***
Hilir mudik langkah kaki memenuhi kantin tepat setelah bel istirahat pertama bergaung. segerombol pemuda yang duduk pada spot paling pojok adalah biang paling rusuh saat ini. Ada saja recehan yang dilontarkan. Bila dirasa, angin pukul sepuluh menghembus ringan. Menerpa setiap raga yang berjiwa, menoreh makna dari sebuah ketenangan sementara.
“Sekolah bentar lagi ada event, partisipasi apa nih kita?” Hanis berujar setelah menyeruput jus apel miliknya.
“Lo masih mikirin begituan, Hans?” David menyahut, pemuda itu memandang Hanis meski tangannya sibuk memainkan rambut Asahi.
“Iya lah. Lo pan tahu, kalau gue akan pergi dari sekolah ini sebagai legenda. Anggap aja ini terakhir kalinya mereka bisa dengar suara gue yang merdu ini.”
“Alah tai.”
“Udah deh. Mending ngemper aja di stand kelas anak ips. Gue denger banyak makanan disana.” Nana tersenyum lebar. Dia udah nggak tertarik lagi sama yang begituan, entah kenapa dari hari ke hari jiwa magernya semakin besar. Mau napas aja mager dia.
“Na Na, makanan terus lo pikirin. Jangan lempeng gitu napa?! Semangat dong kalau menjalani hidup.”
David ini dirumah kacanya lagi burem, jadi nggak bisa ngaca. Padahal sebenarnya dia sama Nana nggak ada bedanya. Sama-sama lempeng. Sejenak, pemuda itu menghela napas dalam samar. Pada salah satu buku yang pernah David baca, dia pernah menemukan satu kalimat yang seolah menjadi sesuatu yang pas jika disandingkan dengan Nana dan dirinya.
Aku hidup karena harus, bukan karena ingin.
David tidak pernah tahu kemana arah langkahnya harus dibina setelah ini.
“Gimana kalau Asep? Suaranya cakep dia.” Ben akhirnya bersuara setelah terdiam menyimak disana.
“Lo emang bisa nyanyi?” Juna bertanya pada Asahi. Sedangkan sang empu perlahan mengangkat wajahnya, matanya berpendar redup. Dingin namun tenang.
“Bisa.”
“Yang bener deck?” Pipi Asahi berkedut setelah mendapati Hanis nge-wink ke dirinya.
“E-enggak bisa.” Mungkin benar, Hanis adalah manusia setengah jurig. Buktinya Asahi sampai gugup seperti itu.
“JAWAAAAAB YANG BENER!!” Juna diikuti Javas berdiri serentak dengan posisi siap. Kedua cecunguk itu memang kabarnya akan melanjutkan sekolah di akademi militer setelah SMA. Tapi untuk yang kali ini mereka berdua kelihatan lebih freak dari hari-hari sebelumnya.
“SIAP BISA.” Asaahi memberi hormat.
Sungguh ketololan yang menemukan jalannya untuk berkembang menjadi sebuah kegoblogan.
Asahi menoleh kala dirinya mendengar teriakan maut milik seseorang. Eksistensi Laluna serupa magnet yang mampu membuat atensi Asahi tersedot sepenuhnya.
Gadis itu berlarian hanya untuk menyapa Lavina sembari menyangklong ransel ijo lumut miliknya. Padahal sudah masuk istirahat pertama, apa mungkin gadis itu terlambat? Asahi bertanya-tanya.
“SELAMAT SIANG, SALAM SEJAHTERA BESTOTKU!!” Rasanya sudah tak ayal dengan kelakuan gadis iitu. Mungkin sekolah ini seperti loka hampa tanpa Laluna, setidaknya bagi Asahi.
Laluna meraih lengan Lavina. Dingin. Itu yang Lavina rasakan dari sentuhan kulitnya. Padahal matahari lagi terang-terangnya pagi ini. kenapa? Lavina ingin sekali bertanya pada dia, mengapa setiap di sekolah selalu memakai topeng setebal itu.
“Jangan cengengesan! Nanti nangis baru tau rasa lo.”
Lavina hapal betul kebiasaan Laluna. Laluna itu jarang nangis yang sampai termewek-mewek seperti itu. Paling Cuma diam terus tiba-tiba matanya berair – itupun tanpa ekspresi. Kecuali pada satu malam dimana asanya nyaris jatuh dan dia merasa kehilangan sebuah tempat dimana dia bertumpu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika Untuk Asa | Hamada Asahi [✔]
Teen FictionKetika langit mulai mengabu, lantunan sendu untuk Asahi mengudara. Tepat saat biru lukanya mampu menepikan mendung-mendung diatas sana. Membawa sajak-sajak luka dari Laluna untuk pergi menemuinya. [Proses Revisi] ©Sembilanxxx, 2021 [Senandika Untuk...