16# S

210 54 9
                                    


***

Akhir cerita kian tertangkap mata
Laluna rela jika memang jalannya

***

Rupanya seminggu berlalu dengan hampa. Laluna mencoba melepas harapan tanpa kata, terluka yang terjadi dengan semestinya pada akhirnya--memang sudah Laluna duga. Asahi menjauh darinya, bahkan dengan alasan yang Laluna tak mengerti sama sekali.

Emang aku salah apa ya kk?

Gadis itu terkekeh geli. Sepersekian detik saja, netranya kembali meredup.

Hela napasnya tersamarkan oleh hembus angin yang menerpa. Sepi mendominasi diantara pengap nya udara bangunan lama yang sudah tak digunakan. Tangannya menggenggam sapu, sembari menapakkan pantatnya pada kursi kayu yang dicumbu debu. Lab biologi lama, mungkin akan menjadi Satu-satunya tempat penuh ketenangan. Dari peliknya kehidupan yang dikecap nya.

Laluna tak ingin mengakui ini, tapi hatinya seperti sudah tak sanggup lagi. Sama seperti harapan orang-orang yang berada pada titik paling rendah dalam hidupnya, kalau bisa--Laluna teringin pergi. Seandainya dulu, Papa membiarkannya hidup sebagai anak jalanan yang mengadu nasib di lampu merah ibukota, mungkin ketenangan itu akan tercipta walau secuil saja. Dan seandainya, dia tak pernah bertemu Lalisa.

Terluka akan berkesan dengan bagaimana caranya menyapa. Tetapi saat harapan itu telah lebur bersama keputusasaan--tidak ada harapan yang lebih didambakan daripada kematian. Seseorang bahkan tak mungkin mampu hidup barang sedetik tanpa sebuah harapan. Asanya kian goyah, peliknya kehidupan seolah merobek setiap gelora bahagia yang tercipta.

Sekali lagi hela napas keresahan kembali ditangkap sepi. Hingga pada akhirnya, kenop pintu tampak diputar begitu saja. Dan sosok Lusi menyembul dari balik pintu.

"Buset, ditungguin daritadi juga." Laluna menyodorkan sapu yang dipegangnya pada Lusi, sesaat setelah gadis itu menerimanya--Laluna justru memejamkan matanya dengan diam.

"Lo ngapain? Ceileh malah rebahan! Kerjaan kita masih banyak bego buat Bazar besok!" Namun ocehan itu hanya ditanggapi oleh decakan dari Laluna.

"Bodoamat. Gue capek!"

"Lu mau gua pukul?"

"Pukul aja, udah biasa." Hati Laluna kusut, dan tak seorangpun mampu melihatnya. Sebab, netra itu tak pernah memancarkan yang sebenarnya. Segala sesuatu dia sembunyikan serapat mungkin. Namun sayangnya, hari ini--mulutnya berkata dengan tak semestinya. Mengupas segala kepalsuan yang ada pada dirinya.

Lusi diam. Dia tak mengerti dengan sikap Laluna saat ini. Namun hanya sepersekian detik, setelahnya gadis rambut cepak itu berujar.

"Denger ya?! Gue bukan orang yang peka, lo mungkin nggak tau--gimana selama ini temen-temen gue memandang gue. Gue nggak pernah tahu, tapi hari itu--rungu gue jadi saksi bisu yang menghantarkan kata-kata menyakitkan itu bisa sampai pada hati gue. Gue mendengar sendiri, bagaimana--penghianatan itu terutarakan dibelakang gue. Harusnya lo tahu apa yang gue rasain! Gue sedih, gue pikir hidup gue seburuk itu. Sejak hari itu, hidup gue penuh dengan kepalsuan--sama kaya lo Lun." Lusi menyingkap anak rambutnya, bersamaan dengan peluh yang ada.

"Lo bilang lo bukan orang yang peka, tapi--kenapa lo seolah mengerti apa yang gue rasain?" Laluna menerawang langit-langit dengan segala keputusasaan.

Senandika Untuk Asa | Hamada Asahi [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang