Author POV
Pagi pagi sekali Vandah membuka matanya. Dadanya masih sedikit nyeri dan rasa laparnya yang membangunkannya.
"Siapa yang memindahkanku ke tempat tidur? Apa semalam Nathan masuk ke sini?" dia tak sengaja melirik ke nakas di samping tempat tidur ada makanan disana.
Dia bangkit dari posisi berbaringnya dan melihat makanan itu.
"Yang ini seperti makanan dari semalam. Nasi goreng dan susu ini masih hangat. Sepertinya ada yang baru saja masuk."
Dengan lahap, ia menghabiskan makanan itu.
Sementara itu, Nasya masih kepikiran dengan Vandah yang entah di bawa Nathan kemana.
"Aku nggak bisa biarin ini. Kak Nathan keterlaluan. Istri lagi hamil, nggak tau di buang kemana. Aku harus menelfon Army. Siapa tau dia Karin dan Meyra bisa membantu aku mencari keberadaan Vandah."
Army yang masih tidur, terbangun dengan nada dering ponselnya.
"Hoaamm.. Siapa sih yang telfon sepagi ini?"
"Nasya? Ada apa yah?"
"Hallo?"
"Hallo Army, maaf ganggu se pagi ini. Aku mau minta tolong sama kamu. Bisakan?"
"Nggak papa. Minta tolong apa?"
"Kemarin malam, Kak Nathan marah besar. Aku juga nggak tau masalah apa. Habis itu dia membawa Vandah pergi. Dan dia pulang tanpa membawa Vandah kembali."
"Apa? Vandah juga seperti menghilang sejak kemarin. Aku, Karin dan Meyra juga sudah berulang kali menelfon, tapi nomornya tidak aktif."
"Iya. Karena itu aku minta kamu dan teman teman kamu tolong cari Vandah yah. Kasihan dia."
Army memutuskan sambungan dan mengirim pesan tersebut ke Karin dan Meyra.
Sementara itu, Nelly yang bangun untuk menyiapkan sarapan, kaget dengan Nathan yang duduk melamun di samping kolam renang.
"Ada apa anak ini bangun sepagi ini?"
"Sayang? Kamu kenapa duduk sendiri disini?" tanya Nelly saat berjalan menghampiri Nathan.
"Oh nggak Mah. Nathan kebetulan duluan bangun, nggak bisa tidur lagi dan milih keluar duduk disini. Mama juga ngapain bangun jam segini?"
"Bi Sumi itu lagi sakit. Jadi pulang kampung. Mama deh yang masak sarapan."
"Gitu yah. Oh iya Mah. Nathan lupa bilang ke Mama. Beberapa minggu kedepan, Nathan ada pekerjaan di Brunei. Jadi Nathan harus nyusul Papa kesana."
"Kapan berangkat sayang?"
"Dua hari lagi Mah."
"Kalau begitu dua hari tersisa, kamu harus sering di rumah sama Maudy, kamu kan perginya akan lama."
"Iya Mah. Nathan akan istirahat kerja dua hari ini."
"Bagus kalau begitu. Eh, tapi Mama mau tanya soal Amanda. Sebenarnya dia itu ada di mana? Dan dia pingsan itu kenapa? Dan dia selalu pengang dada kirinya. Ada apa?" pertanyaan Nelly beruntun.
"Nathan malas bahas soal itu Mah. Mama tenang aja. Dia di tempat yang aman sekarang. Dan sakitnya itu mungkin hanya karena kebanyakan menangis jadi dia pingsan seperti itu."
"Lalu bagaimana dengan anak yang dia kandung. Kamu ambil, atau dia bawa nanti. Soalnya kan Maudy juga lagi hamil. Nggak rugi juga kalau anaknya Amanda, dia sendiri yang bawa. Lagian, Mama juga nggak suka sama dia. Nggak sopan sama orang tua."
"Nathan nggak tau harus gimana Mah. Itu biar jadi urusan nanti. Nathan sayang sama anak itu makanya Nathan bawa Amanda tinggal disini."
"Terserah kamu saja Than. Tapi jangan salahkan Mama kalau Mama lebih sayang sama anak kamu dan Maudy nanti." Nelly beranjak meninggalkan Nathan yang hanya membisu.
"Anak yang aku nanti selama ini, aku biarkan pergi? Nggak bisa."
Amanda POV
Aku hanya bisa duduk di jendela dan menatap keluar. Entah dimana ini. Rumah yang sangat besar. Di pos satpam, ada dua orang yang berjaga jaga disana. Pekarangan rumah ini sangat luas.
"Kalau aku berteriakpun mungkin tetangga nggak bakal dengar." aku bermonolog.
"Mengapa Nathan tega mengurung aku disini? Dia pikir aku ini apa? Aku nggak tahan kalau disini terus. Tapi bagaimana aku bisa keluar? Tanah di bawah juga jauh sekali. Kalau aku lompat mungkin aku mati di bawah."
"Aku harus apa. Ya Tuhan. Tolong bantu aku."
"Belakangan ini mengapa dada kiri ku sering terasa sakit."
Saat memegang dadaku, aku merasa bayiku menendang.
"Sayang, kamu yang kuat yah? Mama disini sebenarnya merasa tersiksa. Tapi Mama kuat karena kamu masih bersama Mama. Mama janji, kita akan pergi jauh setelah kamu lahir nanti. Jangan mikirin Papa kamu yah, pria bajingan itu tidak ada hak atas kamu."
"Aku kangen kalian Rin, Mey." aku sangat merindukan kedua sahabatku itu.
Tiga hari berlalu, Nathan tak menampakan diri di rumah ini. Mobilnya pun tidak pernah masuk halaman rumah ini.
Aku merasa seperti tahanan di dalam sel. Memang tidak ada gangguan apapun. Tapi, aku tak bisa keluar dari rumah ini.
Author POV
Boy yang baru saja tiba di rumah, heran melihat raut wajah istrinya yang murung.
"Tidak biasanya Nasya seperti ini. Apa terjadi sesuatu?" batin Boy bertanya.
"Sayang? Kamu kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Boy ke Nasya.
"Boy, Kak Nathan bawa Vandah pergi. Dan sekarang Kak Nathan pergi ke Brunei dan kita semua nggak tau Vandah dimana. Aku ini nggak tenang terus mikirin Vandah. Kasihan dia." jelas Nasya dengan sedih.
"Apa? Kakak kamu se tega itu?"
"Iya. Titik permasalahannya juga kita nggak tau. Aku curiga ini gara Maudy. Pasti dia bilang yang nggak nggak ke Kak Nathan."
"Ah. Kamu ini. Kita nggak boleh asal nuduh orang." tegur Boy.
"Iya juga."
"Kamu sudah berusaha cari tau dimana Vandah?"
"Aku sudah minta tolong ke teman temannya. Tapi belum ada yang menemukan di mana Vandah sekarang."
"Ehh.. Boy, udah sampai?" Nelly menghampiri mereka.
"Iya Mah." jawab Boy dengan senyumnya.
"Nay, suaminya baru pulang bukannya di antar masuk, malah bengong di situ."
"Iya Mah. Ayo sayang. Istirahat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Takdirku
ChickLitSelalu di sakiti dan yang paling terasakiti oleh takdir~ Amanda