💎Happy reading💎
Sehari setelah kisah gila yang Lia alami itu berlalu, tapi rasanya kesialan itu masih bisa gadis itu rasakan sampai pagi ini. Setidaknya gadis itu berharap Adrian tak akan mengejeknya lagi dengan mengatakan kalau gadis itu anak durhaka. Adrian memang semenyebalkan itu, tapi bagaimanapun juga Lia tak ingin Adrian mengejeknya lagi. Cukup kemaren saja malu itu ia rasakan.Sampai pagi itu, saat Lia baru saja selesai menyapu rumahnya. Tiba-tiba saja sebuah ide cemerlang muncul di dalam otaknya. Ide gila untuk mengerjai Adrian, membalas perbuatan lelaki itu.
Sebelum Adrian keluar dari kamarnya, Lia buru-buru memasang jebakan di depan pintu dapurnya. Gadis itu tahu betul kebiasaan Adrian. Lelaki itu akan langsung menuju kamar mandi saat ke luar kamar, berhubung kamar mandi di rumah itu hanya ada satu buah. Tidak seperti anak sultan di TV yang memiliki kamar mandi di setiap kamar tidur. Mereka tak sekaya itu tentunya. Berhubung kamar mandi itu harus melewati dapur dulu untuk sampai ke sana, jadinya gadis itu membentangkan tali di depan pintu dapur saja.
Setelah siap memasang jebakan di pintu dapur, gadis itu tersenyum devil sambil membayangkan Adrian yang terjatuh dan mencium lantai dapur dengan gaya jatuh yang sempurna. Betapa membahagiakan jika itu benar-benar terjadi.
"Adek!" panggil Adrian dengan suara setengah parau khas orang bangun tidur.
Mangsa Lia sudah bangun. Sekali lagi gadis itu tersenyum riang.
"Iya, Bang!" jawab gadis itu sambil berteriak dari arah dapur.
"HP abang mana?!"
Gawat. Lia baru ingat kalau tadi ia mengambil ponsel Adrian dan membawanya ke kamarnya. Tujuan gadis itu tak lain mencuri hotspot yang ia gunakan untuk men-download drama yang ingin sekali ia tonton. Itu artinya Lia bisa saja dalam bahaya saat ini. Kalau Adrian marah, bagaimana? Pada akhirnya gadis itu mencoba bodoh amat dan pura-pura tak mendengar perkataan Adrian.
Gadis itu mondar-mandir di dapur untuk mencari cara agar dirinya tak terkena semburan Adrian. Kalau berlari ke kamar dan segera mematikan hotspot Adrian, itu terlalu berbahaya karena pasti Adrian akan memergokinya.
"Dek!" Sekali lagi suara panggilan itu terdengar, kali ini suaranya terdengar lebih besar.
"Iya ... apa?!"
"Sini bentar!"
Gadis itu mendengus kesal, kemudian segera berlari untuk menghampiri Adrian yang bisa ia pastikan masih berada di dalam kamarnya. Tapi ... gadis itu lupa dengan jebakan yang ia buat sendiri. Alhasil, ia terjatuh dan mendarat dengan posisi yang sama persis yang tegambar dalam benaknya tadi, tapi bukan Adrian yang terjatuh dan mencium lantai, melainkan dirinya. Ciuman pertama gadis itu direbut oleh lantai. Memalukan. Inikah yang dinamakan senjata makan tuan?
"Apaan, tuh, Dek yang jatuh?!" tanya Adrian. Puncak hidungnya masih belum ia tampakkan sama sekali.
Seketika Lia mengumpat. Jelas-jelas di sini ia terjatuh, tapi abangnya itu justru bertanya dari kejauhan dan tak melihat keadaannya saat ini. Kesal. Tentu saja gadis itu sangat kesal. Bibirnya benar-benar sakit saat ini dan lututnya mungkin saja membiru.
Karena tak kunjung mendapat jawaban dari Lia, akhirnya Adrian memilih untuk ke luar kamar, melihat sendiri apa yang terjadi di luar sana. Saat kakinya menginjak dinginnya lantai ruang keluarga. Dia bisa melihat dengan jelas adik gilanya sedang berbaring di lantai, tepat di depan pintu menuju dapur.
"Ngapain tidur di situ?" tanyanya kemudian dengan memasang raut wajah kebingungan.
"Tidur apaan, sih? Jelas-jelas orang lagi jatuh, malah dibilang tidur. Bantuin kek!" jawab Lia kesal.
"Oooh jatuh ... apa? Jatuh? Buahahahahaa!" gempar Adrian ngakak di depan Lia yang masih terbaring lemah di lantai.
"Abang! Bantuin napa?!"
Adrian segera menghentikan tawanya, kemudian mengulurkan tangannya ke arah Lia sambil berusaha menyembunyikan wajah senangnya.
"Liat HP abang, enggak?"
Oh, astaga. Lia hampir lupa sama ponsel Adrian yang kini masih berada di kamarnya. Dua detik berlalu Lia hanya diam, sampai akal sehatnya bisa bekerja dengan baik untuk memberi alasan yang tepat kepada Adrian. Alasan yang akan membebaskannya dari amarah Adrian.
"Hah? Itu, tadi 'kan adek nyalin nomor Bang Rega, soalnya kontak Bang Rega hilang," jawab gadis itu asal.
"Oooh? sekarang mana HP-nya?"
"Di kamar. Biar adek ambilin dulu," kata Lia, kemudian buru-buru lari ke dalam kamar.
Gadis itu mengambil ponsel Adrian yang tadi ia letakkan di atas meja belajar dan tak lupa untuk mematikan hotspot-nya. Padahal gadis itu sedang men-download drama dan film yang dibintangi oleh Lee Joon Gi, aktor aksi yang paling gadis itu sukai. Lia berharap yang di-download-nya tadi sudah ter-download semuanya.
"Ini, Bang!" teriak Lia ketika keluar dari kamarnya.
Namun, yang ia jumpai hanya kosong. Sepi di sana menjadi pelengkap yang membuat Lia sadar Adrian tak ada di sana. Matanya mengerjap cepat, kemudian menyapu seluruh ruangan yang bisa ia jangkau dengan penglihatannya. Tapi, sejauh itu pula ia tak menjumpai Adrian di sana.
"Bang?!" teriak gadis itu sekali lagi.
"Iya! Abang lagi cuci muka, malas mandi soalnya. Taroh aja HP-nya di meja makan!" teriak Adrian dari arah kamar mandi.
Lia mendengus, kemudian meletakkan ponsel itu di atas meja seperti yang Adrian katakan. Tapi, saat gadis itu ingin berbalik, ponsel di atas meja itu pun berbunyi. Menandakan ada panggilan masuk.
Namun, gadis itu mencoba tak peduli ketika pekat matanya menatap nama yang memanggil Adrian detik itu. 'Sya Lope Lope' itu yang bisa gadis itu baca pada layar ponsel Adrian yang menyala. Lia tahu betul siapa gadis itu. Malas sekali rasanya jika harus menjawab panggilan dan malah akan mendengar suara gadis bermulut cabe rawit itu.
Lagi-lagi ponsel itu berbunyi untuk yang kedua kalinya. Gadis itu masih setia merekam nama yang sama yang tertera di layar ponsel Adrian. Sampai derit pintu kamar mandi mengambil alih fokus gadis itu sepenuhnya. Di sana tampak Adrian dengan wajah, rambut, tangan, dan kaki yang masih basah tengah menatap ke arahnya.
"Dek ... HP abang bunyi, tuh. Angkat, dong. Tangan abang basah, nih."
Detik itu juga Lia merotasikan bola matanya. Kalau menyuruh saja Adrian akan selembut itu, memangnya Lia babu yang bisa ia suruh-suruh seenak jidat? Sampai suara Adrian kembali mengambil fokus Lia.
"Anggkat! Kenapa diam aja, sih?" tanya Adrian mulai gemas sendiri.
Adiknya itu benar-benar ajaib. Masa hanya disuruh mengangkat panggilan saja rasanya begitu susah. Kalau dikasih kesempatan untuk memilih, Adrian lebih memilih untuk tak bersaudara dengan Lia. Lelaki itu lebih baik dua bersaudara saja dengan Rega tentunya. Tapi, takdir berkata lain. Kini sosok yang aneh itu terpampang nyata, gadis aneh itu nyata adiknya Adrian. Tak mungkin bisa ia rubah kenyataan yang ada.
Buru-buru Lia mengambil ponsel yang sedari tadi ia biarkan bersuara nyaring. Detik berikutnya, bukannya menggeser tombol hijau di layar, gadis itu justru mengangkat ponsel dalam genggaman setinggi yang ia bisa. Kelakuannya itu cukup membuat Adrian berkomentar.
"Ngapain?" Adrian menatap ponsel yang Lia angkat, kemudian menatap Lia yang hanya memasang wajah cemberut.
"Tapi tadi disuruh angkat. Ya ini udah diangkat," jawab Lia kesal, masih dengan mempertahankan posisinya.
"JAWAB PANGGILANNYA, LIA SAYANGGG!" teriak Adrian dan menggelengkan kepalanya pasrah.
"Nah! Gitu, dong. Ngomong itu yang jelas," kata Lia, lalu menurunkan kembali ponsel Adrian yang masih ia angkat.
Ketika gadis itu berniat menggeser tombol hijau di layar, panggilan itu sudah lebih dulu diakhiri. Hingga membuat secercah senyum penuh kemenangan terpatri di wajah gadis itu.
"Udah dimatiin."
"Elo, sih, Dek! Gini amat punya adek."
Bersambung ....
Senjata makan tuan🙄
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Brother [Complete]
Humor⚠️[Bukan cerita sis-con]⚠️ "Cium pipi dulu!" Adrian menoel-noel pipi kirinya sendiri. Entah sejak kapan helm-nya sudah terlepas dari kepala. "Dih! Najis." "Biasanya juga lo cium gue kalau lagi ada maunya. Sekarang sok-sokan bilang najis." "Lah? Itu...