Asta Vimsati

1.5K 183 95
                                    

Nyatanya dunia bukanlah tempatku

Tanah dimana aku berpijak hanya berisi duri

Bunda...biarkan aku pulang

Kali ini, aku akan kembali dengan membawa satu keranjang penuh dengan bunga untukmu


🌻🌻🌻🌻🌻🦌🦌🦌🦌🦌


Haechan memejamkan matanya menahan gejolak sesak di dalam dada, kini dalam pelukan Mark Haechan menumpahkan segalanya. Di tengah keheningan malam yang menyapa, ketika Mark membuka pintu kamar yang ditempati oleh Haechan, lelaki itu langsung berhambur ke dalam pelukan Mark dengan erat.

"Gue nggak kuat Kak, nggak kuat...sakit rasanya.." ucap Haechan dengan suara isakannya. Mark mengusap kepala Haechan penuh sayang,

"Ssst..udah Chan, nggak papa gue ada disini. Kita bisa balik kalo lo mau," ucap Mark. Belum ada balasan, Haechan masih sibuk menangisi hidupnya sendiri.

"Mau cerita?" tanya Mark ketika Haechan sudah mulai reda tangisnya, ia melonggarkan pelukan, kemudian menatap Haechan dengan mata penuh kasih sayangnya.

"Ayah...sebenernya apa yang dia mau dari gue. Kurang baik apa? Kurang apa gue sebagai anak? Gimana caranya bikin Ayah sayang sama gue? Kenapa harus Kak Doyoung terus? Kenapa?" pembahasan topik keluarganya adalah kelemahan Haechan, Mark tak ingin memaksa anak itu untuk terus bercerita jika sudah menyangkut keluarganya. Lantas Mark mencoba untuk merengkuh tubuh mungil itu, namun ditepis oleh Haechan dengan kasar.

"Gue udah capek ngemis sayang dari orang kayak Ayah gue, tapi kenapa gue nggak bisa benci sama dia? Kenapa?!" tubuh Haechan beringsut mundur hingga menabrak tembok, tangannya kembali menjambak surai miliknya, air mata terus membasahi pipi, layaknya sungai yang mengalir deras tiada henti.

Mark lupa membawa obat penenang, dia datang ke Korea dengan tangan kosong. Bodoh sekali dirinya berharap jika Haechan baik-baik saja jika sendirian disini.

"Chan, tunggu disini. Jangan kemana-mana dan jangan lakuin apapun buat nyakitin diri lo, ngerti?" tanpa menunggu jawaban dari Haechan, Mark langsung keluar dari kamar, Haechan menyewa sebuah rumah untuk ditinggalinya selama dia disini.

Mark harus mendapatkan obat penenang sekarang juga sebelum Haechan bertindak lebih jauh.

Haechan masih berusaha untuk menenangkan dirinya, rasa sakit itu semakin menjadi, memenuhi rongga dada hingga membuat nyeri sekujur tubuhnya. Tidak bisa...ia tidak bisa menoleransi rasa sakitnya.

"Ini yang lo mau kan bajingan! Gue benci sama lo gue benci!" Haechan memukul dindin di sampingnya berkali-kali, melempar berbagai barang yang bisa dia temukan. Tak peduli dengan tangannya yang berlumuran darah, Haechan mengusap wajahnya, sesekali mencoba untuk mencekik dirinya sendiri.

Penyakitnya kambuh, depresinya kembali hanya dalam sekejap. Mimpi buruknya kembali, menghancurkan tameng pertahanan terakhir Haechan.

Tangan Haechan bergerak kasar membuka pintu, badannya bergetar hebat, namun ia masih bisa berlari keluar tanpa sandal atau sepatu yang membalut kakinya.

"Sakit.." kata-kata itu terus keluar dari bibir Haechan, bagaikan sebuah mantra yang mampu membuat Haechan semakin kehilangan akal sehatnya.

Kakinya menuntun kearah sebuah jembatan diatas jalan raya dengan banyak kendaraan berlalu-lalang dibawahnya.

"Sakit...Renjun..." ditengah kegelisahannya, nama sang sahabat terlintas di kepala Haechan, lelaki mungil itu, yang menjadi sahabatnya sedari kecil.

Dengan tangan bergetar dan penuh darahnya, Haechan mengambil ponsel yang ada di saku belakang celana jeans-nya, menelfon nomor Renjun.

BENTALA (LEE DONGHYUCK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang