*Happy Reading*
Langkahku sontak terhenti, kala melihat pemandangan pagi itu di dapur.
Pasalnya, aku sudah berusaha pergi sepagi mungkin dari rumah ini. Siapa sangka, aku akan melihat pemandangan ini?
Belum cukup kah air mataku semalam, yang hanya bisa melihat kebahagiaan mereka di resepsi lewat jendela kamar.
Seperti apa yang kubilang dari awal? Mereka memang tak akan mencariku. Bahkan semalam mereka kelihatan sangat bahagia sekali. Seakan dunia hanya milik mereka berdua.
Ah, ya. Seharusnya memang itulah yang terjadi. Seharusnya memang kisah ini hanya milik mereka berdua. Karena aku memang hanya peran piguran saja di sini.
Namun, Seakan belum cukup kenyataan menamparku semalam akan posisiku sebenarnya. Kini aku harus kembali menerima rasa sakit itu, kala melihat Kak Sean sedang mencumbu Kak Audy dengan sangat panas di sana.
Rasanya seperti diremas ribuan tangan tak kasat mata.
Sakit sekali!
Kak Audy terlihat duduk di meja bar, dengan kemeja putih kebesaran di tubuhnya, yang kuyakin pasti milik Kak Sean. Sementara Kak Sean sendiri ada di hadapannya, menumpukan satu tangannya di belakang tubuh Kak Audy, sedang tangan yang satunya lagi menekan tengkuk Kak Audy untuk memperdalam ciuman mereka.
Bibir mereka saling bertautan dan saling mencecap dengan panas. Membuat aku ingin sekali berbalik kembali ke dalam kamar saking tidak sanggupnya melihat semua itu.
Mereka benar-benar melupakan keberadaanku di Rumah itu.
Ah, lupakan saja. Aku tak ingin menangisi diriku lagi. Sudah kubilang kan, aku harus tau diri di sini. Karena aku memang hanya orang ketiga di antara mereka.
Sebenarnya, aku bukannya tak suka atau benci melihat pemandangan itu. Aku juga bukan gak mau melihat kebahagiaan mereka. Kalau boleh jujur, justru aku malah sangat bahagia melihat kebahagiaan mereka. Setidaknya dalam situasi ini, ada yang bisa berbahagia di antara kami bertiga.
Tak usah pikirkan, bagaimana perasaanku di sini? Karena aku memang tak punya hak apapun, sekalipun untuk cemburu sekalipun.
Ingat. Aku cuma pemeran piguran saja di sini. Mereka yang punya kisah.
"Eh, Astaga! Rara!" seru Kak Audy, orang yang pertama menyadari kehadiranku.
"Sorry, sorry, kami gak bermaksud--"
"It's oke, Kak. I'm Fine," selaku cepat. Mencoba bersikap sesantai mungkin, demi membuat kami tidak canggung.
Sekalipun hatiku saat ini bergemuruh hebat dan mataku sangat panas. Aku tetap memaksakan senyum selebar mungkin, saat menghampiri mereka.
Kak Audy menyambutku dengan senyum tak kalah lebar. Sementara Kak Sean?
Jangan tanya bagaimana dinginnya dia padaku?
Pria itu bahkan langsung memalingkan wajah dengan kesal. Kala Kak Audy memanggil namaku. Seakan memang kehadiranku hanyalah sebuah benalu di hidup mereka.
Ah, aku memang benalu.
"Maaf kalo aku ganggu kalian. Aku gak tau kalau kalian ... udah bangun," kataku tak enak hati, sambil mencuri lirik ke arah Kak Sean yang masih tak mau menatapku sedikit pun.
Sebenci itukah dia padaku?
"Ih, apaan sih kamu, Ra. Kita kan udah jadi keluarga sekarang. Kamu udah jadi adikku sejak kemarin. Jadi gak usah gak enak gitu," jawab Kak Audy dengan riang.
Terlihat sekali kalo dia memang benar-benar bahagia dengan pernikahan ini. Dia bahkan sampai memelukku erat sekali pagi ini.
"Oh, ya. Aku dengar kamu semalam gak enak badan ya, kata Mama? Sorry, ya, Belum sempat nengokin. Abis tamu banyak banget semalam. Btw ... Kamu sakit apa? Kok, gak kasih tau aku sama Sean?" tanya Kak Audy lagi. Membuatku menautkan alis dengan bingung
KAMU SEDANG MEMBACA
Nomor Dua (Judul Lama 'Istri Nomor Dua')
RomanceLink ebook ada di bio. Pemesanan cetak atau pdf bisa japri author. **** Menikah muda bukanlah impianku. Apalagi harus menjadi istri kedua. Ini mimpi buruk! Namun demi sebuah bakti, aku pun harus rela menerima takdir, dan menjadi orang ketiga di rum...