diriku.
Padahal aku sudah mencoba mengalah, dan tak berharap apapun pada pernikahan ini. Tapi, kenapa rasanya tetap terasa sakit, saat Kak Sean mengatakan penolakannya selugas itu dan menunjukan posisiku yang sebenarnya?
Apa yang ku inginkan sebenarnya?
Apa ... aku kurang ikhlas? Atau ... jangan-jangan aku sudah berharap lebih pada kedatangannya tanpa sadar?
Akan tetapi, apa aku salah jika merasakan hal itu? Karena bagaimanapun, dia itu kan suamiku. Jadi wajarkan, kalau aku--
Ah, sudahlah. Sepertinya memang aku yang terlalu lembek.
Lebih dari itu, mulai sekarang aku harus menata hatiku lagi untuk lebih kuat. Karena aku yakin, selama satu minggu ini, akan ada banyak rasa sakit lagi yang akan aku terima dari Kak Sean.
Entah itu apa, yang jelas aku harus bisa bertahan.
================================
Iya tau ini pendek. Tapi daripada gak up, kan? Penting Rara absen sesuai jadwal.Gimana part ini, gaes? Gak terlalu nyesek, kan? Gak butuh tissu, kan?
Amih masih baik hati lho, belum bikin Rara berdarah-darah kek Karina, atau Hasmi. Apa mau amih bikin kek Naira yang hampir di bunuh Nicolle?
Tenang aja, akan ada saatnya jiwa Mak lampir muncul. Entah itu sama Sean atau Rara. Pasti ada yang amih bikin berdarah-darah. 😂😂😂
Jangan lupa like, dan komen ambyarnya ya😘
See u next part💋💋💋
Publish
27 Feb 2021Repost
7 Mei 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nomor Dua (Judul Lama 'Istri Nomor Dua')
RomanceLink ebook ada di bio. Pemesanan cetak atau pdf bisa japri author. **** Menikah muda bukanlah impianku. Apalagi harus menjadi istri kedua. Ini mimpi buruk! Namun demi sebuah bakti, aku pun harus rela menerima takdir, dan menjadi orang ketiga di rum...