BAB 10 ANTARA DIA DAN KAMU

10K 2.3K 150
                                    


Bukan benci jadi rindu. Atau apakah itu yang aku rasakan saat ini? Aku tidak mau seperti ftv di televisi, awalnya benci tapi akhirnya cinta. Tapi apakah memang aku begitu? Astaga.

"Ngga, kamu ngapain sih?"
Aku menoleh ke arah Tasya, sepupuku yang berjarak 2 tahun di bawahku ini menatapku dengan bingung. Dia anaknya Om Redi, kakaknya Mama. Aku memang sering mampir ke rumah Om Redi setiap minggu, kangen sama Tasya yang bisa aku ajak kemana-mana kalau aku sedang suntuk seperti saat ini. Kebetulan Tasya juga ada di rumah, sehingga rencananya hari ini memang mau ke mall gitu, melepas penat. Aku sedang berjalan mondar-mandir di dalam kamar Tasya sedangkan dia kini baru saja selesai memakai baju.

"Sya, kalau cowok udah ngelamar kita itu apa serius?"

Mata bulat Tasya membulat, dia kini malah melangkah ke arahku dan langsung berdiri di depanku persis. 

"Kamu udah dilamar?"

 Nah kan, aku tanya apa dia tanya apa. Tasya ini memang suka kepo begitu. Aku kini duduk di tepi kasur dan menatap Tasya yang ikut duduk di sebelahku.

"Udah, tapi bukan pria yang buat aku jatuh cinta sih. Yang buat aku jatuh cinta malah belum maju-maju. Katanya masih nyesuaiin jadwal biar bisa ke rumahku. Ah pusing."

Aku mengacak rambutku sendiri karena memang sedikit bingung dengan sikap Randu. Dia selalu beralasan jadwalnya padat, sehingga belum bisa ke rumah untuk melamarku.

"Lah terus yang ngelamar kamu siapa?"

Gadis berambut panjang sebahu itu kini mengerjap ke arahku. Aku menggelengkan kepala dan bingung harus menjawab apa. Aku juga tidak tahu dia siapa. Pria yang sudah membuat jantungku berdegup lebih kencang walau hanya mendengar suaranya. Pria yang sudah membuat tidurku tak nyenyak karena ucapannya terakhir kali meneleponku. Pria yang tiap aku memejamkan mata, selalu hadir dengan wajahnya yang dingin itu. Pria yang kini jauh dariku.

"Ah kamu tuh, tinggal jawab iya gitu. Apalagi kalau yang ngelamar kita udah serius, udah ke Mama Papa, udah kan beres."

Ucapan Tasya membuatku kini menatapnya "Enggak sesimpel itu Sya, ada yang udah dijodohin sama aku, terus aku tuh udah nyaman ama dia. Udah jatuh cinta."

Tasya kini malah memukulkan spon bedak yang baru saja diambilnya dari meja rias ke pipiku.

"Jatuh cinta kok masih bimbang, namanya jatuh cinta itu ya kamu nggak bakalan tergoda. Lah ini, kamu masih bimbang, berarti kamu memang belum yakin. Masih bisa digoda sama yang melamar kamu. Kalau aku sih milih yang udah pasti aja. Orang udah ngelamar kita itu berarti dia udah siap mau menerima kita apa adanya. Catat."
****** 

Lelah akhirnya menderaku. Seharian menghabiskan waktu belanja dengan Tasya membuat pikiranku sedikit teralih. Tapi begitu sampai di rumah, aku terkejut saat mendapati Om Danu dan Tante Ila sudah ada di ruang keluarga. Mama dan Papa memberi isyarat kepadaku untuk ikut bergabung di sana. 

"Baru pulang ya Jingga?"

Pertanyaan Tante Ila membuat aku menganggukkan kepala dengan sopan. "Iya Tante. Ini kok pada kumpul di sini lagi rapat apa nih?"

Aku mencoba menenangkan diriku sendiri dengan pertanyaan itu. Mama malah tersenyum mendengar pertanyaanku. Beliau kini menepuk bahuku karena aku memang duduk di sebelah Mama. 

"Jingga, Mama mau minta maaf sudah lupa dengan semuanya. Nah malam ini Om Danu sama Tante Ila, melamar resmi kamu ke Mama dan Papa."

Deg

Mataku melebar mendengar ucapan Mama. Aku menatap Mama, kemudian Papa yang ikut menganggukkan kepala, dan Tante Ila yang tersenyum ramah dan Om Danu yang selalu kalem tapi aku tahu beliau juga mengiyakan. Di ruangan bernuansa biru ini, aku dibuat terkejut dengan informasi dari Mama.

"Tapi Ma, Randu..."

Aku berbisik di telinga Mama. Beliau langsung menganggukkan kepala lagi. 

"Masalah perjodohan kamu dengan keluarganya Nak Randu juga  sudah clear. Tadi sore, Randu ke sini sendiri dan mengatakan dia memilih untuk mundur karena belum siap untuk berkeluarga."

Aku makin dibuat pusing, kenapa Randu tidak bilang kepadaku sendiri? Kenapa harus ke Mama dan Papa? Rasanya aku ingin menangis sekeras-kerasnya saat ini. Kenapa selama ini aku harus bingung dalam menentukan, nyatanya aku yang di sini berjuang sendiri. Randu tidak menganggapnya serius. 

Mama tahu perubahan mimik wajahku, aku kalau menahan tangis pasti wajahku akan memerah. Beliau langsung mengenggam jemariku.

"Jingga, terima yang sudah serius sama kamu. Orion."

"Jingga, maaf kalau kesannya ini pemaksaan." Itu bukan suara Mama, tapi Tante Ila. Aku langsung mengalihkan tatapan ke arah Tante Ila.  "Tapi, Orion sudah serius sama kamu sejak dulu. Bahkan bertahun-tahun ini dia sudah membangun rumah yang akan ditempati setelah menikah dengan kamu. Tante saja bingung karena dia belum sedikitpun berbicara sama kamu, anak itu memang." 

Tante Ila tersenyum lagi tapi kemudian menatapku lekat "Orion cinta sama kamu, Jingga."

Aku tidak bisa berpikir untuk saat ini. Kenapa urusannya sampai ke para tetua begini? Sedangkan Orion dan Randu tidak ada yang meminta kejelasan langsung kepadaku.

******* 

Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih, tidur telentang di atas kasur berseprai warna biru. Tapi aku harus menanyakan semuanya kepada Randu terlebih dahulu. Sejak tadi telepon Randu tidak aktif, padahal setelah lamaran resmi keluarga Orion, aku hanya bisa menganggukkan kepala. Yang membuat semuanya tersenyum bahagia, meski aku menangis. Bukan menangisi pertunangan ini, tapi menangis karena pria yang aku cintai malah bertindak begitu pengecut kepadaku. 

Suara dering ponsel membuat aku menoleh, semoga ini Randu. Aku mengambil ponsel yang tergeletak begitu saja di sampingku. Tapi bukan Randu yang meneleponku. Ini Orion. 3 hari yang lalu pria itu sudah membuatku tidak bisa tidur karena ucapannya, mau apalagi dia?

"Halo..."

Kutempelkan ponsel di telinga. 

"Assalamualaikum Jingga."

Aku terhenyak dengan salamnya dan merasa malu karena sudah menjawab dengan ketus.

"Waalaikumsalam, Orion."

"Lagi apa?"

Pertanyaan itu membuat aku kini beranjak bangun dari kasur, lalu duduk bersila dan memeluk bantal. "Lagi bingung, karena lamaran resmi dari kamu."

Ada jeda beberapa detik sebelum aku mendengar "Makasih, sudah menerima."
Aku bisa apa? Aku hanya diam dan tidak menjawab. Toh memang benar kata Mama, pilihlah yang serius. Dan dalam kasus ini, yang serius kepadaku memang Orion. Pria yang sudah membuat aku bimbang. 

"Kamu buat aku seperti orang yang bersalah selama ini. Karena lamaranmu, karena suratmu, dan karena kata-kata kamu, aku merasa berselingkuh dari Randu. Kamu jahat, kamu jahat..."

Tanpa terasa air mataku menitik. Entah ini rasa kesal kepada Randu, atau rasa kecewaku ataukah aku patah hati. Entah. Tangisku makin lama makin tergugu, dan aku biarkan saja Orion mendengar suara tangis ini.

"Maaf. Dan salat malam, Jingga. Biar kamu tenang. Di sini aku hanya bisa berdoa, agar kita tetap berjodoh sampai aku pulang. Jaga hatimu untukku."

Dan makin teriksalah tangisku. 

BERSAMBUNG

Ah kenapa selalu meleleh dengan Orion sih? 

Assalamualaikum Mas PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang