Ini Daffin

30.7K 1.7K 61
                                    

Setiap hari yang di lakukan dan di pikirkan oleh seorang pemuda bernama Daffin hanyalah bagaimana agar ia dapat membayar uang kost nya tepat waktu.

Ini Daffin dengan segala kehidupannya sebagai anak kost, yang bersahabat dekat dengan mie instan berbagai rasa. Namun, terkadang ia juga merindukan masakan rumahan, merindukan suasana di ruang tamu yang merangkap dengan ruang televisi, dimana ia bisa saling berebut remote bersama sepupunya untuk di pindahkan pada saluran tv favoritnya.

Mengingat masa lalu membuat kedua mata Daffin memanas, Daffin kira ia akan menangis ternyata karena uap air panas yang sudah mendidih menerpa wajahnya dengan segera ia masukan satu buah mie instan, merobek semua bumbu yang berada dalam kemasan dan memasukkan nya ke dalam sebuah mangkuk.

Seperti yang tertera dalam kemasan mie instan, Daffin menunggu selama tiga menit agar mie yang ia masak matang dengan sempurna.

Dengan lihai Daffin mematikan kompor dan menuangkan mie beserta kuahnya kedalam mangkuk, seketika itu pula aroma mie instan rasa soto itu menyeruak masuk kedalam penciuman Daffin.

"Mantap, langkah terakhir," Daffin mengambil sebuah sendok lalu ia letakkan di dalam mangkuk, "selesai."

Dengan penuh hati-hati Daffin memindahkan mangkuk yang berisi mie tersebut ke sebuah meja kecil yang beberapa hari lalu baru saja ia buat. Setelah itu, Daffin merapihkan kembali kompor portable mini nya dan sebuah panci dengan ukuran yang cukup kecil. Begitu selesai, Daffin duduk di hadapan meja kecil.

Setelahnya ia berdoa dan memakan mienya dengan tenang hingga yang terdengar hanyalah suara Daffin yang menyeruput mie memenuhi kamar kosannya.

Hingga beberapa menit kemudian sebuah notifikasi di handphone milik Daffin terdengar, namun sang empunya hanya meliriknya sekilas dan kembali melanjutkan memakan mienya yang hanya tinggal sedikit lagi.

drett... drett...

Daffin mendengus kesal karena suara bising di handphonenya terus bermunculan, tidak tahu siapa orang yang berani menggangu dirinya yang sedang menikmati kuah mie yang lumayan segar, Daffin tentu tidak peduli siapa orang yang mengirim pesan pada dirinya, karena tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian Daffin pada kuah mie soto favoritnya.

Daffin kembali meletakkan mangkuk mie yang sudah tak tersisa apa pun itu di atas meja, lalu ia menyambar sebotol air mineral yang masih terisi penuh, di teguknya hingga air yang ada di dalam botol hanya tersisa setengah.

Dengan bersandar pada dinding kamar di atas tempat tidurnya Daffin membuka beberapa pesan yang masuk, baru saja Daffin membaca dua pesan pertama handphone nya kembali berdering dan kali ini terpampang sebuah panggilan masuk, dengan segera Daffin menggeser tombol hijau.

"Halo"

"Bangke, lama bener lu liat chat gua," ucap suara di sebrang sana.

"Sorry gua orang sibuk, kagak kaya lu."

"Bacot, buruan ke sini anjim. Alamatnya udah gua kirim, urgent. Dah jangan banyak bacot lu, gua tunggu, inget urgent."

"Ck, iye, iye."

Begitu panggilan terputus Daffin segera menyambar kunci motor yang menggantung di dinding kamar. Mengunci kamar kosannya dan berjalan tenang menuruni tangga, dan berlari kecil begitu atensinya menemukan keberadaan sepeda motornya.

"Sore Luna, udah siapkan buat gua ajak jalan-jalan sore," ucap Daffin sembari menaiki sepeda motor kesayangan.

Bagaimana tidak sayang? Luna adalah sepeda motor yang Daffin beli dengan uang yang ia dapatkan karena bekerja paruh waktu dan berjualan online, yah meski motor bekas dan cicilannya belum lunas Daffin amat sangat menyayangi harta satu-satunya itu, tentu saja selain handphone dan kompor portable. Setidaknya Daffin bisa menambah penghasilan dengan menjadi ojek atau pengantar barang di hari Sabtu dan Minggu.

Daffin mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang, bukan berarti Daffin tidak berani menancap gas lebih, ia hanya tidak ingin menantang maut setidaknya tidak untuk saat ini karena Daffin lupa memakai helm. Itulah sebabnya mengapa Daffin tidak menarik gas lebih, ia masih menyayangi kepada dan hidupnya.

Begitu ia sampai di alamat yang di tuju, tanpa beranjak di atas sepeda motornya Daffin mengeluarkan handphone untuk menghubungi seseorang.

"Daffin!" teriak seseorang di belakang Daffin.

Spontan Daffin berbalik untuk melihat sumber suara, "Bang Indra?" gumam Daffin bingung.

Bagaimana tidak bingung, orang yang menghubungi Daffin adalah sahabatnya, yaitu Bagas. Tapi kenapa Indra yang dia temui saat ini, mungkin hanya kebetulan saja, itu pikir Daffin.

Daffin memutar sepeda motornya yang berhenti di tepian jalan, lalu memasuki parkiran sebuah cafe yang terdapat Indra di dekat pintu masuk cafe tersebut. Daffin beranjak turun dari sepeda motornya dan menghampiri Indra, "Ngapain di sini bang?"

Bukannya menjawab Indra malah menarik telinga Daffin, hingga menimbulkan pekikan  kesakitan dari kedua belah bibir Daffin.

"Berapa kali lagi harus abang ingetin buat pake helm Daffin, terus apa ini? Kamu cuma pakai kaos tipis gini. Kemana kan jaket yang abang belikan?"

Indra segera menyudahi aksi menarik telinga Daffin, begitu Daffin memelas. Oh ayolah Indra tidak sejahat itu untuk menyakiti Daffin lagi pula ia hanya menarik main-main telinga Daffin. Meski begitu Indra masih menatap marah pada Daffin.

"Ishh, iya maaf."

Dan inilah kelemahan Daffin, ia paling lemah jika di tatap penuh amarah apalagi kebencian, tidak untuk semua itu Daffin amat sangat tidak menyukai nya terlebih lagi jika orang yang menatapnya adalah orang-orang yang Daffin sayang. Ia mau tenggelam saja jika begitu.

Tapi satu hal yang harus di ingat, Daffin bukanlah lelaki yang mudah takut, ia cukup berani dan cukup keras kepala. Terkadang Indra saja di buat diam dan mengalah jika Daffin sudah memiliki pilihan nya sendiri, setidaknya Indra bisa bersyukur Daffin bukanlah anak yang mudah terbawa arus pertemanan.

"Masuk," ujar Indra pada Daffin sembari melangkahkan kakinya masuk kedalam sebuah cafe.

"Daffin ada janji," balas Daffin yang masih setia berdiri di tempatnya.

"Bagas ada di dalam," Indra berujar sembari menunjuk dengan dagu pada seorang pemuda di salah satu kursi cafe.

Daffin dapat melihat atensi Bagas yang tengah terkekeh geli dengan handphone yang setia di genggaman tangannya. Muka wajah Daffin langsung suram seketika, ia berjalan masuk mengekor di belakang Indra. Daffin kesal amat sangat kesal pada Bagas, rasanya ingin sekali Daffin memiting kepala pemuda yang satu itu.

"Wihh, udah dateng lu?" Bagas berujar begitu menemukan atensi Daffin yang kini berdiri di hadapannya.

"Ini nih bang alesan gua buru-buru sampe lupa pake helm," adu Daffin pada Indra. Indra hanya menatap sekilas pada Bagas, dengan tatapan penuh tuntutan.

"Apaan lu nyalahin gua, orang gua aja di suruh sama bang Indra."

"Iring giwi iji di sirih simi bing Indri,"  cibir Daffin, setelahnya ia memiting leher jenjang Bagas. Bagas meronta namun tak bisa berbuat apa-apa.

Begitu Daffin merasa puas, ia melepaskan tangannya pada leher Bagas, "khuk, mau bunuh gua lu?"

Daffin tidak menjawab apa-apa ia hanya melangkahkan kakinya keluar dari cafe namun instruksi Indra menghentikan langkahnya. Yah sedari tadi Indra hanya diam melihat tingkah Daffin dan Bagas.

"Mau kemana? Abang emang nyuruh dateng, tapi ngga harus buru-buru juga."

Daffin mendelik, "Gua belum ada duit buat bayar utang si Luna."

"Bukan itu, sini duduk."

Dengan malas Daffin berbalik dan duduk di tengah-tengah antara Bagas dan Indra, "Apa?"

Baik Bagas dan Indra saling melempar pandangan dengan senyuman yang tercetak di garis bibir mereka.

°°°°°°

Masih belum nemu visual mereka, jadi banyangkan saja sesuka hati.

Makasih udah mampir

Kalo suka jangan lupa tekan bintang
   👇(yang ini)

DaffinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang