"Saya Randu..."
Aku menatap pria yang baru saja duduk di depanku. Kemeja warna putih dengan motif garis-garis biru yang melekat di tubuhnya itu makin membuat sosoknya terlihat ramping. Sungguh, aku tidak berkedip dan mendongak karena saking tingginya sosoknya. Dia masih saja berdiri meski aku sudah mempersilakannya duduk di depanku.
"Saya Jingga... " Akhirnya aku mengatakan hal yang sama meski nama kami berbeda. Duh, aku kok jadi gugup begini. Dari sekian acara perjodohan, atau katakanlah pria yang diajukan Mama sebagai calon suamiku, Randu ini sosok yang pas semuanya. Pas parasnya yang seperti bintang Korea masa kini. Hidung mancung, mata tajam kayak elang, bibir tipis dan kulit semulus batu pualam. Kata Mama juga, dia sudah mapan, dokter umum di sebuah rumah sakit ternama juga di kota ini. Kata Mama lagi, dia juga sedang mencari seorang istri, nah pas kan buat aku. Meski aku juga sebenarnya masih malas-malasan dalam mencari suami. Hanya saja, Mama yang sudah menargetkan ku untuk menikah sebelum usia 26 tahun 6 bulan lagi, membuat aku makin panik. Kalau belum menikah juga, Mama akan segera menikahkan aku dengan siapapun lelaki pilihan mama.
"Silakan duduk."
Akhirnya aku menunjuk kursi di depanku, yang membuat Randu menganggukkan kepala dan tersenyum. Dia menatapku dengan canggung, dan sepertinya aku juga sama canggung nya. Jantungku sudah berdegup kencang tak karuan.
"Jingga kerja di...?"
Dia menanyakan itu saat aku memanggil pramusaji cafe untuk memesan makanan. Otomatis aku langsung menatap Randu dan tersenyum dengan manis."Ehm punya perusahaan kecil di bidang iklan gitu Mas... Eh boleh panggil Mas ya? Atau Dokter Randu?"
Ucapanku yang panjang membuat Randu tersenyum dan MashaAllah, giginya yang gingsul terlihat dan makin membuat manis wajahnya. Habis pulang sampai rumah aku akan menciumi Mama, karena memberikan calon yang benar-benar membuat hatiku bergetar.
"Mas lebih akrab," Jawabnya sambil menuliskan menu di kertas menu yang disodorkan pramusaji tadi. Aku sendiri memilih untuk memesan strawberry float dan pancake karena aku baru saja makan sebelum ke sini.
"Ok Mas Randu. Jadi ehmmm.. " Aku melirik sekilas ke arah pramusaji yang mulai menjauh dari meja kami. Malu kalau ucapanku terdengar oleh orang lain.
"Mas udah tahu kan kita bertemu untuk?"Randu kembali tersenyum dengan manis, kali ini dia membenarkan kancing lengan kemejanya yang panjang itu. Membukanya lalu menggulung lengan itu sampai ke siku. Memamerkan lengannya yang kokoh dan putih itu. Ehmm kontras memang kokoh sama putih.
"Saya memang mencari seorang istri, kalau Jingga juga berarti kita sama. Satu server."
Ucapannya membuat jantungku berdegup kencang, kayak ada manis-manisnya gitu deh ini cowok kalau ngomong. Duh Emak, help me.
Pesanan kami datang, dan aku melihatnya hanya memesan air putih dan salad sayur. Wow.
"Diet?"
Pertanyaanku membuatnya menatapku "Ini makanan sehat saya. Besok kamu juga perlu mengatur pola makan kamu. Pancake dan float itu terlalu berat. Biasakan makan-makanan sehat seperti ini."
Duh. Iya deh. Randu seorang dokter, dan pastinya dia tahu mana yang sehat dan enggak. Tapi kan nggak harus juga ngatur ya? Eh aku terlalu sensitif kayaknya. Kembali lagi ke laptop ya. Dia kembali tersenyum dengan manis. Ah meleleh sudah hati ini.
"Saya suka sama kamu, Jingga."
*****
"Aaahhh Maaaaa.... Makasih yaa.."
"Paaa ini anaknya kenapa deh? Kesambet?"
Aku langsung menatap Mama yang kini malah terkekeh karena berhasil menggodaku. Aku sudah memeluk Mama dan menciumi pipinya. Sedangkan Papaku malah sibuk membaca koran.
"Ma, Dokter Randu tuh cakep banget. Putih, baik ah Jingga mau mau mau."
"Hust... Anak perawan ngebet amat."
Aku memberengut mendengar ucapan Mama. Kini aku berpindah ke Papa yang sudah menatapku dan meletakkan koran di atas meja.
"Loh, biasanya kamu nggak suka ama pria yang diajukan Mama?"
Kali ini aku mengerlingkan mata ke arah Mama. "Suka yang ini. Mama is the best pokoknya. Love muach muach. Ma anakmu ini kawin."
Dan teriakanku itu langsung terkena timpukan bantal duduk. Duh kejem deh Mama. Suara bel pintu depan membuat Mama menatapku lagi yang sedang mengusap-usap hidungku.
"Coba bukain pintu sana."
"Lah kok aku? Ada Pasha tuh yang lagi di teras. Ngobrol ama Wisnu kok."
Mama kini malah menatapku galak "Kalau ada Pasha, itu kenapa bel berbunyi? Udah sana buruan bukain."
Akhirnya aku beranjak berdiri dan melangkah ke ruang tamu. Lalu segera membuka pintunya.
"Assalamualaikum. Ada kue dari Bunda."
"Owh... Waalaikumsalam."
Aku menjawab dan menerima kue yang ada di dalam dus snack itu.
"Wah kue apa nih? Tante Ila pinter banget. Makasih ya Mas.... "Dan pria di depanku hanya menganggukkan kepala bahkan tidak melihatku. Dia malam menatap arah belakangku.
"Ya udah aku pamit."
Sebelum aku sempat menjawab, dia sudah berbalik dan pergi meninggalkan teras depan. Ih songong. Aku kesal, lalu kututup pintu itu dengan keras. Biarin.
"Jinggaaaaa itu pintu bisa rusak."
Mama sudah berteriak dari arah dalam. Aku bergegas membawa kue ke tempat Mama dan Papa di ruang keluarga. Meletakkan kue itu ke atas meja.
"Kue dari Tante Ila. Eh, Ma itu anaknya yang nggak pernah keliatan itu baru pulang apa gimana?"
Aku kembali duduk di sebelah Mama. Tapi beliau malah kini sudah membuka kue itu dan menganggukkan kepala.
"Eh, Pa sini deh kuenya Ila enak loh."
Papa langsung menatap kue itu dan tersenyum. "Minta satu." Dan mereka malah makin mengabaikanku.
"Maaaaaa... "
Mama menoleh ke arahku.
"Iya. Si Orion kan? Udah. Kamu kok gangguin ini kuenya enak loh."
"Kuenya enak, Tante Ila baik, tapi anaknya tetangga depan rumah itu kayaknya nggak suka ama Jingga. Jutek banget, songong lagi. Mending nggak usah ketemu. Biar dia di langit terus."
Aku mengatakan itu sambil melangkah ke dalam kamar. Aku bisa mendengar Mama dan Papa bercakap-cakap lagi.
"Tuh Pa, anak kamu galak banget kayak Papa."
"Loh yang galak itu kamu loh Ma. Aku sabar dari dulu sama kamu."
"Ih siapa yang bilang?"
"Abyan yang ganteng ini."
Tuh kan mereka berdua tuh bikin anak ceweknya ini mupeng. Aku segera menghempaskan tubuhku ke atas kasur. Ah mending bayangin Dokter Randu saja. Si ganteng calon imam.
Bersambung
Yuhuuu ini ceritanya anaknya Biru dan Aby ya si Jingga ramein ramein
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Mas Pilot
RomanceDikejar deadline nikah. Itulah yang aku rasakan, Mama selalu mengatakan ingin segera punya cucu, padahal aku masih asyik melajang. Tentu saja, di usiaku yang sudah menginjak 25 tahun, harusnya masih senang berkarir dan ingin mengembangkan passion la...