Ketika kalian telah lelah menjelajah, ingat lah, di sini masih ada ruang kosong yang telah kalian lupakan. Ruang ini yang nantinya akan menampung segala lelah. Kembali, lalu genggam dia yang hampir menghilang karena patah.
@aksara_salara
#050321
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Reyhan tak bisa menjawab pertanyaan Azka itu saat ini, sehingga lelaki itu tetap bungkam. Sedangkan Azka sudah pasrah dan tidak mengeluarkan pertanyaan lagi. Ia yakin, sesuatu yang serius pasti baru saja terjadi.
Lalu Azka bangkit berdiri, meninggalkan kamar Reyhan. Langkah kakinya bergema membawa tubuhnya ke sebuah ruangan. Ini kamar ayahnya, yang sudah lama kosong. Azka masuk ke dalam, lalu menutup pintu dengan rapat.
Reyhan tidak mencegah, karena ia tahu kebiasaan adik kembarnya itu. Mereka itu satu jiwa, jadi apa yang Azka rasakan, Reyhan akan merasakannya juga. Saat ini, Reyhan hanya berusaha bagaimana caranya mencari pelampiasan untuk melupakan masalah tadi.
Pada akhirnya, kaki telanjang Reyhan berjalan tak tentu arah. Itu menuju ke arah kamar Juan yang masih tetap sama. Hening, seperti tidak ada pemiliknya. Reyhan berdiri di sana, lalu dengan ragu mengetuk pintu.
Reyhan hampir menyerah dan hendak pergi, sebelum pintu terbuka dari dalam. Sosok Juan yang kacau, menjadi pemandangan yang pertama kali Reyhan lihat. Menadadak, Reyhan kehilangan kata, saat bagaimana netra kelam itu memandang terkejut dirinya.
Netra kelam yang sedikit memerah itu masih belum pergi, seolah mengikat Reyhan untuk masuk ke dalamnya. Untuk sejenak, tatapan mereka bertemu, sebelum netra kelam itu yang memutusnya. Membuat Reyhan sedikit tersentak.
"Ju, Kakak mau bicara."
"Kalau Kakak ke sini hanya mau minta aku pergi, jawaban aku tetap sama. Aku nggak mau!" ucap Juan penuh dengan penekanan. Seolah memberitahu Reyhan, bahwa ia tidak akan goyah. Ia akan tetap di sini, bersama mereka, walau berulang kali mereka membuat dirinya patah.
"Kenapa? Kenapa lo harus capek-capek buat sakitin diri lo sendiri?"
"Aku nggak sakit. Aku udah biasa seperti ini. Asal aku masih bisa hidup sama kalian, aku nggak takut sama rasa sakit."
Kata-kata itu membuat Reyhan kehilangan kata. Secara tidak langsung, Juan mengatakan bahwa dirinya sudah mati rasa. Sudah terlalu terbiasa dengan yang namanya rasa sakit. Reyhan tahu apa yang Juan maksud, tapi dia tidak berharap pemuda itu akan mengatakannya dengan jelas.
"Tapi lo juga harus pikirin perasaan mbak Salwa. Dia selalu tertekan dengan keberadaan lo di sini. Ju, bukan demi gue atau pun Azka, tapi ini demi mbak Salwa."
"Kalau mbak Salwa merasa tertekan, lalu gimana aku?"
Tangan Reyhan terkepal di sisi tubuhnya. Emosi itu berusaha Reyhan tekan mati-matian. Ia benar-benar tidak mau menyakiti sosok di depannya ini. Setidak mau apa pun dia pada sosoknya, tetap saja, Reyhan tidak akan pernah bisa menyakiti Juan.
Gema suara mereka hilang tertelan keheningan. Hanya terdengar deru napas yang saling beradu di udara. Juan bersandar lemas diambang pintu, memandang Reyhan yang berusaha menghindar dari tatapannya.