Tutup buku soal tetangga depan rumah. Ngomong ngawur, bahkan menghilang juga cling kayak ditelan bumi. Setelah ajakan nikahnya itu dia nggak kelihatan lagi. Kemarin sih, pas ketemu Tante Ila di depan rumah katanya si Orion udah terbang lagi. Dasar.
Bukan... aku bukan baper apalagi mengharapkan dia menikahi ku. Mana sudi aku menikah sama kulkas dua pintu kayak dia. Bisa hipotermia aku. Nah sudah satu minggu lebih akhirnya kehidupanku kembali normal. Tidak dibayang-bayangi lagi oleh es balok itu. Hubunganku dengan Randu semakin manis, kayak gula.
Tapi aku sedih, karena dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Sama saja kami hanya berkomunikasi lewat ponsel. Dan hari ini aku ikut Bang Angga survey ke Yogya. Mau ada cabang Di kota Pelajar itu dan suruh Papa aku yang memegang. Tapi aku masih belum percaya diri, biar Bang Angga saja yang menangani.
Baru saja tiba di hotel dan selesai membersihkan diri saat mendapat telepon dari Bang Angga. Dia memang sudah bertemu dengan Pak Wawan, orang yang akan menunjukkan lokasi yang besoknya akan kami dirikan kantor cabang di sini. Sedangkan aku memilih untuk tidur sebentar sebenarnya."Dek, turun ke resto di lantai satu ya. Makan dulu, nanti Mama marah-marah kamu telat makan. Abang masih ketemu sama Pak Wawan."
"Tadi pas turun dari pesawat juga udah makan burger. Sekarang Jingga mau bobok."
"Udah Abang pesenin, Dek. Udah. Turun dulu, makan dan kamu bisa lanjut tidur."
Sebenarnya Abangku ini 11 12 sama Papa kalau soal perintah memerintah. Tidak bisa dibantah. Akhirnya aku hanya memakai kardigan di balik kaos oblong ku. Aku memang sudah berganti kaos untuk istirahat sebentar di dalam kamar. Sore nanti baru nemenin Bang Angga survey tempatnya.
Aku segera menarik sandal hotel yang masih dalam kantung plastik dan segera memakainya. Melangkah ke luar dari kamar lalu menuju lift yang akan mengantarkanku ke resto.
Sampai di restoran, aku sudah dibawa ke meja yang memang sudah dipesan Bang Angga. Dia memang kakak yang sangat baik dan perhatian. Rentang jarak usia kami yang sangat jauh, membuat aku merasa Bang Angga itu Papa kedua untukku.
Akhirnya aku memakan menu yang dipesankan. Menikmati kopi panas juga yang langsung membuat mataku tidak merasa kantuk lagi. Lelah memang mendera ku karena tadi pagi sekali kami sudah harus berangkat. Padahal semalam aku tidur larut malam, karena Randu mengajakku chatting selepas dia pulang kerja jam 12 malam. Alhasil sekarang aku memang mengantuk.
Ku edarkan pandangan ke resto yang bertema industrialis ini. Aku suka konsep seperti ini, saat itulah aku terkejut melihat siapa yang ada di meja seberangku. Dia sepertinya juga sama terkejutnya denganku. Aku langsung mengalihkan tatapan ku ke arah lain. Malas harus bertemu dengan dia lagi.
Tapi mau menghindar bagaimanapun juga, si manusia es itu sudah berdiri di depan meja ku.
"Boleh duduk?"
Tumben dia nanya? Kasetnya udah nggak rusak lagi?
Aku hanya menganggukkan kepala dengan kaku. Memilih untuk mengaduk-aduk kopi di cangkir. Rasanya kok malas banget untuk...
"Sendiri?"
Pertanyaan lagi. Akhirnya aku menatapnya yang membuat aku merasa kesal. Orion mengenakan kacamata hitam. Dia sakit mata atau gimana sih? Ini tuh siang hari nan panas begini. Apa jangan-jangan dia alergi cahaya? Woah vampir atau Dracula dong? Getok kepalaku yang memang absurd ini.
"Sama Bang Angga, survey kantor."
Dia menganggukkan kepala dan kini menyesap coklat hangat yang dibawanya dari mejanya tadi. Nah kalau Orion di sini berarti dia?
"Kamu sedang tugas di sini?"
Orion menganggukkan kepala. Dia mendongak dan menatapku. Tapi entahlah itu mata dibalik kacamata menatapku jelas atau enggak. Yang pasti aku sudah lebih bersyukur karena dia memperhatikanku.
"Baru saja tiba. Hotel ini tempat aku menginap."
Aku menatapnya dengan penasaran.
"Menerbangkan pesawat dari Jakarta?"
Dia menganggukkan kepala lagi. Aku membelalakkan mata. Bukankah aku juga naik pesawat di perusahaan maskapai tempat Orion bekerja? Jangan-jangan...
"Terbang tadi jam 7?"
Orion menganggukkan kepala lagi. Eh berarti dia... Kok aku tadi nggak fokus ya nama pilotnya pas sang pilot memperkenalkan diri. Haish. Aku masih mengantuk pasti tadi.
"Aku tadi naik pesawat kamu berarti. Aku dan Bang Angga baru saja tiba juga."
Aku melihat kening Orion sedikit mengernyit tapi kemudian dia menganggukkan kepala lagi. Ah aku nggak nyaman ngomong sama orang berkacamata hitam.
"Kamu sakit mata?"
Dia menggelengkan kepala.
"Lha terus kenapa? Apa kamu alergi matahari kayak vampir?'
Astaga mulutku.
Orion kembali menggelengkan kepala." Lha terus itu kacamata kenapa masih nangkring?"
Orion kini malah mengusap tengkuknya. Dia tampak salah tingkah. Lalu dia fokus lagi ke arahku.
"Kamu belum jawab pertanyaan ku. "
"Hah?"
Ini anak. Ckckckck. Aku tanya apa dia malah tanya balik. Kapan dia bertanya sama aku coba? Dalam mimpi kali.
"Nikah sama aku."
Wait... Wait. Kayaknya itu bukan pertanyaan karena tidak ada tanda tanya juga, nada juga datar. Jadi bagaimana aku berasumsi dia bertanya.
"Tuan Orion yang terhormat. Saya tidak mengerti kenapa itu sebuah pertanyaan. Lagipula, kita tidak saling kenal. Hanya sebatas tetangga depan rumah yang tidak pernah bertegur sapa dan bahkan anda sepertinya benci sama saya. Jadi atas alasan apa anda melamar saya?"
Akhirnya kukatakan itu dengan lugas dan tegas. Orion tampak tidak suka dengan jawabanku. Hanya saja kemudian dia mengulas senyumnya. Tipis, dan sebentar.
"Karena, aku yang siap jadi Imam kamu. Bukan Randu."
******
Kesal. Iya. Aku memang langsung pergi dari depan Orion saat dia mengatakan hal itu. Jangan harap dia akan mempengaruhi ku tentang Randu. Hatiku sudah mantap dengan Randu, apalagi dia itu sahabat Orion. Kok dia tega malah mau rebut aku dari Randu.
Tidur adalah cara yang ampuh untuk melupakan kekesalan ku. Sore hari aku baru terbangun, mandi dan membawa novel yang aku beli kemarin untuk aku baca. Ada balkon di kamarku yang tampaknya sangat asyik. Menunggu kabar dari Bang Angga, akhirnya kuputuskan untuk keluar ke balkon. Hotel ini mempunyai kamar yang saling berhadapan. Sehingga balkon kamar di seberang kamarku juga terlihat jelas. Aku kini duduk di kursi yang tersedia dan mulai membaca novel ku.
Tuk
Sesuatu mengenai kakiku dan saat aku mendongak, astaga. Kenapa si es ada di seberang kamarku?
Dia berdiri di sana dengan wajahnya yang masih saja datar. Kali ini tidak memakai kacamata hitamnya itu. Dan matanya menatapku dengan intens yang membuat aku merasa jengah."Bisa nggak sih... Nggak usah ganggu," ucapku ketus. Orion hanya mengangkat bahunya. Tapi kemudian dia melempar kacang kulit lagi ke arahku. Ini anak rese.
"Orion."
Dia hanya menatapku lagi. Lalu bibirnya mengatakan sesuatu.
"Nikah sama aku."
Tapi tanpa suara, hanya saja aku bisa melihat dengan jelas pergerakan bibirnya. Peduli setan. Aku segera beranjak masuk ke dalam kamar dan menutup pintu balkon. Ah... Hidupku kembali tidak tenang.Bersambung
Bang Orion dulu yee
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Mas Pilot
RomantizmDikejar deadline nikah. Itulah yang aku rasakan, Mama selalu mengatakan ingin segera punya cucu, padahal aku masih asyik melajang. Tentu saja, di usiaku yang sudah menginjak 25 tahun, harusnya masih senang berkarir dan ingin mengembangkan passion la...