🍁 3 | Jonathan - Naysilla 🍁

216 98 17
                                    

"JAM TUJUH!"

"OMEGAT! KENAPA ENGGAK ADA YANG BANGUNIN GUE? KENAPA?!" Nay berteriak histeris kala melihat jam di ponsel miliknya.

"Oh, iya. Gue lupa kalo mamah emang lagi ada urusan di luar kota." Nay menoyor kepalanya sendiri.

Di detik berikutnya, dia melompat dari atas tempat tidurnya menuju ke kamar mandi. Hanya butuh waktu dua menit, gadis itu sudah keluar lagi dari kamar mandi dengan area wajah yang basah. "Bodo amat enggak mandi juga. Apalagi sikat gigi, itu urusan belakangan."

Nay langsung mengganti pakaiannya menjadi seragam putih abu-abu. Pandangannya beralih pada jam dinding berwarna hitam yang terletak di sebelah kiri meja riasnya. Dilihatnya, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Dia pun semakin mempercepat gerakannya.  Dioleskamlaj bedak bayi di wajahnya dengan takaran yang begitu sendikit. Tak lupa, dia juga memakai parfum andalannya, yaitu minyak telon. Kemudian, disisirlah rambutnya asal. Mengenaskan.

Gadis itu memasukkan buku apa pun yang ada di atas meja belajarnya ke dalam tas, lalu melesat meninggalkan kamar begitu saja dengan kecepatan luar biasa.

"Sarapan dulu, Non?" tawar Bi Asih, asisten rumah tangga Nay kala melihat Nay berlari melewati meja makan.

"Enggak, Bu. Nay udah kesiangan!" Nay menjawab dengan berteriak.

"Tapi, Nyonya bilang kalo Nom harus sarapan dulu!" Bu Asih tak kalah berteriak.

Namun, sayang, hening tercipta setelah teriakan itu terlontar dari bibir Bi Asih. Tampaknya, Nay memang sudah keluar dari rumah.

"Anjir, lima menit lagi gerbang sekolah bakalan ditutup. Dan, sekarang, gue harus nungguin angkot yang lamanya seabad?" Nay mendengkus kesal sambil menunggu angkutan umum di bahu jalan.

"Duh, lupa. Gue enggak punya duit buat bayar ongkosnya!" pekik Nay sembari menepuk keningnya keras.

Pasalnya, Hana—ibunya Nay—memang menepati ucapannya untuk tidak memberikan Nay uang jajan selama sebulan penuh. Tiba-tiba, sebuah ide pun melintas di benak gadis itu saay ekor matanya melihat sebuah mobil bak terbuka yang digunakan untuk mengangkut sayuran. Dia pun melangkahkan kaki ke tengah jalan, lalu menghalangi mobil itu.

"Woy, minggir dari sana!" umpat sang sopir sembari mengerem mobil bak terbuka yang ia kendarai.

"Pak, tolongin saya. Saya numpang, deh, sampe SMK Tunas Bangsa. Tolong, ya, Pak ..." Nay menampakkam pupy eyes-nya, membuat sopir yang sudah berusia paruh baya merasa iba.

"Ya udah, naik ke belakang!"

Dengan sigap, Nay langsung menaiki mobil bak itu dengan cepat, meskipun agak terganggu dengan rok pendek yang digunakannya. Namun, bukan Nay namanya jika tak bisa menaiki bagian belakang mobil itu. Pohon rambutan Darren yang tingginya mencapai tujuh meter saja dapat dia taklukan.

Mobil bak terbuka itu mulai melesat, membelah jalanan ibu kota yang cukup padat. Nay yang tadinya berdiri, langsung terjatuh dan menduduki keranjang sayuran yang ada di sana. Dengan perasaan dongkol, dia pun kembali bangkit dan berpegangan pada besi penghalang di atas badan mobil bak.

Tak terasa, sepuluh menit pun berlalu. Akhirnya, Nay sampai di sekolah. Dia langsung turun dengan cara melompat dari atas mobil bak tersebut. Nahas, pendaratannya tidak sempurna, membuat lututnya terluka. "Sialan, nih, aspal! Ngajak ribut sama gue kayaknya! Awas aja gue sumpahin lo biar jadi jomlo abadi!"

BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang