🍁 33 | Membuka Diri 🍁

26 16 28
                                    

      "SEPERTI apa yang dikatakan oleh Bapak dan Ibu, saya sangat senang saat mengetahui jika kondisi Nay telah berangsur membaik. Itu artinya, obat yang dikonsumsinya sudah mulai menampakkan reaksi positif. Akan tetapi, apakah Naysilla menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam fase pengobatan?" tanya Dokter Rena dengan tatapan seriusnya.

Hana menoleh ke arah sang suami yang juga tengah menatap ke arahnya. Tak lama, tatapannya kembali pada sosok dokter di hadapannya. Ia pun menjawab, "Tidak, Dok. Semua obat yang dokter berikan, saya campurkan ke dalam makanan dan minuman Naysilla. Jadi, dia belum tahu dan belum menyadari bahwa selama seminggu ke belakang ini dirinya mengonsumsi obat-obatan."

Hasan mendekap tubuh istrinya dari samping. Ia mengedipkan kedua matanya beberapa kali, guna menghilangkan air mata yang berada di pelupuknya. "Apakah tindakan kami sudah benar, Dok?"

Dokter Rena berpikir sejenak. Ada decakan kecil yang tercipta dari bibirnya. "Ada baiknya jika Naysilla mulai mengetahui kondisinya untuk memudahkan usaha melakukan psikoterapinya. Nanti, saya akan konsultasi ke salah seorang teman saya yang merupakan psikoterapis andal. Beliau akan ikut andil dalam upaya penyembuhan Naysilla."

"Tetapi, kami takut, Dok," sanggah Hana, "kami takut seandainya Nay mengetahui kondisinya sekarang, kondisinya akan semakin parah saja."

Dokter Rena tersenyum. "Naysilla akan baik-baik saja, Bu. Emh ... di mana Naysilla sekarang?"

"Di halaman belakang, Dok," jawab Hasan cepat.

"Sendirian?" Dokter Rena kembali bertanya.

"Tidak. Dia bersama temannya--Silva."

Hening tercipta di antara mereka bertiga. Dokter Rena tampak sedang berpikir cukup lama. Kondisi Nay saat ini mungkin tampak membaik, tetapi pergolakan batinnya bisa saja menunjukkan hal yang sebaliknya. Ia sudah menyiapkan beberapa opsi terapi yang akan digunakannya untuk Naysilla.

"Maaf sebelumnya. Kiranya, trauma yang dialami Naysilla hanya disebabkan oleh kepergian mendiang Kakaknya saja?" Dokter wanita itu kembali angkat bicara.

Pikiran kedua orang tua Nay kembali melambung jauh, menapaki setiap memori masa lalu dan berhenti saat kejadian di mana kecelakaan itu berhasil merenggut nyawa putranya.

"Benar, Dok. Lebih tepatnya karena Nay merasa bahwa dirinya adalah penyebab kepergian mendiang Kakaknya, anak sulung kami," jawab Hasan dengan nada bicara merendah.

"Adakah hal lain yang menjadi penyebab penyakit Nay kembali kambuh?" Lagi-lagi, Dokter Rena bertanya serius.

"Ti--"

"Ada, Dok."

Semua pasang mata, kini beralih pada sosok remaja lelaki yang tengah berdiri tak jauh dari tempat mereka. Dia adalah Darren. Kedatangan Darren yang dirasa secara tiba-tiba, mampu membuat semua pasang mata tertuju kepadanya.

"Darren?" Hasan dan Hana bertanya keheranan di waktu yang bersamaan.

Dengan ragu, Darren melangkah maju. Perasaan tak enak yang kini mendominasi hatinya karena sudah ikut campur dalam pembicaraan sepuh-sepuh di hadapannya, terpaksa harus ia hilangkan. Baginya, yang terpenting dari itu adalah kondisi Nay. Terlebih, kedua orang tua Nay juga harus mengetahui penyebab penyakit putrinya itu bisa kambuh kembali di saat kondisinaya sudah mulai membaik sejak beberapa bulan ke belakang.

"Maaf atas kelancangan Darren, Om, Tante, dan Bu Dokter," lirih Darren. "Darren di sini untuk memberitahukan suatu hal penting. Ini menyangkut Nay."

"Ada apa, Darren?" Hasan tampak khawatir. "Mari, duduk dulu."

Darren pun menurut. Ia kembali melangkahkan kakinya dan berhenti saat menduduki sebuah kursi di samping tempat duduk Hasan. Ada sedikit kebimbangan dalam dirinya, takut jika apa yang ia katakan akan memicu permasalahan baru.

BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang