11# Terjal

274 57 9
                                    


***
"Biarkan aku melangkah tertatih-tatih, memijak jalan penuh bebatuan. Nanti, jika aku berdarah. Tolong obati luka ini!"


—Hamada Asahi—

***

"Laluna, kamu tahu, kopi apa yang paling aku suka?" Pemuda itu bersoal seraya mematri senyum elok dalam piguranya. Bukan sejenis senyum yang bikin mleyot, tapi khas layaknya jablay metal penggoda.

Laluna bingung sejenak, memangnya ada berapa banyak jenis kopi di dunia ini. Dan mana yang Asahi sukai? Mungkinkah pemuda itu sedang melangsungkan psikotes guna mencari calon istri yang mampu melayaninya dengan baik kelak? Lantas gadis itu menjawab sesuka hati. Jujur saja, dia tidak tahu. "Kopi buatan aku?!"

Asahi terdiam.

"Asahi..meskipun aku masukin garem kedalam kopinya, rasanya juga akan tetep manis. Karena yang buat aja udah manis sampai bikin orang-orang diabetes. WAHABAHAHHAHHAHA." gadis bodoh itu tertawa penuh kemenangan.

Untungnya Cakrawala sudah beranjak darisana, kalau tidak mungkin cowok itu bisa saja terkena gangguan mental. Secara dia kan Uwuphobia.

Asahi tertawa ringan sebelum akhirnya menatap iris pekat milik Laluna. "Salah, yang bener kopilih aku jadi pendamping hidupmu."

"Huwekk, cringe anjing." Dimeja sebelah, Cakrawala tanpa sadar mendengar gombalan kolot milik pemuda Jepang itu. Pemuda itu tengah mengantarkan pesanan pelanggan yang lain.

Selepasnya keduanya menggebrak meja bersamaan. Mengabaikan tatapan demi tatapan yang tertuju pada dua sejoli itu, termasuk kemuakan Cakrawala. Mungkin memang mereka salah tingkah sendiri dengan gombalan kolot milik Asahi.

Pada kenyataan yang ada, Laluna tidak menemukan alasan mengapa ia jatuh cinta pada Asahi.

Keduanya sebatas mencari secuil bahagia, pada sosok pemikat duka. Mengais suka bersama-sama, walaupun tak lama. Setidaknya, keduanya pernah merakit sebuah kisah asmaraloka dengan epilog yang masih menjadi sebuah Enigma.

"Bisa banget sih lo, kutil dugong. Jadi makin suka nih gue. HSHSHSHSHS." Gadis itu menundukkan mustaka, menahan maloe yang sebenarnya hanya dibuat-buat. Laluna mana punya malu. Tetapi mungkin kali ini, gadis itu tak berbohong sebab irasnya dirambati rona merah jambu.

"Laluna, kamu nggak sopan ya ngatain calon suaminya kaya kutil dugong!"

Laluna terlalu acak adul kalau Asahi berujar seperti tadi.

"Becanda." Sambung Asahi.

Laluna tersenyum simpul. Menyadari akan satu hal, perihal kebahagiaan semu. Sosoknya tak pernah tahu, bahwa jika yang hari ini terasa amat indah, maka esok atau mungkin nanti bisa jadi memoar yang menyakitkan.

"Serius juga nggak apa-apa." Ia sematkan senyum paling manis untuk malam ini. Kepada pemuda pemikat duka didepannya.

"Mau diseriusin?" Asahi tersenyum menyungging. Laluna mungkin tak akan tahu, bagaimana Asahi mencoba baik-baik saja saat dirinya terluka. Hari itu saat Laluna pingsan, entah bagaimana jelasnya—Asahi yang notabene nya cuek Bebek menjadi orang paling ketar-ketir saat itu.

"Mau. Besok kita langsung ke kua." Surainya dihempas anila malam ini. Bahkan sang candra pun turut menjadi saksi akan kisah kasih tanpa drama milik kedua anak manusia itu.

Senandika Untuk Asa | Hamada Asahi [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang