part 25

29 1 0
                                    

Author POV

Minggu minggu berlalu, kepulangan Nathan dari luar negeri di sambut riang oleh keluarganya kecuali Nasya adiknya.

"Sayang, kangen sama kamu." Maudy berhambur ke pelukan Nathan.

"Aku juga." jawab Nathan balik memeluk Maudy.

"Wah, Mama senang sekali melihat kalian seperti ini. Mudah mudahan kalian berdua akan terus bersama." kata Nelly dengan perasaan yang sangat senang.

"Basi." ketus Nasya.

"Sayang. Kamu nggak boleh gitu." tegur Boy.

"Kamu ini kenapa sih Nay. Kamu nggak suka sama Maudy? Maudy ini kakak ipar kamu." tegur Nelly.

"Mah. Ini bukan masalah suka nggak suka yah. Mama seharusnya mikir. Amanda juga kakak ipar aku. Dan dia juga menantu Mama. Mama nggak adil." kesal Nasya.

"Oh Tuhan. Aku hampir melupakan Amanda. Bagaimana kabar dia?" batin Nathan bertanya.

"Semuanya, aku mau keluar sebentar." Nathan pamit.

"Than, kamu mau kemana?" tanya Maudy meraih tangan Nathan.

"Iya Than. Kamu itu harusnya istirahat." tambah Nelly.

"Nggak papa. Nathan ada keperluan sebentar." Nathan buru buru keluar dan melajukan mobilnya pergi.

Saat itu juga, Nasya mengotak atik ponselnya dan mengirim pesan singkat ke seseorang.

Dengan kecepatan tinggi, Nathan dengan mobilnya melaju ke rumah dimana Amanda di kurung.

Memarkirkan mobil sembarang tempat dan keluar dari sana lalu berlari masuk rumah besar itu.

"Hilda!!" dia memanggil manggil Hilda, pembantu di rumah itu.

"Iya Pak.?" Hilda datang dari dapur.

"Bagaimana kondisi istri saya? Dia baik baik saja kan?" tanya Nathan panik.

"Oh. Tenang saja pak. Saya kerjakan pekerjaan saya sama seperti perintah Pak Nathan. Bu Amanda baik baik saja. Sekarang dia sedang tidur." jawab Hilda.

"Mana kunci kamarnya. Saya ingin melihat dia." Nathan meraih kunci yang di berikan Hilda dan langsung naik ke lantai dua.

"Huh. Seharusnya kalau aku bilang begitu, dapat bonus kek. Majikan pelit." kesal Hilda dan kembali ke dapur.

Nathan POV

Pelahan aku memutar kunci dan membuka pintu kamar itu. Berusaha agar tak menimbulkan bunyi.

Ternyata benar kata Hilda. Dia masih tertidur pulas di tempat tidurnya.

"Kasihan dia." aku melihat lingkatan hitam di bawah matanya.

"Eh. Seharusnya aku tidak boleh kasihan dengan dia." aku menepis rasa iba ku dengan mengingat tentang siapa pembunuh Kezia.

"Kezia. Aku kangen sama kamu." aku duduk di kursi dan memandangi Amanda yang masih tertidur. Perutnya sudah besar sekali. Ini sudah hampir sembilan bulan usia kandungannya.

"Kalau anak ini perempuan, aku namai dia Kezia Nathania Alexander. Dan kalau laki laki, Kenzie Alexander."

"Sebaiknya aku keluar. Kalau tidak, dia bangun nanti dan memaksa untuk keluar dari sini. Genap sembilan bulan nanti aku akan bawa kamu keluar dari sini." Aku berjalan keluar dan mengunci pintu.

Amanda POV

Aku membuka mataku karena merasa perutku begitu nyeri. Aku bangun dari tempat tidur dan bergerak untuk mandi.

"Aduh. Mengapa badanku terasa sakit semua? Sial! Benar benar sakit. Dan perutku juga terasa mau pecah." aku melirik ke jam dinding. Jam tiga sore.

"Ah.. Sakit sekali." aku memegang perutku dan juga pinggangku.
Semuanya sakit.

Aku bergegas mandi karena marasa gerah.

Selesai mandi, aku memakai setelanku dan duduk menyisir rambut.

"Ah. Mengapa sakit sekali."

Author POV

Sepeninggalan Nathan yang kembali ke rumah utama, Hilda keluar berjalan menghampiri dua orang satpam di posnya.

"Heh Pak. Kalian tolong jaga Bu Amanda di dalam. Saya mau ke pasar sebentar." kata Hilda.

"Berapa lama Mbak?" tanya satu dari mereka.

"Nggak lama. 30 menitan lah. Saya kan naik ojek. Nggak ada stok makanan untuk nanti malam. Ingat. Jangan sampai dia kabur. Awas kalian." Hilda berjalan pergi.

"Enak aja dia suruh suruh. Yang punya tugas jaga Ibu kan dia. Masa kita yang harus jaga." kesal mereka berdua.

Sementara itu. Tiga pasang bola mata yang melihat itu tidak tinggal diam.

"Lu berdua turun, dan ajak ngobrol. Biar gue manjat cari kamarnya si Vandah." ujar Army.

"Oke. Awas sampai gagal lu Ar. Nih kita berdua ampe pakai baju kek orang mau olah raga gini. Bentar. Apa tujuannya lu nyuruh kita pakai pakaian sexy begini?" tanya Meyra.

"Nggak sexy sexy amat. Itu kan biasa lu berdua pakai kalau di rumah." jawab Army enteng.

"Enak aja. Lah emang di rumah siapa yang liat? Nih malah satpam itu yamg liat pakaian kita." kesal Karin.

"Benar. Pasti mereka bakal naksir sama lu berdua. Itu kan gampang gue masuk ke dalam nantinya. Kan mereka berdua fokus sama lu pada." jawab Army terkikik.

"Awas lu kalau lu gagal bawa Vandah keluar." ancam Meyra.

"Pasti berhasil. Tenang aja. Buru turun."

Meyra dan karin turun dan berjalan menghampiri kedua satpam itu, sedangkan Army memanjat pagar di bagian samping.

"Pak. Kita bisa numpang duduk nggak," tanya Karin.

"Oh boleh Neng. Neng berdua ini dari mana?" tanya mereka.

"Kita.. Eh.. Ini, kita baru ajah selesai lari sore. Kita capek, makanya numpang duduk." jawab Meyra.

Karin dan Meyra melihat Army yang sudah ada di atas pagar menertawakan mereka.

"Kebangatan Si Army. Awas aja." kesal Meyra.

"Apa neng?" tanya salah satu satpam.

"Oh nggak Pak. Nama bapak berdua siapa?"

"Saya Jerry. Dan teman saya Ojak."

"Oh.."

"Iya Neng. Jangan panggil Pak. Kita ini masih muda loh. Panggil Abang aja."

Di dalam hati, Karin dan Meyra hanya mengumpat.

Sementara itu, Army mengecek beberapa kamar di lantai dua tapi tak ada Vandah di dalam. Dia berpindah ke satu kamar tersisa.

"Van.. Vandah."

"Siapa?"

"Aku..  Army."

Vandah membuka jendela dan Army masuk ke dalam.

"Kamu disini? Hampir dua bulan kita cariin kamu." Army khawatir dan menggenggam tangan Vandah.

"Ar. Hikss. Hikss, a..  Aku di kurung sama Nathan disini. Aku nggak tau gimana cara ke luar dari sini. Dan saat aku bangun tadi, perutku benar benar nyeri." Vandah duduk di ranjang dan memegang perutnya.

"Kita akan keluar dari sini."

"Bagaimana? Di luar sana ada satpam. Mereka selalu berjaga Ar." jawab Vandah putus asa.

"Tenang aja. Sudah ada Karin dan Meyra di bawah."

Bukan TakdirkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang