Tepat pukul sepuluh malam, ratusan berkas-berkas sepenuhnya rampung tersusun rapi. Sesuai dengan perintah CEO menyebalkan, yang kerap berhasil membuat Hinata jengkel bukan main. Helaan napas pun tak tanggung-tanggung ditariknya, demi menghabiskan jenuh yang tersisa. Kepala pening, mata perih, nyaris mual akibat menghadapi gundukan kertas usang berdebu tersebut.
"Pirang jelek! Monster raksasa! Diktator! Nanti pasti kutulis. Lihat saja! Biar aku selalu ingat semua julukan yang pantas untukmu. Dasar gorila sombong!" Sambil memukul-mukul pelan pundaknya, dia tiada henti mengumpat. Tubuhnya benar-benar penat, belum lagi otak yang seolah kram karena terlalu banyak menelan angka berdigit dari lembaran bertumpuk itu.
"Nona, Anda belum selesai?" Genma selaku salah satu sekuriti perusahaan datang menghampiri Hinata. Sudah menjadi tugas wajib baginya untuk memeriksa seluruh ruangan di perusahaan, sebelum memastikan pula situasinya teramankan.
"Iya, aku akan pulang sekarang. Apa masih ada orang selain aku?" tanya Hinata sembari merapikan sedikit penampilannya, lalu mematikan sakelar lampu.
"Ada, Nona. Tapi mereka juga sama seperti Anda, sedang bersiap untuk pulang." Genma menjawab seadanya seraya mengamati sekeliling, ke ruang-ruang yang sudah gelap dengan sebuah senter menyala di tangannya. "Selamat jalan, Nona." kata petugas tersebut ketika Hinata berpamitan dari sana.
.
.
.Berulang kali menguap, berdiri di trotoar bersama perasaan gelisah. Bahkan Hinata mulai tidak nyaman dengan kondisi tubuhnya yang gerah. Hampir seperempat jam dia menunggu, tapi tak ada satupun taksi yang muncul. Semakin geram saat menyadari dia lupa mengecas ponselnya, hingga tak dapat menghubungi teman untuk meminta bantuan ataupun memanggil taksi online.
Hinata terdiam dengan mata menyipit, saat sebuah sedan metalik hitam berhenti tepat di hadapannya. Dia menyelipkan rambut ke balik telinga, lalu sedikit merunduk, mencermati sosok di bangku pengendara yang samar-samar dia yakin mengenali. Kening Hinata langsung mengernyit, setelah matanya puas menjamah rangka mobil di tengah-tengah pencahayaan minim. Diam-diam dia merutuk dalam hati. Entah apa lagi ulah bosnya kali ini, sampai secara tiba-tiba muncul di depannya. Dia pun memasang gaya cuek sekaligus dingin, sengaja melipat tangan ke dada dan membuang muka ke sisi lain.
"Jangan belagu. Ayo naik! Mumpung aku belum berubah pikiran," kata pria itu, begitu membuka kaca jendela mobilnya. Tanpa menatap Hinata dia berkata dengan nada terdengar angkuh.
"Tidak sudi! Sebentar lagi jemputanku juga datang. Sudah, sudah! Pergi sana!"
"Satu menit lagi kutunggu, kalau tidak naik juga aku pergi. Kudengar di sini sering terjadi penculikan, pemerkosaan dan kasus terbaru terjadi tiga hari yang lalu. Baiklah, sebaiknya kau hati-hati," Naruto menjawab santai, tanpa emosi berlebihan. Ekspresinya bersembunyi di belakang kacamata yang dia kenakan. Hinata berteriak, tatkala tangannya menarik tuas persneling.
"Tunggu! Jangan tinggalkan aku!" Hinata menelan kasar salivanya. Dengan jantung yang kini bergetar takut, dia melirik ke kanan ke kiri, lalu mengambil gerak cepat ke dalam mobil. Setelah duduk, dadanya naik turun karena kesusahan bernapas.
"Kau mengarang cerita itu 'kan?!" katanya nyalang sambil mendelik tajam kepada pria di sampingnya.
"Menurutmu?"
"Bilang kalau itu cuma bohong!"
"Cerewet! Mending diam, aku perlu konsentrasi sekarang." Naruto mendorong jidat Hinata, hingga tubuhnya menempel ke punggung jok. Berlanjut dia bergegas menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"Aku tidak mau diam! Memangnya kenapa kalau aku berisik? Kau selalu saja memulai perkelahian denganku. Kalau bukan karena tugas mustahil yang kau berikan, aku tidak mungkin pulang selarut ini. Bagaimana jika terjadi hal buruk padaku? Kau mau bertanggung jawab bila aku mati?"
"Tidak! Kudengar wanita-wanita yang cerewet itu berumur panjang. Jadi kau aman!"
"Aku membencimu." Hinata mengatakannya dengan penuh tekanan amarah. "Pokoknya benci, benci, benci, benci! Kau menyebalkan!"
"Terserah. Aku juga tidak suka dengan gadis sepertimu, bukan tipeku." Sikap tenang Naruto dan ucapan pedas yang terus keluar dari mulutnya itu menyebabkan Hinata semakin mencak-mencak di dalam.
"Aw! Kau mau membunuhku? Tidak usah menyetir kalau tidak bisa." hardik Hinata saat Naruto secara tiba-tiba mengerem, membuat sikunya terbentur ke bagian dalam pintu mobil.
"Tenanglah! Lama-lama kau seperti anak kecil. Jangan memancing kemarahanku di sini!" seruannya manjur menghentikan jeritan Hinata. Perempuan itu jadi lebih tenang sekarang, atau dia benar-benar merasa takut akan tatapan lembut namun mendominasi yang terbias dari netra samudranya. "Tunggu sebentar, aku perlu mengecek bannya, mudah-mudahan bukan karena bocor," timpalnya lagi, kemudian beringsut ke belakang mobil. Sekian detik Naruto berdecak lidah. Dia menendang geram ban mobilnya.
"Sial!" makinya di tempat, ketika mendapati ban sebelah kiri ternyata benar-benar bocor. Apalagi dia tidak membawa ban cadangan.
Buru-buru Naruto meraih ponsel dan menekan tombol hijau pada layar. Setidaknya ada yang bisa dia hubungi, walau harus menunggu lama sampai bantuan itu tiba.
"Apa yang terjadi?" tanya Hinata cemas, saat Naruto kembali masuk ke mobil dan menjumpai kegusaran di wajah lelaki itu.
"Bannya bocor."
"Jadi?! Ya Tuhan!"
"Maaf. Aku tidak membawa ban lain. Kita harus menunggu, aku sudah menelepon orang-orangku," ujar Naruto berterus terang. Dia meraih arloji dari atas dasbor sekalian mengucapkan waktu yang terbaca, "Hampir jam sebelas, kau sudah makan?"
"Aku tidak lapar." jawab Hinata malas. Tak lama dia mendesah pasrah, lalu menyandarkan punggungnya ke permukaan jok. Seharian penuh dilewati tanpa ada secuilpun kegembiraan. Malah terisi oleh rentetan peristiwa tak diharap.
"Di depan ada mini market. Kalau berjalan kaki pulang balik kira-kira tujuh menit." sambil menunjuk ke depan, Naruto memaparkan sekeliling mereka. "Aku akan ke sana sebentar. Tidak perlu takut, pintunya terkunci." Seraya memijit pelipisnya yang seakan ditusuk-tusuk, Hinata mengangguk lambat. Membolehkan Naruto pergi sejenak ke mini market yang letaknya lebih seratus meter dari posisi mereka sekarang.
.
.
.Membawa satu kantung berisi dua cup mie instan yang telah diseduh, juga dua kaleng kopi dan dua botol air mineral. Naruto membuang napas keras, usai dia duduk di bangku pengendara. Berjalan tergesa-gesa cukup ampuh menyebabkan jantungnya berpacu cepat. Kali melirik ke samping, Naruto mendapati Hinata terlelap.
Ada yang berbeda dengan perempuan itu dan andai boleh jujur, dia menyukainya. Wajah Hinata terlihat polos dan lebih manis saat tertidur, sangat berbeda dengan yang banyak dia saksikan. Tanpa sadar sudut-sudut bibirnya yang tipis, naik perlahan. Bertindak agak lancang, Naruto bergerak hati-hati kala dia ingin menyingkirkan helai rambut yang menghalangi kecantikan perempuan itu. Alhasil sangat cepat memancing senyum merekah di wajahnya. "Aku jadi tidak yakin kau bisa berubah jadi menyebalkan. Cantik sekali," racaunya berbisik seraya menyapu lembut pipi Hinata.
.
.
.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Comfort table (End)✔️
Fiksi PenggemarBerawal dari banyak peristiwa menjengkelkan yang memancing amarah tak terkendali. Pun perdebatan tak terelakkan. Namun di saat yang sama, perlahan rasa rindu datang menyiksa. Bagaimana kisah selengkapnya ? Silakan baca. My collab with @laceena Ini...