Bab 8

2.8K 185 20
                                    

*Happy reading*

"RARA?!"

Degh!

"Iya, Kak!"

Aku pun segera menyahut, saat mendengar teriakan Kak Sean dari dalam kamar. Juga segera menghampirinya.

Demi Tuhan, ini masih pagi. Kenapa suara Kak Sean sudah menggelegar seperti itu? Apa lagi sekarang yang mengganggunya?

"Kenap--Astagfirullah!"

Namun saat aku sampai kamar dan hendak menegurnya, aku pun langsung dikejutkan dengan tampilannya, yang masih bertelanjang dada. Bahkan hanya memakai handuk saja untuk menutupi daerah intimnya.

Astaga!

Dia apa-apaan, sih?

"Ck, gak usah sok suci kamu!"

Tak kusangka, Kak Sean malah berdecak kesal setelahnya.

"Cuma liat begini saja sok-sok nyebut istighfar. Saya yakin kamu pasti sudah sering liat, kan? Secara kamu itu tinggal di Luar Negri, jauh dari orang tua, lagi. Pasti kehidupan kamu itu bebas selama ini, iya kan? Jadi, liat cowo bertelanjang dada seperti ini. Bukan hal tabu kan, buat kamu?" tuduhnya kemudian. Entah apa tujuannya?

Ya. Itu memang benar adanya. Aku memang tinggal di Luar Negri, dan melihat bule setengah bugil seperti ini bukan hal aneh.

Akan tetapi, itu kan teman-teman, atau bahkan orang lain yang gak punya status denganku. Bukan suamiku, apalagi adanya di dalam kamar seperti saat ini.

Tentu saja itu membuat aku kaget. Dan karena kaget itulah, aku refleks mengucap istighfar. Lalu, dimana letak sok sucinya?

"Bukan gitu, kak. Cuma ... kakak kenapa belum pake baju? Katanya mau ke kantor pagi, kan? Mau meeting sama staf. Iya kan? "

Malas berdebat, aku pun hanya mencoba beralaskan saja.

"Justru karena itu saya panggil kamu."

Maksudnya?

"Kamu 'kan tau saya mau kekantor, mau meeting penting seperti yang kamu sebutkan tadi. Saya sedang di tunggu orang, Rara. Kenapa kamu gak mempersiapkan baju saya?"

Hah?!

"Kamu sebenarnya tau gak sih, tugas seorang istri itu apa? Kamu itu bertugas melayani dan mempersiapkan semua keperluan saya setiap hari, termasuk pakaian dan makanan saya. Tapi ini apa? Dimana baju saya? Kamu sengaja ya, mau bikin saya terlambat?" bentaknya lagi, dengan menggebu. Membuat aku menelan salivaku kelat.

"Bukan gitu, Kak. Rara enggak--"

"Alah! Jangan alasan lagi kamu! Udah tahu salah masih aja ngeles. Mau jadi istri durhaka kamu?!"

Astaga, Padahal bukan itu maksud aku!

Ya, Aku tahu, aku memang ceroboh untuk hal ini. Aku memang gak menyiapkan pakaian Kak Sean pagi ini. Tapi, itukan karena aku kira dia gak akan mau barang-barangnya aku sentuh. Secara, dia selama ini terus menujukan penolakannya.

Jadi ... kukira ....

Ah, sudahlah. Memang aku yang salah.

"Maaf, Rara memang salah." Aku pun dengan besar hati menerima kesalahanku.

"Bagus kalau kamu sudah tau salah! Sekarang buruan siapin baju saya. Saya sedang ditunggu!"

"Baik, kak."

"Ck, Bener-bener, ya? Kamu itu gak bisa dibanggakan sama sekali sebagai istri. Udah manja, tukang ngadu, tukang membangkang, lagi. Memang cuma Audy saja yang paling ngerti saya, dan paling bisa saya banggakan."

Nomor Dua (Judul Lama 'Istri Nomor Dua')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang