part 13

19 2 0
                                    

Nathan POV

Aku membuka mataku dan melirik jam di dinding. Ternyata sudah pagi. Jam 6 pagi.

"Huekk!! Huekk!!" aku teringat Amanda. Benar. Dia sudah tidak di sampingku. Sepertinya dia muntah muntah lagi.

Aku turun dari ranjang dan berjalan menyusulnya ke kamar mandi.

"Huekk!! Huekk!!! Arghh!!" benar. Dia muntah di westafel.

"Amanda?" aku berjalan ke arahnya dan meremas kedua pundaknya.

"Gimana masih rasa mual?" aku mencoba bertanya.

"Huekk!! Iya.. Huekk!!" sepertinya dia menderita dengan ini.

Aku menariknya dan memeluknya.

"Maafkan saya. Sudah menyusahkan kamu dengan mengandung anak saya." dia juga membalas pelukan ku.

"Nggak mual lagi." dia mengangkat wajahnya dan menatap ke arahku.

"Ohh. Jadi anak Papa mau dekat dekat sama Papa?" dia semakin mengeratkan pelukannya.

"Anda pakai parfum apa?" Amanda bertanya di sela pelukan kami.

"Kenapa? Suka?"

"Iya."

"Ada di atas nakas. Nanti saya beli lagi buat kamu."

"Nggak. Saya mau yang ini."

"Yaudah. Sekarang kita ambil parfumnya." dia melepaskan pelukannya dan berjalan kembali ke kamar.

"Ini. Kalau dirumah. Panggilnya kamu saja. Tidak usah pakai Anda atau Pak. Saya suami kamu. Bukan dosen kamu." aku menggenggam tangannya.

"Iya." dia kembali duduk di ranjang.

"Kamu mau makan apa? Biar saya pesan." aku meraih ponselku di atas nakas.

"Pitzza."

"Saja?"

"Iya."

"Yasudah. Sambil tunggu pelayan bawa kesini, Kamu mandi, biar susunya saya yang siapkan."

"Saya pakai baju apa?" dia balik bertanya.

"Lemari sebelah kanan semua barang didalam punya kamu. Sebelah kiri punya saya. Ada perlu apa apa, panggil saya saya di luar."

Amanda POV

Aku mengambil rok biru tua dengan blouse putih polos. Setelah mengganti pakaian, aku menempelkan bedak tipis dan liptint di wajahku sedangkan rambut, aku mengikat kuncir kuda.

Aku mangambil ponselku dan berjalan keluar kamar.

"Bagus kamu sudah selesai. Sini makan." Nathan, dia sudah menunggu di meja makan. Aku masih belum habis pikir bahwa kemarin aku sudah berstatus istri orang.

"Amanda?"

"Iya." aku duduk di sebelahnya.

"Ini pesanan kamu, sama ini susu hamil kamu. Diminum." aku mengambil sepotong pitza dan memakannya kemudian meminum susunya.

Bangsat! Susu ini membuatku merasa mual.

"Saya nggak bisa habiskan. Saya mau muntah. Sumpah nggak bisa." aku berlari ke westafel dan mengeluarkan semua isi perutku disana.

"Huekkk!! Huekk! Ohok ohok!!" aku memegang perutku.

"Amanda.." Nathan berlari mengikutiku.

"Udah.. Jangan muntah lagi.. Nggak usah di minum susunya.

Dia membawa ku kedalam dekapannya.

"Nggak. Aku harus minum."

"Tadi katanya nggak mau. Nggak apa kalau kamu nggak bisa minum. Nanti saya belikan merk lain."

"Nggak mau. Harus minum." aku memaksakan diri dan berjalan ke meja makan.

"Nggak usah di paksa Amanda. Mungkin dia nggak suka susu itu. Makanya kamu muntah." Nathan meraih susu itu dariku.

"Nggak. Saya bisa. Tapi."

"Tapi apa?"

Aku masih terdiam. Tidak mungkin aku bilang ke dia bahwa aku harus peluk dia baru boleh minum susunya.
Entah mengapa, aku merasa nyaman saat memeluk dia. Bahkan itu menghilangkan rasa mualku.

"Oh. Saya tau. Sini." dia memelukku dengan sebelah tangannya dan sebelahnya memegang gelas susu.

"Sekarang minum. Pelan pelan saja." benar. Aku mencoba minum lagi. Dan sampai habis, aku tidak merasa mual.

"Kamu bisa rasakan bukan? Anak saya tidak ingin jauh jauh dari saya."

"Iya..  Sana mandi. Bau asem!" aku mendorongnya.

"Yee.. Tadi aja peluk. Tungguin. Kita berangkat sama sama." dia masuk ke kamar.

"Dasar."

Aku membuka ponselku. Ada pesan dari Meyra juga Karin.

Meyra
Van. Kamu dimana.

Karin
Aku sama Mey dirumah kamu nih.

"Mampus! Aku harus kasih alasan apa coba? Mana semalam mereka ke rumah lagi." aku berdiri di jendela dan menatap keluar.

"Mikir Van.. Kamu kasih alasan apa ke Mey sama Karin."

Bingung, aku terus berjalan mondar mandir. Sudah tak tau mau kasih jawaban apa ke mereka.

"Amanda.." suara berat Nathan membuatku kaget.

"Iya.." aku masuk menyusulnya ke kamar.

"Baju mana yang cocok sama saya?" dia memegang dua kemeja putih.

"Yang kiri mungkin."

"Mungkin?" dia balik bertanya.

"Iyaaa. Bisa lebih cepat? Telat nih."

"Tenang saja. Pagi ini kan saya yang ngajar. Muka kamu kenapa kusut kayak begitu?" dia memakai kemejanya dan bertanya.

"Saya ini sebenarnya bingung mau kasih jawaban apa atas pertanyaan Karin dan Meyra."

"Mereka tanya apa?"

"Semalam mereka kerumah. Saya nggak ada. Makanya mereka nanya. Kamu dimana."

"Bilang aja kamu di apartemen kamu." dia masih fokus menyisir rambutnya.

"Kalau mereka minta kesini?"

"Ajak aja. Semua foto saya nanti bisa saya urus. Foto nikah sama buku nikah juga. Sudah. Ayo jalan."

Author POV

Nathan dan Amanda berjalan sama sama masuk kelas.

"Pagi Class!!"

"Pagi Pak."

"Pak, kok bisa barengan sama Vandah?" tanya Prilly melirik tajam Vandah.

"Oh. Saya sudah bilang. Amanda ini tetangga saya. Pas saya ketemu di jalan makanya saya ajak berangkat sama sama. Duduk Amanda." jelas Nathan.

Vandah berjalan ke mejanya dan duduk. Sedari tadi Army menatapnya dalam.

"Van. Kamu semalam ke mana?" Karin bertanya.

"Kamu lupa? Semalam reuni SMA." tambah Army.

"Aku lupa. Semalam aku di apartemen." Vandah berbohong.

"Amanda, Karin, Army. Kalian bicarakan apa?" tegur Nathan dari depan.

"Nggak Pak. Biasa." jawab Karin.

"Kamu udah nyetir sendiri ke apartemen?" tanya Meyra.

"Nggak. Taksi."

"Pak! Udah nikah kemaren yah?" tanya salah seorang mahasiswi.

Pertanyaan itu membuat Vandah kaget setengah mati.

"Siapa yang bertanya?" Nathan menghentikan kegiatan menulis di papan.

"Tasya Pak......."

"Iya. Saya sudah menikah. Fokus ke depan, dan jangan bicara sebelum saya memberi perintah. Dan jangan bertanya tentang sesuatu yang bukan mengenai pelajaran."

"Iya Pak."

Bukan TakdirkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang