*Happy Reading*
"Siapa Ayah bayimu?" tanya Diego, dengan tatapan yang syarat akan rasa kecewa, membuatku hatiku mencelos seketika.
Kasihan. Aku pasti sudah sangat mengecewakannya.
"Suamiku," jawabku kemudian. Mencoba tetap tegar, meski dengan kejujuran ini aku mungkin akan kehilangan mereka.
"Are you married?" Kali ini Miranda yang bertanya penuh penasaran.
"Yess, I'm," lirihku sambil menunduk penuh rasa bersalah.
Demi Tuhan, aku tidak sanggup menatap bola mata dua insan di depanku, yang penuh rasa kecewa.
"Kapan?"
"Kenapa kau tak pernah cerita?"
Mereka bertanya kompak tanpa sadar. Membuat aku hanya bisa mendesah berat mendengarnya.
Haruskah aku jujur?
"Satu tahun yang lalu. Tepatnya saat aku cuti berkabung atas meninggalnya Papiku."
"Kau menikah di pusara Papimu, huh?!" Sarkas Miranda.
Tidak apa-apa. Aku memaklumi sikapnya itu, kok. Pasti itu karena dia sangat kecewa padaku.
"Kenapa kau tak pernah bercerita apapun pada kami?"
Berbeda dengan Miranda. Diego masih bertanya dengan suara selembut kapas. Namun sukses membuat hatiku malah berdarah-darah karena rasa bersalah yang tak bisa aku bendung lagi.
Tuhan, Diego ini pria baik. Dia menghormati keinginanku untuk tak menjalin hubungan apapun selama kuliah, dan bersedia menungguku sampai lulus nanti.
Namun, apa yang sudah aku lakukan padanya?
"Pernikahan ini adalah permintaan terakhir Papi. Aku hanya mencoba menunjukan baktiku sekali lagi padanya, agar dia tenang meninggalkanku di sini."
"Lalu kenapa kau tak mengudang kami? Oh, bahkan bercerita pun, kau tak pernah. Kenapa? Apa kami bukan sahabatmu?!" Miranda masih sangat menuntut, dengan suara yang terdengar tak bersahabat.
"Karena ... pernikahan ini dadakan, Mir. Tidak ada perayaan apapun."
Tentu saja aku berbohong untuk hal ini. Karena aku tak mungkin menceritakan kenyataan yang sejujurnya pada mereka.
Apa kata mereka nanti, jika tahu kebenarannya tentang statusku ini?
Istri kedua!
Mereka akan makin kecewa, dan belum tentu mau mengerti tentang statusku, juga alasan di balik ini semua.
Karena Istri kedua itu lebih dominan berkonotasi dengan pelakor, istri siri, atau selingkuhan.
Sementara kenyataan yang terjadi padaku, bukan seperti ini.
Akan tetapi, apa bisa mereka mengerti hal itu?
Karenanya. Daripada membuat mereka makin kecewa. Lebih baik aku diam saja. Iya kan?
"Lalu, di mana suamimu sekarang?" tanya Diego lagi.
Di rumah istri pertamanya, "Kerja di Indonesia, meneruskan perusahaan Papi yang di sana."
Lagi-lagi aku harus memutar otak, untuk mencari alasan logis untuk mereka.
Untungnya, setelah itu mereka pun tak bertanya lagi. Sibuk dengan pikiran masing-masing yang pasti kini tengah mencerna ceritaku barusan.
Untuk saat ini. Lebih baik seperti ini saja.
Terserah mereka masih mau jadi temanku atau tidak. Itu hak mereka. Yang penting, aku harus mulai memikirkan semuanya lagi dari awal. Karena kini aku tak hanya hidup seorang diri.
Ada nyawa lain yang harus aku ikut sertakan dalam rencanaku kedepannya. Juga ....
Kira-kira aku harus bagaimana agar bayi ini dapat pengakuan dari ayahnya?
***
Aku tahu, setelah kejadian itu. Semuanya memang tak akan sama lagi.Akan ada keretakan dalam persahabat kami, bahkan mereka mungkin saja meninggalakanku dan tak ingin mengenalku lagi setelah ini.
Tidak apa-apa. Aku paham betul akan resiko itu. Karenanya, aku tak ingin berharap mereka kembali keesokan harinya, setelah semalam mereka berdua pamit untuk pulang.
Aku harus menelan pahit kenyataan, kalau kini aku kembali ditinggalkan sendiri. Meratapi nasib yang entah akan membawaku ke mana, dalam heningnya malam di Rumah Sakit besar ini.
Dokter bilang aku harus bedrest, kan? Makanya, demi keselamatan bayiku, aku pun memilih tetap tinggal di sini untuk memulihkan kondisiku.
Karena jika di loft. Aku belum tentu bisa istirahat, karena aku tinggal seorang diri dan terbiasa melakukan apapun sendiri.
Makanya aku lebih baik tinggal di sini, agar tidak merepotkan orang lain lagi.
Seminggu setelahnya, aku pun sudah di bolehkan pulang, karena kondisiku sudah membaik.
Satu hal yang aku syukuri. Di awal semester kehamilanku. Aku tidak mengalami ngidam parah seperti ibu hamil lainnya.
Belum mungkin, ya? Tapi ... semoga saja benar-benar tidak mengalaminya. Karena jika itu terjadi, aku tidak bisa membayangkan, apalagi yang akan aku hadapi setelah ini.
"Hai, Ra. Aku dengar Miranda sekarang menjalin cinta ya, sama Diego?"
Seorang teman tiba-tiba menghampiriku, saat aku tengah makan siang seorang diri di kantin hari itu.
Sudah kubilang, kan? Sejak saat itu aku harus siap ditinggalkan lagi. Dan ya ... memang itulah yang terjadi.
Miranda dan Diego tidak pernah datang menemuiku lagi. Untuk menemani ataupun menjengukku di Rumah sakit.
Namun, aku cukup mengerti akan hal itu, kok. Kekecewaan itu memang sulit di sembuhkan.
"Oh, ya? Aku malah baru dengar hal itu."
Aku menjawab sekenanya. Karena tahu sedang di korek informasi secara tak langsung.
"Ya! Sudah seminggu mereka terlihat bersama terus. Bahkan, aku dengar Miranda sudah beberapa kali menginap di apartemen Diego."
Begitu, ya? Jadi mereka akhirnya bersama?
Huft ... apa aku harus sakit hati untuk hal ini?
"It's oke. Aku--"
"Makanya, Ra. Kamu jadi wanita jangan sok jual mahal. Jadinya, di tikung teman sendiri, kan? Kasihan sekali."
Belum sempat aku menjawab. Gerombolan temanku ini muncul, dan langsung menyambar seenaknya saja.
"Padahal, kurangnya Diego itu apa? Dia itu baik, tampan, mapan, bahkan pewaris tunggal perusahaan Daddy-nya. Tapi kamu ... malah buta dan lebih suka menjual diri pada pria kaya."
Eh? Apa?
================================
Nasibmu, Ra.
Udah di abaikan suami, di tinggal sahabat, di gosipin lagi.Kira-kira, siapa yang gosipin Rara, ya?
Ada yang tahu?
Yuk, komen yang banyak😘
See u next part💋💋
Publish
28 April 2021Repost
18 Mei 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Nomor Dua (Judul Lama 'Istri Nomor Dua')
RomanceLink ebook ada di bio. Pemesanan cetak atau pdf bisa japri author. **** Menikah muda bukanlah impianku. Apalagi harus menjadi istri kedua. Ini mimpi buruk! Namun demi sebuah bakti, aku pun harus rela menerima takdir, dan menjadi orang ketiga di rum...