Bagian 15

1.1K 110 17
                                    

💎Happy reading💎

Senin pagi yang seharusnya menuntut untuk bangun lebih awal, Lia justru masih tertidur pulas di ranjangnya saat jam bahkan sudah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh delapan. Sampai teriakan kencang dari Adrian membuat Lia mau tak mau harus menyudahi mimpi bertemu Lee Joon Gi Oppa. Menyebalkan.

"Bangun! Lo mau hormat bendera sampai jam istirahat? Atau bahkan enggak bisa masuk sekolah sama sekali karena dihalang satpam?!" teriak Adrian.

Lia berani bersumpah, jika dibandingkan teriakan Adrian, suara mikrofon mesjid bukan apa-apa. Sumpah. Demi apa pun juga Lia ingin ganti abang bagaimanapun caranya. Namun, semesta justru menghadiahkannya abang sejenis Adrian yang jauh dari kata lemah lembut.

"Aaaaa ... gara-gara Abang, nih. Mimpi adek jadi bersambung 'kan? Padahal lagi enak-enaknya belanja sama Lee Joon Gi Oppa. Dia tuh baik, beda banget sama---"

"Mandi sana. Udah mau jam tujuh juga. Bentar lagi upacara dimulai. Lo enggak takut telat?"

"Abang ih, adek tuh lupa buat tugas matematika. Mana itu pelajaran pertama lagi. Kalaupun sekarang adek ke sekolah, telat atau enggak ujung-ujungnya pasti kena hukuman juga. Mending di sini, tidur. Bisa lanjutin mimpi yang tadi harus bersambung."

Cukup sampai di sini saja kesabaran Adrian. Lia terlalu handal dalam membuatnya marah. Kalaupun nanti Adrian balik marah, yang ada itu anak nangis dan lebih susah lagi dibujuk ke sekolah. Kalau Lia ingin ganti abang karena kelakuan Adrian maka, Adrian akan menyetujuinya dengan senang hati. Kemudian Adrian akan mencari adik lain yang jauh lebih normal dari Lia.

"Gue telepon mama, nih sekarang. Bilang lo enggak mau sekolah. Lagian salah lo juga 'kan enggak buat PR."

"Bilang aja ke mama. Jangan kecewa kalau yang jawab panggilan abang justru operator. Adek orang pertama yang bakal ngakak guling-guling."

Yah. Sejauh ini orang tua mereka memang selalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Pergi bekerja saja subuh-subuh, di saat itu Lia pasti masih terlelap di kamarnya. Begitupun saat mereka pulang Lia pasti sudah lebih dulu tidur.

"Satu ...."

Adrian mengangkat jari telunjuknya tinggi-tinggi. Berharap dengan begitu Lia bisa bangkit dengan segera, tapi sepertinya Adrian lupa kalau kepala adiknya terbuat dari batu. Sampai Adrian harus menyuarakan hitungan berikutnya dengan jari tengah yang kini ikut terangkat.

"Dua ...."

Namun, Lia masih akan jadi dirinya. Gadis itu bahkan masih setia berbaring di ranjangnya saat suara Adrian meninggi di sampingnya.

"Ti ... kalau lo belum bangkit juga---"

"Maka mayat Pak Saleh yang akan bangkit dari kuburnya," sambar Lia masih setia dengan posisi berbaringnya.

Di saat seperti ini pun rasanya Adrian ingin tertawa mendengar ucapan Lia. Untunglah lelaki itu sadar kalau saat ini ia sedang marah. Jadi, tawanya harus ditunda sampai waktunya tiba.

"Setengah tiga ...."

Adrian melanjutkan hitungannya yang kini entah melenceng gara-gara apa. Kini giliran Lia yang harus menahan tawanya.

"Baru juga setengah tujuh, Bang. Setengah tiga, mah masih lama."

"Bego ... di mana-mana tiga pasti lebih dulu dari tujuh, jadi setengah tiga udah lewat kali."

Ini Lia atau Adrian yang bodoh? Ah, tidak perlu dipikirkan. Memangnya ada di antara mereka yang waras?

"Oh iya ... yang Abang tanyain waktu itu gimana?" Lia tiba-tiba mengganti posisinya menjadi duduk dan menatap Adrian dengan seksama.

Lia ini memang diciptakan sepaket dengan bego. Belum juga apa-apa, percakapan langsung ia banting entah ke mana. Entah pertanyaan Adrian yang mana yang kini gadis itu tanyakan. Adrian yang juga memiliki otak rada-rada pun harus berpikir puluhan kali untuk menterjemahkan maksud Lia dan ke mana gadis ini membawa obrolan. Setelah memikirkan pertanyaan Lia sebanyak sepuluh kali, akhirnya ... Adrian tetap tidak tahu arah pembicaraan Lia ke mana.

"Yang mana?" Hanya itu yang akhirnya Adrian katakan.

"Elah ... mikirnya lama, adek pikir udah punya jawaban atas apa yang adek tanyakan. Taunya malah balik nanya."

"Iya ... yang mana?"

"Masa Abang enggak tau? Kita 'kan saudara, seharusnya kita sepemikiran, dong. Iya, dong. Iya 'kan?"

Adrian menghadiahin Lia sebuah getokan keras di kepala. Lia pikir Adrian cenayang apa? Bisa membaca pikiran orang.

"Lo pikir gue Rakip Atip yang tau isi pikiran lo kayak apa? Bego kok dipelihara."

Lia terkekeh mendengar makian Adrian. Sambil diam-diam menertawakan kebodohan Adrian. Yah, sebenarnya di sini bukan Lia yang bego seperti apa yang Adrian katakan. Lialah yang cerdik di sini karena sudah sukses membuat Adrian lupa akan tujuannya ke kamar Lia. Iya ... Adrian ke sini 'kan untuk menyuruh Lia bangun dan segera pergi ke sekolah. Sekarang apa? Dia justru terperangkap dalam jebakan yang Lia punya. Terkadang otak bego-nya Lia bisa cerdik juga diwaktu tertentu.

"Itu loh. Katanya mau putus sama Tasya. Jadinya gimana?" tanya Lia, kali ini menjelaskan apa yang ia pertanyakan tadinya.

"Ohhh ... udah putus gue sama dia."

"Hah?! Serius? Yaaaahh ... keenakan, dong gue jadinya?"

Sekali lagi Adrian menghadiahi kepala Lia dengan getokan yang kini lebih keras dari sebelumnya. Kalau saja otak Lia bisa bicara pasti kini otaknya berkata seperti ini, 'Bisa enggak, enggak usah getok gue? Gue udah mereng, nih? Bisa-bisa kebalik, nih posisi gue.' Eh, tapi bukannya otak Lia tidak berada di kepala, ya? Gadis itu 'kan menyimpan otaknya di dengkul.

"Lah? Kok pembahasannya jadi ke sini? Lo 'kan tadi gue suruh ke sekolah?"

Namun, semua sudah terlambat. Hari sudah semakin tinggi. Percuma saja kalau Lia beres-beres sekarang. Karena yang ada anak itu akan berakhir sampai gerbang sekolah saja. Membujuk satpam yang nanti hanya akan pura-pura tak mendengar saat Lia merengek mau masuk.

Bersambung ....

Semoga part kali ini bisa menghibur. Sayang kalian yang sudah mampir ke sini🤗
Jangan lupa! Itu cerita baru aku dibaca juga, ya. Yang judulnya 'Wait for Me'
Makasih🤗

Crazy Brother [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang