pukul dua belas malam aku tak bisa memejamkan mata, dan aku memilih untuk turun makan malam. Menjadi setan rumah seperti biasa. Aku hanya memakan roti tadi di perjalanan ketika mengantar makanan untuk Rahwana. Rasa lapar membuatku menuruni tangga dan membuka turun saji.
aku tahu Bunda dan Om Rudi tak akan terbangun karena sudah biasa mendengar aku yang kadang masak atau mengunyah makanan tengah malam. Lagi pula Bunda pun pura-pura tak tahu tentang kebiasaanku ini, dia sibuk memerankan menjadi istri yang sempurna dengan karakter yang lembut.hanya aku yang tahu bagaimana dulu Bunda diam dan menatapku dengan tegas.
"kenapa kamu harus lahir, seandainya kamu laki-laki, mungkin hidupku tidak se sial ini. Pembawa sial" dan kalimat itu jadi satu goncangan untukku. Ke tidak pedulikan Bunda bukan karena sakit mentalnya, tapi memang karena dia benar-benar membenciku. Rasa benci itu ia sembunyikan di balik sosok ibu yang baik.
namun aku masih bisa merasakan benci itu dari kedua matanya. Aku melihat ke arah meja makan.
di tempat ini dulu kamu hanya berani menatapku. Meja ini jadi saksi tentang janjimu yang akan menjelaskan situasi kita pada Om Rudi yang ternyata hanya isapan jempol semata. Dan entah mengapa mengingat itu membuat mataku menjadi perih. Demi Tuhan, aku ingin mencintai pria lain selain dirimu Rahwana. Rasanya cukup menyakitkan jadi seperti ini.
Rasanya sesak dan tidak menyenangkan. Rasanya sakit dan kepalaku ingin meledak. Mengingat kalimat Bunda tentang aku yang akan menjadi Bridesmaid mu justru memperburuk lukaku. Ya Tuhan. Mengingat itu semua entah mengapa membuat rasa terong sambal berkali - kali lipat pedasnya.
Aku tersedak, air mataku menambah rasa asin pada nasi yang kukunyah. Dan betapa jeleknya aku yang menangis sambil mengunyah dan menarik ingus. Hingga sebuah gelas berisi air dingin berada di depanku, aku menatap Rahwana yang menyodorkan air minum. Bajunya belum berganti, rasanya seperti mimpi.
Aku pernah bermimpi seperti ini. Bermimpi kalau kamu pulang dan menemaiku makan sambil berkata bahwa kamu sudah menjelaskan semuanya pada Om Rudi. Bahwa Om Rudi yang memaksa mu untuk pergi. Bahwa kau meminta maaf karena meninggalkan begitu saja, Bahwa kau masih mencintaiku. Astaga Tuhan dan matamu hanya menatapku yang sibuk mengeluarkan air mata.
tanpa sengaja aku menyenggol Ari dingin yang benar-benar terasa dingin. Dan itu artinya ini bukan mimpi. Cepat-cepat aku menghapus air mata serta ingusku dengan tisu yang ada disampingku. Aku tak ingin kau tahu tentang semua mimpiku.
"Maaf, terong Sambelnya pedas kuadrat" ucapku menjelaskan agar tak salah pengertian. Agar kau tak perlu lelah menebak-nembak alasanku menangis tengah malam.
agar kau tak perlu mengaitkan tentang dirimu dan tangisanku ini.
"aku kira udah pulang." Ucapku mencairkan suasana sambil mengucek-Ngucek nasi dan menelan paksa makanan yang rasanya mulai hambar.
"belum. Sudah larut malam, sekalian saya mau lihat kamar saya. Sudah lama sudah tujuh tahun."
Ya dan selama itu aku tersiksa melihat kamar itu tak pernah menyala lampunya.
"oh. Omong-omong selamat ya untuk pernikahannya." Mulutku tak bisa kU hentikan untuk tidak mengucapkan kalimat tersebut dengan senyuman. Mataku menyipit, ujung-ujung bibirku tertarik ke atas. Aku menatapnya mencoba mencari tahu bagaimana ekspresi terhadap ucapan selamatku.
"kamu sudah dengar?"
"iya." Aku menelan nasi tersebut dengan air dingin. Rasanya masih sangkut di tenggorokan. Aku memutuskan untuk menyudahi makan malamku. Dan kemudian meninggalkan Rahwana yang masih duduk di tempat nya. Aku tak perduli, sudah tak perduli lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji
RomanceKenapa Bahagia selalu datang dengan syarat-syarat yang tak pernah diketahui manusia. Hanya ingin Bahagia saja sangat susah untukku? Lidahku kelu, melihat pria yang kucintai. Pria yang kuberikan segalanya sepenuh hati adalah kakak tiriku. Mengapa ji...