Ketika kalian telah lelah menjelajah, ingat lah, di sini masih ada ruang kosong yang telah kalian lupakan. Ruang ini yang nantinya akan menampung segala lelah. Kembali, lalu genggam dia yang hampir menghilang karena patah.
@aksara_salara
#050321
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sean tahu kalau Juan itu sekeras batu, tapi Sean tak tahu bahwa Juan akan semakin keras kepala jika kemauannya sudah bulat seperti ini. Tidak ada seorang pun yang bisa membujuk pemuda itu. Mamanya sekali pun. Sean menyerah, membiarkan Juan tetap pada pilihannya.
Juan baru saja ke luar dari rumah sakit, namun pemuda itu sudah masuk kuliah dan kerja seperti biasanya. Ribuan ancaman sudah Sean lontarkan untuk Juan, tapi tak juga membuat keyakinan pemuda itu goyah. Sean menyerah, karena melihat tatapan memohon Juan, yang membuatnya goyah. Sean pikir, yang perlu dia lakukan hanyalah memantau, kalau-kalau kondisi Juan kembali menurun, maka ia sendiri yang akan menyeret pemuda itu ke rumah sakit nanti.
Pukul satu siang, saat matahari sedang berada di atas kepala, Sean yang memang pada dasarnya adalah manusia tidak sabaran lagi-lagi harus berusaha sabar melihat tingkah laku Juan. Begitu dia selesai kelas, dan hendak ke gedung fakultas Juan, Sean tidak menemukan sosok itu di sana. Kata teman-teman Juan, Juan sudah pergi sepuluh menit lalu dengan terburu-buru. Bisa Sean simpulkan, Juan berusaha menghindari dirinya.
Bibir tipis Sean terus bedecak, sembari berusaha menghubungi Juan. Sambungan teleponnya berdering, namun tidak ada jawaban. Sean semakin kesal, lalu pergi begitu saja. Dia akan menunggu Juan di rumah. Lalu menginterogasi pemuda itu habis-habisan.
Yang di khawatirkan justru kini sedang berdiri di halaman rumah besar milik seseorang. Bukan! Ini bukan rumahnya yang dulu, ini rumah Salwa. Juan berdiri di sana hampir sepuluh menit, tidak peduli dengan terik matahari yang membuat kepalanya kembali sakit.
Tadi, saat Juan sedang mencari tempat fotocopy disekitar kampus, irisnya tak sengaja menangkap sosok Salwa yang baru saja turun dari mobilnya. Juan mengikuti wanita itu pergi dan sampai lah di sini. Di rumah besar yang ternyata lokasinya tak jauh dari area kampus.
Sebenarnya Juan tak tahu ini rumah Bayu atau Salwa. Tapi siapa pun itu, Juan senang karena sekarang mengetahui di mana semua kakaknya tinggal. Setidaknya Juan tahu, di rumah ini, mereka semua aman. Salwa, Reyhan dan Azka bisa berlindung di rumah ini.
"Juan. Kenapa bisa di sini?"
Juan tersentak ketika gema suara seseorang terdengar dari belakang. Beberapa detik, Juan baru bereaksi dan menoleh ke belakang. Senyum langsung mengembang di bibir tipisnya, begitu melihat Reyhan berdiri menjulang di sana.
"Kak Reyhan?" Juan mendekat, dan langsung merengkuh Reyhan ke dalam pelukan. Kini Juan tidak peduli pada Reyhan yang membeku karena gerakannya yang tiba-tiba. Bahkan Juan sama sekali tidak peduli, bahwa pelukannya tidak mendapat balasan.
"Kak, Juan kangen. Kak Reyhan apa kabar?" tanya Juan tanpa melepas pelukannya. Reyhan mengerjap, melirik lengan yang melingkar di pinggangnya, kemudian Reyhan tersadar dan buru-buru mendorong tubuh itu untuk melepas pelukannya.
Bibir Reyhan gemetar begitu menatap wajah terkejut Juan. Kewarasan Reyhan pergi entah kemana saat irisnya beradu tatap dengan iris kelam milik adiknya. Yang Reyhan tangkap hanya kekosongan di sana. Semua Reyhan rekam dalam sekali lihat.