Bab 8.

384 56 0
                                    

"Makan." Tak ada ramahnya , aku pun tak mengharapkan nada halus lembut itu membelai-belai gendang telingaku, membuat aku semakin cinta. Bahkan semakin tak ingin melepaskan mu. Karena kini aku sudah melepaskan mu. Aku ingin pergi dari simpang jalan yang dulu kau sebut dengan kata tunggu.

"iya mas." Layaknya seorang adik yang patuh terhadap kakaknya. Aku memakan makanan yang ada di depanku tanpa bicara sekata pun. Karena tak pernah ada yang harus dibicarakan. Kamu hanyalah sosok kakak yang pulang setelah begitu lama meninggalkan rumah.

Sementara aku mengunyah makananku Rahwana terlihat mengangkat ponsel. Dan entah mengapa aku mendengar semuanya. Dia bahkan tak menjauh, hanya melirik kU sebentar.

"Iya, tolong itu juga diurus. Saya tidak mau ada kesalahan sedikit pun."

itu adalah satu-satunya kalimat setelah kata "ya" yang diucapkan Rahwana kemudian memutuskan teleponnya. Aku melirik segelas kopi dan ingin menghirup aromanya, namun Rahwana mengambil satu-satunya gelas yang ada di atas meja dengan isi kopi tersebut kemudian menyesapnya juga meletakkannya agak jauh dari jangkauanku,

"ini minuman kamu." Dia meletakkan segelas yang berisi air putih disampingku. Melihat betapa ekspresiku menjijikkan.aku tak ingin merasakan hambar pada segelas air putih. Setidaknya pahit menggigit jauh lebih baik. Dibanding segelas air putih yang tak punya rasa sedikit pun.

baru datang sudah seperti boss lagaknya. Dan aku memilih diam-diam Ari pada berdebat. Debat hanya akan menimbulkan rasa benci yang semakin dalam, cukup rasanya membenci Rahwana seperti sekarang ini, aku tak ingin menambah takaran benci itu, jika tidak dapat dipastikan aku tak akan dapat melupakannya.

dan kini giliran ponselku yang berdering. Tampak nomor asing yang membuatk ku mengerutkan kening. Siapa gerangan yang menelepon kU di jam seperti ini?.

"halo?" Tanyaku hati-hati.

"gimana kabar kamu Shin? Kamu sehat? Udah mendingan?" Suara BASS yang terdengar di seberang sana sangat familier.

"ini siapa?"

"Rendi Shin. Kamu sakit apa? Masih sakit? Kamu dimana sekarang?" Pertanyaan bertubi-tubi itu menyiratkan rasa khawatir yang aku suka. Sayangnya sumbernya saja tidak tepat.

"sudah mendingan Pak. Saya lagi sama Mas Rahwana." Aku berdiri hendak menjauh agar lebih leluasa untuk menjawab telepon tersebut. Namun lagi dan lagi Rahwana menahan tanganku menyuruhku tetap duduk dengan isyarat bibir yang bisa kubaca.

"syukurlah kalau begitu."

dan entah mengapa. Aku menjadi lebih berani. Ada rasa keraguan, ada sedikit rasa malu, namun itu semua sirna ketika Rahwana yang menggenggam kU. Semakin ia mempertahankan kU semakin kencang lariku. Bukan begitu?

"Pak Rendi pernah mengutarakan niat untuk jadi tunangan saya bukan?" Pertanyaan itu membuat Rahwana menatapku semakin tajam. Rasanya tatapan itu ingin membunuhmu, jemarinya masih mengetat di pergelangan tanganku.

"iya, kenapa?"

"Bapak serius?"

"iya saya serius."

"Kalau begitu saya bersedia pak. Saya mau jadi tunangan Bapak." Tak ada jawaban dari seberang sana. Sementara Rahwana tampak seperti monster sekarang. Ia masih belum melepaskan kU. Masih mengunci ku dengan tatapannya. Tapi aku tidak lagi takut.

karena sudah kU pastikan dia sudah kehilanganku seutuhnya. Aku tak lagi menunggu.

"kamu dimana? Saya jemput kamu sekarang"

JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang