Author POV
Bukannya membawa Vandah ke rumah sakit, Nathan justru membawanya ke rumah yang baru saja ia beli.
Membuka pintu mobil dan menggendongnya ke dalam rumah mewah itu.
"Sebenarnya dia ini kenapa? Hah.. Sudahlah Nathan. Jangan pedulikan kondisi pembunuh ini. Biarkan saja dia mati."
"Eh. Jangan. Masih ada anakku di dalam kandungannya. Dia harus tetap hidup bersama anak ini sampai dia lahir." Nathan terus bermonolog.
"Glenn.. Glenn.." dia memanggil Glenn.
"Nih kuncinya. Sudah ada dua security di depan, dan satu asisten rumah tangga di dalam. Bini lu cakep juga. Masih muda lagi."
"Minggir lu. Perut sudah sebesar ini masih mau di gebet?" kesal Nathan
"Bercandaa. Baru jam tujuh sudah tidur aja."
"Bukan tidur. Dia pingsan"
"Apa? Lu apain anak orang?"
"Aku mencengkram tangannya terlalu keras. Mungkin efek terlalu banyak menangis." Nathan mengangkat bahu acuh.
"Kasihan Than. Masa itu sudah berlalu. Sekarang dia lagi ham. Itupun anak lu. Masa lu tega terus nyiksa dia?"
"Nggak bisa. Aku cuma tunggu anak ini lahir. Setelahnya pembunuh ini akan aku tinggalkan. Pastinya dia akan menderita selama dia hamil. Aku akan mencetak kenangan buruk dalam otaknya.
"Bagaimana dengan orang tuanya?"
"Mereka nggak bakal tau kalau aku kurung dia disini. Dia juga tidak bawa handphone."
"Awas, dia berat juga ini." Nathan masuk ke dalam rumah itu dan membawa Vandah ke kamar di lantai dua.
Nathan POV
Aku sengaja menempatkan dia di kamar lantai dua agar dia tidak bisa kabur dari sini.
"Tidak akan aku izinkan kamu pergi dari sini sebelum anakku lahir, pembunuh!"
"Aku tidak peduli dia sakit atau tidak. Mungkin dia cuma pura pura pingsan. Sebentar lagi juga pasti dia bangun." aku keluar kamar itu dan mengunci pintunya.
"Mbak. Apa mbak pembantu disini?" tanyaku saat melihat seorang wanita yang menyapu lantai.
"Iya Pak,"
"Oh oke. Saya pemilik rumah ini. Si lantai dua, kamar pertama, ada istri saya di dalam. Bawakan dia makanan setiap hari, dan nanti belikan susu hamil untuk dia. Usia kandungannya tujuh hampir masuk delapan bulan. Pakai kartu ini untuk belanja keperluan disini." Aku memberikan satu credit card dari dalam dompetku.
"Baik Pak."
"Ingat, jangan sampai dia kabur."
"Iya Pak."
"Kalau ada apa apa, langsung hubungi saya. Ini kartu nama saya. Dia berteriak apapun, jangan buka pintunya. Sarapan pagi harus siap jam 5 supaya jangan dia kabur. Biarkan susunya dingin saja saya tidak peduli. Makan siang jam 12 siang. Snack sore jam 3 dan makan malam jam 7. Bila perlu makanannya di campur obat tidur supaya jangan dia kabur. Ini kuncinya." aku merasa tidak rela dia pergi.
Aku kembali ke mobilku dan melaju meninggalkan halaman rumah itu dengan perasaan dongkol.
Amanda POV
Kepalaku terasa pusing, aku mencoba membuka mata dan menyesuaikan dengan cahaya sekitar.
Ruangan ini berbeda. Ini bukan ranjang di rumahnya Nathan. Aku melihat sekeliling. Benar, ini bukan rumahnya Nathan. Ini dimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Takdirku
ChickLitSelalu di sakiti dan yang paling terasakiti oleh takdir~ Amanda