Konsekuensi (2)

6.8K 776 82
                                    

Daffin berhadapan dengan Saga, mereka saling bertatapan selama beberapa detik hingga Daffin terlebih dahulu yang mengalihkan pandangannya. Sementara perhatian Saga jatuh pada sepeda motor yang berada di belakang Daffin, kemudian kembali menatap pemuda di hadapannya.

"Mau kemana?" tanya Saga.

"Itu Daffin mau ketemu sama temen Dad," sahut Daffin dengan sesekali menatap Saga dan supir pribadinya bergantian.

"Pulang!" perintah Saga.

Daffin tampak memundurkan langkahnya, ia kembali berbicara namun enggan menatap kedua manik Saga, "Daffin izin sebentar ya Dad, ja_"

"Pulang!"

"Bentar doang ko Dad, Daffin udah janji sama temen gak enak kalo tiba-tiba Daffin gak dateng," jelas Daffin dengan nada memohon.

Saga tidak berkata apa pun ia hanya menatap datar Daffin, dengan sorot mata sedikit tajam.

Daffin mendengus, "Ya udah iya, Daffin pulang naik motor."

"Motor? Tidak ingat dengan peraturannya Baby?"

Daffin mendelik tidak suka, "Ya Allah  Dad, Daffin bisa kok naik motor pelan-pelan dengan hati-hati agar selamat sampai tujuan, aamiin. Gak akan ngebut janji."

"Peraturan tetap peraturan, mau beralasan apa pun jika itu di langgar kau akan mendapatkan hukumannya." Setelah mengatakan hal tersebut Saga masuk terlebih dahulu ke dalam mobil, sembari menunggu reaksi Daffin.

Daffin tampak termenung dengan wajah murung, namun langkahnya yang tampak terseret-seret memasuki mobil yang Saga tumpangi. Sementara di dalam mobil Saga tampak tersenyum kecil.

Begitu masuk ke dalam mobil pandangannya langsung jatuh ke luar jendela, malas sekali menatap Saga yang tersenyum samar-samar. Sebenarnya Daffin bisa saja pergi begitu Saga masuk ke dalam mobil, namun ia takut di kutuk menjadi batu bata.

Daffin duduk tepat di samping Saga, ia menyandarkan kepalanya pada kaca mobil dengan tatapan menerawang jauh ke luar sana, hingga ia bertanya-tanya sejak kapan hidupnya jadi seperti ini?

Meski Daffin masih belum nyaman di perlakukan seperti itu, hati kecilnya tersenyum ada setitik kebahagiaan di sana.

Hingga terbesit satu hal dalam pikirannya, "Dad, kalo Daffin udah bisa bawa mobil, naik mobil aja kali ya?"

.
.
.
.
.
.

Di sinilah Daffin sekarang berada, yup ruang keluarga. Sungguh Daffin rasa masuk ruang BK lebih baik dari pada berada di ruangan tersebut bukan karena tidak ada sofa empuk yang ia duduki atau pun AC yang menjadi pendingin ruangan, namun karena semua pasang mata yang menatap dirinya tanpa berkedip.

Beberapa kali Daffin menelan ludahnya dengan kasar, Daffin rasa lebih baik mereka mengoceh panjang lebar dari pada mendiami dirinya dengan tatapan yang seolah terkunci pada Daffin.

Hingga suara tak tau diri yang berasal dari dalam perut terdengar memecah keheningan.

"Ayolah sampai kapan kalian akan mendiami bocah nakal ini," ujar Carel. Yah pemuda satu itu memang sudah mulai merasa jengah, dia memang mengerti jika keluarga tersebut lebih banyak bertindak dari pada berbicara tapi bukan diam saja sembari menatap yang paling muda selama hampir dua puluh menit.

"Sebaiknya kau pulang saja bukankah sepeda motor mu sudah ada," sahut Sean.

"Hei brother, remember, sebelum pulang alangkah baiknya jika kita makan terlebih dahulu," kemudian Carel berjalan mendekati Daffin, "Lihatlah adik manis ini ketakutan karena kalian terus menatapnya."

DaffinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang