5# Friend's

483 102 13
                                    


***
Meski semu, meski nggak abadi - biarkan warna itu tumpah dalam semestanya. Warna-warni pribadi insan manusia yang mereka sebut selayaknya teman.

***

Matanya menerawang jauh pada gemintang yang bertabur diantara kelamnya langit malam. Disana, gemerisik angin mengusik sepi yang membentang.

Sejenak, kepalanya menengadah - dia berdiri ditengah-tengah jalanan. Sedang surai hitamnya dihempas kesana-kemari oleh desau angin petang. Ah rasanya Laluna pengen ke isekai deh. Suasana malam ini mengingatkannya pada salah satu scene anime yang kerap dirinya lihat. Laluna pernah berangan seperti, kira-kira bagaimana rasanya jika Laluna mampu terbang dan menjamah satu bintang dari sekian yang ada.

Tanpa pernah gadis itu duga sebelumnya, tiba-tiba saja semu wajah Asahi mengambil alih tahta lapang mega bumantara. Bayangannya seolah memenuhi setiap sudut langit kota. Berulang kali, Laluna mengucek matanya - namun sayang, hilalnya nggak juga pudar dari belahan semesta. Justru tersenyum kian lebar guna mempertontonkan lesung pipi pemikat kembang raflesia. Laluna kesal, namun entah pada siapa. Berhubung ada kaleng cola yang tergeletak di jalan begitu saja - Laluna tendang dengan sukacita.

"Woi sat! Lo kalau punya masalah hidup, nggak gini caranya!!" Sial sekali. Kaleng itu rupanya menghantam pipi tembam milik laki-laki tambun diujung jalan sana.

"Maaf! Sengaja, bang." Damn bruhh. Laluna ingin menjambak rambutnya sendiri. Kenapa mulutnya selalu salah bicara disaat-saat seperti ini. Kemudian gadis itu melenggang begitu saja meninggalkan laki-laki itu yang masih mengabsen seluruh penghuni kebun binatang.

Disela-sela langkah yang terbina, Laluna mengusap pipinya yang teramat dingin - dia pikir memang karena angin malam. Tadi, Asahi sempat menawarkan pada dirinya untuk mengantarkan pulang. Namun gadis blegug itu dengan santainya menolak begitu saja. Bukan tanpa alasan sebenarnya, Lalisa - penguasa dimensi ke dua puluh tujuh akan menghukumnya habis-habisan jika ketahuan malam-malam bersama manusia berjenis laki-laki.

Laluna bukan remaja jompo. Tapi malam ini, punggungnya lagi-lagi didera rasa nyeri. Sejujurnya, rasa sakit yang dirasakannya dobel. Namun, berulang kali Laluna menegaskan pada dirinya sendiri jika tidak ada rasa sakit yang abadi.

Deru motor mengalun pelan dibelakangnya, Laluna mencoba menepi untuk berhenti supaya seseorang dibelakangnya bisa melalui tanpa takut menyerempet dirinya. Namun, pengendara tersebut justru turut berhenti. Sempat ragu, tapi akhirnya Laluna memutuskan untuk menoleh ke belakang. Lantas didapatinya sesosok makhluk jepang yang sedari tadi menjarah pikirannya. Presensinya di bawah temaram rembulan seolah mengusik hampa yang sekian lama telah bertahta - berganti menjadi resonansi penuh warna.

"Kenapa berhenti?" Asahi memiringkan kepalanya, membuat Laluna diam-diam menahan gejolak asing dalam dadanya.

"Lo ngapain ngikutin gue?"

"Emang gue ngikutin?!"

Laluna menarik napas dengan kuat, sehingga membuat gadis itu mendengus pada akhirnya.

"Ya, emang gitu kan?"

"Kenapa sih lo nolak gue anterin?"

"Lo habis kecelakaan, buset. Lagian rumah gue deket kok." Laluna mengusap pipinya yang dingin sekali lagi.

Asahi diam. Dia tatap mata Laluna yang memantulkan sinar rembulan dengan datar. Selangkah darinya, Laluna maju untuk menyentuh pundak pemuda itu, selekat netra bertatap - Laluna seolah menyuarakan bahwa dirinya nggak apa-apa. Cukuplah luka pada raga untuk hari ini, Laluna nggak ingin kena lagi.

"Asahi!"

Diantara sinar rembulan yang menaungi kedua belia itu, ada semburat rona merah muda yang nggak terjamah mata, dan semesta seolah menutupinya. Mungkin memang benar jika keduanya tengah menyembunyikan rasa anantara pekatnya jumantara malam, sebab di dalam sana ada yang bersuara jika rasa belum tepat untuk diutarakan. Kedua pandang itu masih beradu, seolah tengah meramu sebuah rasa yang tak pasti.

Senandika Untuk Asa | Hamada Asahi [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang