08 || Rumah nomor 8

10 2 0
                                    


Kebiasaan kecil yang baik akan menghasilkan kualiatas jiwa yang baik pula.

『••✎••』

Aleeya mengerang di sela-sela tidurnya, ia mengubah posisi dan mengerjap pelan. Memastikan pendengarannya.

Perlahan ia beringsut duduk, matanya memandang was-was ke sekeliling kamar yang terang. Sekali lagi memastikan apakah racauan lirih itu benar atau hanya halusinasinya.

Bola matanya menggulir melihat jam dinding hitam di tengah ruangan.

Jam 2 pagi.

Tak ingin semakin takut, Aleeya berniat kembali berbaring. Namun tiba-tiba ia tersentak dan refleks menegang. Tangannya mencekram selimut takut. Matanya ia pejamkan dengan mulut komat-kamit membaca doa.

"Enggak ... bukan gue ... bukan."

Aleeya meneguk ludahnya susah payah. Matanya ia buka dan perlahan menyapu melihat kamar yang di dominasi putih tulang. Namun, kali ini hanya senyap dan detak jarum jam yang ia dengar.

"Bukan gue ... jangan pergi, Na!"

"Huaa!" pekik Aleeya dengan mata melebar. Racauan itu semakin jelas dan sekarang terus berulang-ulang dengan kalimat yang hampir serupa.

Tolong, segarang-garangnya Aleeya, ia masih takut setan.

"Dia, Na ... bukan gue ...."

Aleeya mengernyit heran. Mencerna lebih teliti suara itu. Racauan lirih serak itu terasa familiar di telinganya. Ia meneguk ludah.

Itu suara kakaknya.

Dan tadi apa? Na? Itu penggalan nama seseorang atau apa?

Ia harus memastikannya.

Setelah menguatkan tekad, Aleeya menyikap selimut dan beranjak turun. Dengan perlahan ia keluar kamar dan berhenti di depan pintu kamar Jere yang berseberangan dengan kamar miliknya.

Tangannya terangkat siap mengetuk pintu, tapi terhenti karena egonya melarang. Kepalan tangannya menurun dan jatuh di samping tubuhnya.

"Ck, ngapain sih?! Ngigo doang kali," ucapnya meyakinkan diri.

Aleeya melengos, merasa sikapnya berlebihan. Kenapa harus peduli gini sih?

Memang, dua hari setelah pertengkaran itu, Aleeya dan Jere perang dingin. Ia dan Jere tak mengobrol seperti biasa, bahkan tak bertegur sapa. Ah, lebih tepatnya Aleeya yang menghindar karena tak ingin berdekatan dengan sang kakak.

Ia yang biasanya berangkat sekolah bersama Jere, harus bangun lebih pagi untuk berangkat sendiri. Ketika malam pun, ia mendekam di kamar untuk menghindari kakaknya. Walau Jere terus-terusan membujuknya untuk makan bersama.

Sebenernya Aleeya cukup tak tega membiarkan Jere masak dan makan sendirian setelah pulang bekerja. Namun ego tingginya tak ingin memaafkan secepat itu.

Padahal Jere sudah menyogoknya dengan mie ayam dan susu vanilla, tetap saja Aleeya malu untuk memakannya yang berarti ia telah memaafkan sang kakak.

Aleeya malu, karena setelah dipikir-pikir dirinya sensi sekali kemarin. Berbicara dengan nada tinggi sampai Jere terdiam kaku. Pasti ucapannya menyakiti hati beliau.

Namun, perdebatan kemarin tuh memang salahnya Jere. Dia yang tiba-tiba membahas soal mereka, padahal dari dulu Aleeya sangat tidak suka jika orang tua mereka mendadak dibicarakan.

Aleeya berdecak, "Bodo ah."

Aleeya berbalik dan melangkah pelan menuju pintu kamarnya. Lagi pula suara ngingaunya pun sudah menghilang, mungkin Jere sudah kembali terlelap. Tangannya memutar kenop sampai—

B E T W E E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang