***
Deburnya datang membasuh lara
Pijakan keduanya tersamar
Semakin digenggam, semakin cepat kehilangan.***
Desir anila mengobrak-abrik surainya, Laluna kehilangan fungsi kata kala Asahi meminta untuk mengantarkan nya pulang. Awalnya hendak menolak, tetapi saat sekilat netra selami harsa yang tersurat, Laluna urungkan untuk menolak. Gadis itu naik ke jok belakang motor Asahi setelahnya.
Disini, kala sandyakala agihkan pancarona jingga — Laluna membisu atas rasa yang tak pasti. Lantas bagaimana nasib perasaannya untuk Delano? Dua anak manusia itu terlampau nelangsa nasibnya bila ditelisik oleh sosoknya yang perasa, itulah kenapa Laluna sempat berkata tak ingin bermain-main akan harsa keduanya.
"Dek — eh maksud gue, Lun. Lo nggak kesurupan setan gagu kan?"
"Sembarangan. Mau gue tabok lu?"
"Ck makanya pegangan!"
"Pegangan apa?" Tanyanya malu-malu najong.
"Noh tiang listrik." Asahi membalas cuek. Sepersekian detik saja, Asahi membawa hasta puan tuk berpegang atas dirinya. Sedang iras Laluna dirayapi rona merah muda. Namun sayang, airmuka nya tetap sedingin es batu.
"Hish apasih? Gini aja aing bavver." Larasnya berbisik lirih.
"Gimana?"
"Nggak anu, knalpot lu ganteng." Ya, dasarnya memang aneh.
"Yang punya juga ganteng."
"Busett, pede lo." Laluna tertawa ringan.
"Yaudah nanti."
"Apanya?" Laluna memiringkan kepalanya, mencoba menatap wajah Asa yang tengah terfokus pada jalan raya.
"Jadiannya." Asahi ini memang bisa saja mulutnya. Sejenak, Laluna mengindra pada jumantara yang hantarkan kepulangan sang baskara. Sama seperti hari-hari biasanya, hakikatnya senja selalu menyisakan luka diakhir waktu.
"Aku nggak mau pacaran ya."
"Terus maunya apa?" Pun Asahi turut menatap awang-awang cakrawala yang kian merona.
"Hidup berdua hingga tutup usia. Selamanya. Aku nggak mau menikah kalau nggak sama seseorang yang bernama Asahi."
Dibalik helm batok kelapa nya, Asahi menarik lengkung tipis atas senyum ketulusan.
Sesudah nya tidak ada percakapan antara keduanya. Asahi terfokus pada jalanan sedangkan Laluna sibuk menyesali prakata nya beberapa saat lalu.
Serasa musim gugur, daun-daun yang terabai itu berbaur bersama anila yang menatap keduanya. Di sepanjang jalan, Laluna masih setia menyesali ungkapan nya tadi. Sekitar duapuluh menit, keduanya tiba di sebuah pantai.
Debur ombak menyapa rungu. Siluet keduanya tampak begitu apik dipadukan dengan pancarona swastamita diujung sana. Laluna mengikuti Asahi yang berjalan menuju bibir pantai. Langkah itu bersama-sama mengarungi banyaknya duka yang singgah dalam jiwa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika Untuk Asa | Hamada Asahi [✔]
Fiksi RemajaKetika langit mulai mengabu, lantunan sendu untuk Asahi mengudara. Tepat saat biru lukanya mampu menepikan mendung-mendung diatas sana. Membawa sajak-sajak luka dari Laluna untuk pergi menemuinya. [Proses Revisi] ©Sembilanxxx, 2021 [Senandika Untuk...