BERPISAH

8.9K 1.8K 66
                                    


Akhirnya setelah semua beres, Orion kembali terbang. Aku juga tidak bisa mencegah karena itu memang profesi Orion. Hanya saja setelah hampir 4 bulan lebih dia berada di rumah, aku jadi sedikit merasa tidak rela kalau harus ditinggal. Apalagi sekarang sejak adanya Nindi, kami seperti keluarga kecil yang bahagia. Untung saja Nindi mau beradaptasi di lingkungan barunya. Mau memanggilku Mama, walaupun memanggil Orion tetap Ayah. Dia juga anak yang sangat baik. Orion sendiri sudah membeli rumah untuk kami, jadi kami memang hidup bertiga lepas dari Mama Papa dan Ayah Bunda. Aku jadi merasa sangat bahagia akhir-akhir ini.

"Nggak boleh nangis ah, nanti jelek."

"Biarin."

Orion tersenyum saat mendengar balasan jawabanku. Dia lalu mengecup keningku. "Aku kan pergi untuk kembali. Pergi untuk bekerja bukannya main-main, Dek."

Ucapannya memang sudah sering aku dengar, tiap kali kita membahas ini aku selalu mendengar itu. Aku juga nggak mau menghalanginya, bagaimanapun juga dari awal kan memang itu profesi Orion. Aku tidak berhak merengek kepadanya. Hanya saja tetap belum meski waktunya sudah tiba.

"Iya tahu."

Orion tersenyum lalu merengkuhku kembali ke dalam pelukannya. Membisikkan sesuatu yang membuatku tenang. Lalu dia melepaskan pelukannya, mencium bibirku sekali dan berpamitan. Kami berpisah di ambang pintu rumah, dan aku mengucapkan doa agar dia selamat di manapun berada. Bismilah.

******

"Mah, Ayah kapan pulang."

Nindi yang sore ini sedang menggelendot manja di atas sofa kepadaku membuat aku mengecup pipinya yang gembil itu.

"Ehmmm 1 bulan atau 2 bulan lagi deh. Tapi kita bisa video call sama Ayah nanti. Nindi mau kan?"

Bocah cilik itu menganggukkan kepala dan menyurukkan wajahnya di lenganku. Sejak kami adopsi, Nindi memang sudah jarang menanyakan Ibu nya, meski awal-awalnya dia masih rewel, tapi kemudian dia mudah melupakan saat aku memberikan pengertian kepadanya. Saat itulah suara ketukan di pintu membuatku mengernyitkan kening. Ini sudah malam, siapakah yang bertamu?

Aku menyuruh Nindi untuk menunggu di sofa saat aku beranjak bangun dan kini melangkah ke arah ruang tamu. Aku membuka pintu dengan perlahan dan mendapati Ibu, Ayah, serta Mama Papa sudah ada di sana. Mataku membelalak melihat mereka berkumpul semua.

"Jingga... " Mama langsung memelukku, sedangkan semuanya menyuruh kami masuk ke dalam rumah. Tentu saja aku bingung dengan ini semua. Ada apa?

"Kamu udah dapat kabar dari Orion belum?"

Pertanyaan Mama membuatku mengernyitkan kening, kuanggukan kepala.

"Udah, tadi baru beberapa menit ngabarin kalau pesawatnya baru aja terbang. Memangnya ada apa?"

Mama langsung menundukkan kepala, Bunda malah sudah menangis dan kini dipeluk oleh Ayah. Sedangkan Papa kini yang baru saja masuk ke dalam, menggendong Nindi. Lalu duduk di sebelahku. Nindi sudah nampak mengantuk di pelukan Papa.

"Pesawat yang dikendarai Orion, baru saja hilang sinyal. Kami ditelepon pihak bandara."

Sebelum aku bisa mencerna semuanya, kegelapan sudah memelukku erat. Tapi saat itu aku sudah berdiri karena saking terkejutnya, dan rasa sakit menghantam tubuhku. Aku terkapar di lantai ruang tamu.

******

Rasa nyeri menyadarkanku. Tapi bau obat yang begitu menyengat indera penciumanku membuat aku tersadar kalau aku tidak ada di rumah. Saat mata ini terbuka dan bisa dengan jelas menatap sekeliling ruangan, Mama dan Papa sudah ada di sebelahku. Aku berbaring di ranjang rumah sakit. Apa yang terjadi?

"Jingga. "

"Sayang."

Mama langsung mengusap keningku dan matanya sembab karena menangis. Aku masih terlalu bingung untuk mencerna semuanya. Orion, pesawat dan yang lainnya.

"Ma, Jingga kenapa?"

Mama memelukku erat "Kamu kenapa enggak bilang kalau hamil?" Pertanyaan itu membuat aku menatap Mama. Papa juga sudah berada di sisiku dan mengusap kepalaku.

"Hamil? Jingga?"

Saat aku mengatakan hal itu Mama dan Papa saling bertatapan.

"Iya, kamu. Enggak tahu?"

Papa kini yang memperjelas pernyataan Mama, tentu saja kugelengkan kepala lagi. "Bentar, Papa cari dokter dulu."

Saat Papa keluar dari ruangan, aku langsung bertanya kepada Mama.

"Jingga hamil?"

Mama menganggukkan kepala tapi raut wajahnya terlihat begitu sedih. "Tadi saat kamu jatuh pingsan, kami semua terkejut, karena kamu juga mengalami pendarahan, dan itu ternyata..."

Belum selesai ucapan Mama, dokter dan Papa masuk ke dalam kamar. Aku diperiksa, lalu dokter mengatakan aku harus menjalani operasi kiret, karena bayi yang ada dalam kandunganku sudah tidak bisa tertolong lagi. Runtuh sudah duniaku, aku hamil tapi sudah tidak bisa merasakan, lalu suamiku... Saat persiapan operasi, aku bertanya kepada Mama bagaimana Orion. Tapi Mama dan Papa hanya mengatakan semua akan baik-baik saja karena semua beritanya masih belum jelas. Tentu saja aku merasa shock, tapi aku memang harus menjalani ini semua. Aku tetap berdoa untuk keselamatan Orion.

'Sayang, kamu janji akan pulang kan?'

*******

happy reading.... 

Assalamualaikum Mas PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang