10# Seperti Senja (Bintang Dan Naruna)

342 60 9
                                    


***

Menyesal adalah suatu hal yang pasti
Disaat kita menjadi yang menyakiti
Hingga sosoknya melambai di penghujung usia
Yang tertinggal hanyalah lara

***
P

emuda itu membina langkah laun di sepanjang koridor sekolah yang masih sepi. Sesekali ia sugar rambut legam anti badas miliknya dengan penuh kepercayaan diri. Melihat bagaimana nyamuk-nyamuk betina kelojotan atas ketampanan miliknya membuat ia diam-diam merasa bangga. Bangga akan pemberian Tuhan Yang Maha Esa.

Hingga sampai pada di daun pintu kelas bahasa, matanya menyipit saat melihat sebuah plastik berwarna putih. Langkah kakinya berjalan mendekat, lantas tangannya terulur mengambil bungkusan itu. Dan didapatinya sebungkus nasi campur, namun yang menarik atensinya adalah sepucuk sticky notes berwarna biru.

Enjoy your meal Asahi. Ini nasi campur, penggambaran yang rumit. Begitupun dengan dua rasa dengan arah yang berbeda.

Asahi tersenyum, tetapi bukan sejenis senyum atas bahagia. Melainkan perihal sebait gatra yang ditulis Laluna.

"Dua rasa dengan arah yang berbeda."

Kala langkah berjejak pada dunia fana, yang terpatri dalam pikirnya bukan semata-mata perihal bahagia. Semesta punya banyak cara untuk mengajarkan nya perihal luka dan airmata.

Setelah meletakkan tas nya, cowok itu berlari ke luar kelas. Dari langkahnya, mungkin seseorang dengan mudah menerka jika Asahi tengah mencari seorang insan. Sesampainya di depan kelas Laluna, Asahi celingak-celinguk mencari sosok yang dicarinya. Namun kelas ini kosong, hanya ada ransel milik gadis itu yang sudah teronggok cantik di bangkunya.

Tepat saat dia hendak menuruni tangga, Asahi menemukan Laluna tengah menenteng beberapa sapu dan alat kebersihan lainnya. Iris keduanya bertumbuk, sesaat setelahnya keduanya sama-sama tertawa. Entah bagian mana yang lucu, namun agaknya jatuh cinta mampu membuat seseorang menjadi gila.

"Lo darimana?" Asahi melirik pada sapu-sapu yang dibawa Laluna. Kini gadis itu lebih mirip seperti kang perabot keliling.

"Dari Lab biologi, kemarin sapu kelas gue dipinjam sama tetangga sebelah. Emang kere sih."

"Laluna." Asahi lisankan asma gadis itu, diiringi tatap lekat yang amat taksa. Selangkah kakinya turunin anak tangga, membuatnya lebih dekat dengan wajah Laluna.

Dan ditempatnya, gadis itu menelan ludahnya dengan susah payah. Makhluk Jepang di depannya ini benar-benar memesona luar byasa ulala.

"Makasih." Dia tersenyum memperlihatkan  lesung pipinya. Entah bagaimana, dimata Laluna — Asahi serupa senja di puncak bukit. Elok bila diindra, parasnya yang patut disebut salah satu Mahakarya Tuhan yang menawan.

"Tetapi, bukankah kamu tak pernah tahu? Jika aku melabuhkan rasa ini kepadamu. Lantas mengapa? Kamu sebut kita adalah dua rasa dengan arah yang berbeda?!"

Netra Asahi menyelami sesuatu yang tersemat dibalik tatap sendu milik Laluna.

Lantas pemuda itu berlalu meninggalkan Laluna begitu saja. Selama beberapa saat, Laluna tertegun. Sebab senyumnya mengingatkan Laluna pada seseorang, dimana hari itu dia melambaikan tangannya hingga mengantarkan kepergian Laluna lewat pandangan mata.

Senandika Untuk Asa | Hamada Asahi [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang