Author POV
Vandah hanya menggeleng geleng kepala melihat kedua sahabatnya yang sedang mengalihkan perhatian kedua satpam itu.
"Dan pembantu rumah ini tadi lagi ke pasar." kata Army.
"Bagaimana kalian bisa tau aku di sini?" tanya Vandah bingung.
"Sudah sebulan aku Karin dan Meyra nyusun rencana sama Nasya. Selama ini Pak Nathan pergi ke luar negeri. Kita tunggu sampai dia datang dan ikutin dia kemari." jelas Army.
"Makasih bangat kalian mau nolong aku."
"Iya. Sama sama... Astagaa. Aku lupa bawa dongkrak di mobil buat buka pintunya." Army menepuk jidatnya.
"Hah? Lalu gimana?"
"Bentar.. Aku mikir dulu." Army terdiam sejenak dan memikirkan cara untuk keluar selain lewat pintu.
"Aku ragu sama ide yang ini." Army menatap Vandah.
"Apa?" Vandah bertanya.
Tak menjawab, Army berjalan ke arah lemari dan membukanya.
"Kamu cari apa Ar?" tanya Vandah heran.
"Seprai sama selimut. Tenang aja. Tapi sebenarnya aku ragu, kamu bisa apa nggak." jawab Army tanpa menghentikan aktivitasnya itu.
"Aku nggak peduli. Apapun aku akan lalui. Asal bisa keluar dari sini. Perut aku sudah sakit dari tadi."
"Apa? Kamu mau lahiran?" tanya Army kaget.
"Nggak. Minggu depan. Kenapa?"
"Aku pikir sekarang."
"Belum. Ayo buru.."
Menemukan beberapa kain, Army mengikatnya satu persatu dan akhirnya jadi seperti tali untuk turun ke bawah.
"Udah siap. Bentar, aku SMS Karin dulu."
"Untuk?" lagi lagi Vandah bertanya.
"Diam aja."
Sementara di bawah, Karin menerima pesan dari Army.
Army
"Lu berdua ngapain kek, supaya kedua satpam itu masuk ke dalam rumah. Biar gue sama Vandah nggak ketahuan nantinya."
"Wahh. Gila si Army." kesal, Akhirnya Karin keceplosan.
"Siapa Neng?" tanya Ojak.
"Eh. Teman saya suka gitu Bang. Heheh." Meyra mengalihkan.
"Oh..."
"Bang. Bisa minta air minum nggak. Kita haus nih." Kata Karin.
"Ohh. Boleh Neng. Masuk aja. Ambil di dalam." jawab Jerry.
"Ya elah Bang. Antarin kek. Kan kita nggak enak masuk rumah orang. Kan Rin?" jawab Meyra.
"Iya Bang. Antarin yah?"
"Oke Neng. Jak, lu tunggu di sini aja. Jagain." kata Jerry.
"Memangnya abang berdua jagain apa?" tanya Karin pura pura tak tau.
"Ini Neng, bos kita ngurung istrinya di dalam. Sebenarnya yang tugas jagain Bu Amanda itu bukan kita. Tapi Si Hilda. Sekarang kita yang jagain, dianya lagi keluar." Ojak menjelaskan
"Oh ya? Jadi di dalam Ibunya di kunci Bang?" pancing Meyra.
"Iya Neng."
"Nah kalau gitu lebih aman, jaga di dalam aja Bang. Ibu nya kan nggak mungkin keluar lewat jendela." Karin mencoba membujuk.
"Kita takut di marahin Neng." jawab Jerry.
"Iya. Saya juga." tambah Ojak.
"Yah.. Padahal kita berdua sih pengen nongkrong cerita cerita gitu, hmm, biar kenal lebih dekat aja sama abang berdua." Meyra merayu dengan pura pura mengambek.
"Ohh. Benar juga. Ayo Neng. Kita masuk. Nanti saya bikinin jus."
"Oke Bang." Meyra mencubit lengan Karin karena mulai kesal dengan Army.
"Heh. Apaan sih lu Mey. Sakit tau." kesal Karin.
"Gue jijik lama lama." Meyra mengacak rambutnya asal.
Melihat mereka semua sudah masuk ke dalam rumah, Army mengikat ujung kain itu di kaki ranjang dan menurunkan bagian lainnya ke luar jendela.
"Yakin bisa Van??" tanya Army ragu.
"Aku bisa Ar." jawab Vandah mantap.
"Yaudah. Kamu turun duluan. Aku pegangin dulu kainnya. Takut lepas nanti." Army menjelaskan.
"Oke."
Army memegang tangan Vandah dan keluar melalui jendela.
"Aku khawatir sama kamu Van.."
"Nggak Ar. Aku bisa."
"Hati hati. Kalau sudah di bawah, sembunyi dulu. Tunggu aku turun."
"Iya."
Perlahan Vandah memegang tali kain itu, perasaannya campur aduk. Antara takut jatuh dan ketahuan akan kabur, dan bahagia bisa keluar dari sekapan Nathan.
"Jangan lihat ke bawah Van. Liat ke atas. Jangan ke bawah. Turunnya pelan pelan aja." kata Army dari jendela.
"Hmm."
Rasa sakit di perutnya semakin menjadi, tapi dia masih berusaha untuk sampai di bawah.
"Dek, jangan mempersulit Mama nak. Sebentar lagi kita bebas dari sini." Vandah berbisik ke pada anak di dalam perutnya itu.
Berjuang melawan rasa takutnya itu, akhirnya dia sampai di bawah.
"Sttt.. Sttt.." Army memberikan isyarat untuk bersembunyi.
Vandah bersembunyi di balik pohon cemara di bawah kamarnya. Sementara itu Army menarik kembali kain yang di pakai turun oleh Vandah tadi dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur.
"Yang penting Vandah sudah di bawah, aku biar turun lewat pagar saja. Kainnya sudah aku simpan di bawah ranjang, jendela aku tutup." segera Army berjalan ke pagar dan melompat ke tanah.
"Van, ayo." Army melihat wajah Vandah yang berubah masam.
"Ar."
"Ya? Ayo buruan."
"Perut aku sakit. Ahh."
"Benarkah? Makanya ayo kita ke rumah sakit." Army meraih tangan Vandah dan mengajak segera pergi.
"Aku nggak kuat jalan lagi Ar. Ahh.. Sakit. Aduhh." Vandah merintih memegangi perutnya.
"Yaudah. Biar aku gendong."
Army menggendong Vandah dan berjalan buru buru ke mobil.
Masuk ke mobil, ia kembali mengirim pesan singkat ke Karin dan Meyra."Eh. Lu dapet pesan dari Army nggak?" tanya Meyra.
"Adaa. Lu juga?"
"Yoi. Ayo jalan." ajak Meyra.
"Bang. Minumnya nggak jadii." Karin meneriaki ke dua satpam yang masih di dapur.
"Tapi Neng. Ini udah jadi.."
"Nggak usah bang. Byee." secepat kilat mereka berlari keluar dan masuk ke dalam mobil Army.
"Karin pindah ke depan. Biar Meyra sama Vandah di belakang." pinta Army.
"Oke." jawab Karin yang langsung pindah tempat duduk.
"Kita langsung take rumah sakit." lata Army.
"Ngapain.?" tanya Meyra.
"Perut Vandah sakit peak." kesal Karin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Takdirku
ChickLitSelalu di sakiti dan yang paling terasakiti oleh takdir~ Amanda