22; perpisahan

2.6K 336 26
                                    

Tak ada sebuah hal yang bersifat selamanya, semua hal akan datang, akan pergi, ketika takdir sudah memutuskan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak ada sebuah hal yang bersifat selamanya, semua hal akan datang, akan pergi, ketika takdir sudah memutuskan. Kepergian Juan sudah diatur hari ini, oleh Amira, tentunya dengan persetujuan mereka semua. Tidak ada lagi waktu yang harus ditunda, dan tidak perlu berpikir dua kali. Keberangkatan Juan terjadi siang nanti.

Keadaan pemuda itu kritis, sejak di mana ia terlelap dipelukan Salwa. Awalnya, semua orang bersiap melakukan sebuah perayaan kecil untuk menghantar pemuda itu. Namun apa boleh buat, justru si empu sedang terlelap dengan damai tanpa gangguan.

Semua orang cemas, tentu saja. Tetapi ada satu orang yang masih berusaha paling tegar. Seseorang yang sejak tadi mengatakan kata-kata penenang. Ia adalah Reyhan. Lelaki itu tak henti mengusap punggung tangan Salwa, hanya agar wanita itu sedikit tenang. Walaupun Bayu berbuat demikian, nyatanya, Salwa merasa lebih baik dengan adiknya.

Masih ada beberapa jam lagi sebelum kepergian Juan ke Jepang. Mereka berkumpul di depan ruangan. Bahkan Mama Sean juga di sana, duduk di samping sang putra yang diam tak tenang. Reyhan melihat orang-orang satu per satu, lalu melirik jam yang melingkar di tangan.

Lelaki itu lantas berdiri, menarik sebagian perhatian orang-orang. Semua menatap Reyhan bersamaan. "Saya mau pergi sebentar. Nanti saya langsung menyusul ke Bandara aja." katanya. Tanpa menunggu orang-orang melayangkan tanya, Reyhan berlalu begitu saja. Bahkan mengabaikan panggilan Salwa dan Azka.

Tujuan Reyhan hanya satu. Makam Ayah, Bunda, dan Ibunya Juan. Lelaki itu sudah berdiri di antara gundukan tanah yang berdampingan. Menatap batu nisan yang mulai memudar. Menguatkan diri akan rindu yang menguar kala membaca sederet nama Bunda.

"Bun, hari ini Juan bakal operasi. Doakan dia, ya, Bun?" Kemudian ia beralih menatap makam Ibunya Juan. "Tante, tolong jaga Juan di sana. Saya sudah memaafkan Tante sejak lama. Tolong maafkan saya juga. Saya janji, janji akan jaga Juan sebaik-sebaiknya. Tante ... tolong jangan ambil Juan dulu."

Selama hidupnya, Ibunya Juan tidak pernah bersikap buruk padanya atau Salwa dan Azka. Wanita itu lembut, bersikap selayaknya seorang ibu bagi mereka. Namun hati seorang tidak pernah bisa berbohong, bagaimana pun, kehadiran Ibunya Juan menyebabkan kepergian Bunda. Hanya saja, saat ini Reyhan sudah mengerti. Seandainya takdir ini tak pernah terjadi, mungkin, saat ini, ia tidak akan pernah mengenal Juan.

Reyhan mengucap terimakasih kepada Ibunya Juan, karena telah melahirkan anak sehebat dia. Serta meminta maaf karena telah membiarkan Juan terluka.

Cukup lama Reyhan berada di sana, sampai matahari tepat berada di atas kepala. Saat itu, ponselnya sudah berdering sejak tadi. Reyhan melirik jam, masih ada waktu setengah jam lagi sebelum keberangkatan Juan.

"Reyhan pergi dulu. Reyhan janji akan datang ke sini lagi, bawa Juan."

Perlahan, ia mulai melangkah pergi dari sana. Walau ada sesuatu yang seolah menahan, Reyhan tetap menguatkan diri untuk pergi. Sesuatu itu adalah rindu, rindu yang tak pernah berkesudahan.

|✔| Ruang Kosong Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang